Share

Bab 4

Penulis: Siska_ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-04 10:36:09

Mas Zidan menggeser tubuhnya. Membiarkan aku berhadapan langsung dengan suamiku itu.

Mas Rayan melangkah. Matanya yang memerah menatap mataku lekat. Sepertinya pria di hadapanku itu tidak tidur semalaman. Atau mungkin ... menangis? Rasa iba seketika menggelayut di hati.

"Lun. Tolong ikut pulang sama Mas! Kita baru satu hari menikah. Masa sudah berjauhan seperti ini?" pintanya mengiba.

Aku menghela napas berat. Sebenarnya malu harus berdebat di rumah orang seperti ini. Namun, apalah daya. Aku belum ingin ikut pulang bersamanya. Nyeri di dadaku masih begitu hebat. Rasa kecewaku masih membumbung tinggi.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Pulanglah. Gak perlu temui aku lagi," jawabku pelan.

"Gak bisa gitu dong, Lun. Kamu itu istri aku. Tanggung jawabku. Kenapa malah tinggal di rumah orang lain yang gak ada hubungan apa-apa sama kamu?" protes Mas Rayan melirik Mas Zidan yang berdiri tak jauh dariku.

Memang benar apa yang dia katakan. Aku pun sebetulnya sungkan tinggal di sini lebih lama lagi.

"Mas gak perlu khawatir. Aku tau diri kok, gak akan lama-lama numpang di rumah orang. Tenang aja," jawabku pura-pura santai. "Sekarang, Mas pergi saja. Temui istri pertama Mas. Dia pasti sudah nungguin. Atau jangan-jangan, semalam Mas justru datang padanya ya?"

Ada yang tercabik di dalam dada saat mengatakannya. Perih bak digores ribuan silet. Namun, sebisa mungkin aku tahan. Tak ingin lagi meneteskan air mata di depan pengkhianat seperti dia.

"Lun. Please ikut Mas pulang!" Tiba-tiba Mas Rayan mencengkeram tanganku erat. "Apa yang akan Mas katakan pada ibu kalau bertanya kenapa aku pulang sendirian." Dia sedikit menarik tubuhku. 

Aku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeramannya.

"Lepas Mas!" pintaku meringis karena kesakitan.

"Lepaskan tangan Luna!" Tiba-tiba Mas Zidan mendorong tubuh Mas Rayan hingga hampir terjengkang.

"Tolong ya. Gak usah ikut campur," hardik Mas Rayan menatap tajam pada Mas Zidan.

"Gak bisa dong. Aku gak bisa diam saja melihat ada kekerasan di rumahku. Apalagi pada sahabat adikku sekaligus karyawan di perusahaanku," jawab Mas Zidan berani.

"Aluna istriku. Aku bebas melakukan apapun," bela suamiku.

"Termasuk menyakitinya?" timpal Mas Zidan menohok. 

"Aku tidak akan menyakitinya. Karena aku sangat mencintainya." Mas Rayan masih terus membela diri.

"Kalau tidak disakiti, gak mungkin Aluna malam-malam datang ke sini dengan wajah menyedihkan. Malam pertama lagi. Kan lucu." Mas Zidan terkekeh meledek.

"Sudah Mas, sudah hentikan!" Aku mencoba melerai perdebatan di antara dua lelaki hampir seusia itu.

"Pulanglah Mas! Aku butuh sendiri dulu. Jangan temui aku lagi. Hatiku masih begitu sakit menerima kenyataan ini. Tolong beri aku waktu!" Aku melipat kedua tangan di dada tanda memohon.

Mas Rayan mengusap wajahnya kasar. Menghela napas berat kemudian mengembuskannya kasar.

"Baiklah. Kali ini Mas akan menyerah. Tapi Mas akan datang lagi untuk menjemputmu," jawab Mas Rayan lesu. "Mas merindukanmu Aluna. Sangat merindukanmu," lanjutnya dengan suara bergetar. Ada genangan air di kedua kelopak matanya.

Melihatnya terluka seperti itu, ingin rasanya aku menghambur ke dalam pelukannya. Menangis di dada bidangnya. Menumpahkan semua rasa sakit ini. Namun, teringat jika dada bidang itu bukan hanya milikku seorang, membuatku enggan melakukannya. Lukaku lebih besar dari lukanya.

Mas Rayan berbalik. Berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir tepat di halaman rumah ini. Sebelum membuka pintu mobilnya, Mas Rayan kembali menoleh. Menatap kepadaku dengan tatapan begitu sendu. Kesedihan tergambarkan jelas dari raut wajahnya.

Aku pun sama menatapnya. Mataku bahkan kini sudah basah bersimbah air mata. Aku mengusapnya dengan punggung tangan, sebelum akhirnya menutup pintu agar lelaki bertubuh tinggi tegap itu tak lagi terlihat lagi.

Aku terkulai lemas di pintu. Menumpahkan tangis yang tidak bisa lagi dibendung. Sakit. Sungguh lebih sakit dari apapun. Hatiku porak poranda berserakan. Entah bagaimana menyatukan kepingan demi kepingannya.

Karin mendekat. Berjongkok kemudian memegang kedua bahuku. Membantuku untuk berdiri meskipun tungkai masih terasa begitu lemas.

Gadis cantik berkulit putih itu membawaku dalam pelukannya. Mendekap tubuhku erat memberiku kedamaian.

Setelah agak membaik, Karin mengajakku untuk duduk di sofa. Mengelus punggungku lembut. Sesekali mengusap air mataku. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Namun, aku tau. Dukungannya lebih besar dari siapapun.

"Karin ... Mas Rayan, Rin," ucapku dengan air mata yang lagi-lagi berjatuhan.

"Sudah. Gak perlu cerita kalau kamu belum siap," jawab Karin sendu.

"Mas Rayan ternyata sudah punya istri," ucapku akhirnya dengan mulut tercekat.

"Apa?" Karin begitu terkejut dengan pengakuanku.

"Kok, bisa? Bukannya selama ini kalian pacaran baik-baik saja?" 

Aku menggeleng. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskannya. Sementara aku sendiri pun tidak tau apa-apa.

"Sebenarnya ... aku memang pernah melihat Mas Rayan sama perempuan," ucap Karin ragu. Aku langsung menoleh. Menatapnya dengan kening berkerut.

"Di mana?" tanyaku penasaran.

"Di rumah sakit. Tapi aku pikir mungkin aku salah lihat. Karena mereka sama anak kecil juga. Anak laki-laki sekitar umur lima atau enam tahunan," jelas Karin membuat dadaku semakin bergemuruh.

Anak kecil? Bukannya Mas Rayan bilang kalau dia menikah baru lima bulanan? Lalu siapa anak itu? Aku menebak-nebak sendiri dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Extra part

    POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   TAMAT

    POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 80

    Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 79

    Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 78

    Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 77

    POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status