Aluna, wanita cantik yang siang tadi melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya, Rayan, mendapati suaminya itu sedang menelpon seseorang di malam pertama mereka. Tanpa diduga, orang yang ditelpon laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu adalah seorang wanita yang merupakan istri pertama dari Rayan. Aluna pun tak terima hingga pergi dari hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama. Tanpa sepengetahuan Rayan, Aluna pun menemui istri pertama suaminya yang ternyata cacat alias tidak bisa berjalan. Aluna pun memutuskan untuk berpisah dengan Rayan dan membiarkan suaminya itu kembali lagi pada istri pertamanya yang bernama Rumaisha. Siapa sangka, di balik pernikahan Rayan dengan Rumaisha, ternyata banyak hal yang tak terduga. Apakah Aluna akan tetap memutuskan untuk bercerai? Bagaimana kehidupan selanjutnya Aluna, Rayan, dan Rumaisha?
View MoreAku tertegun di ambang pintu kamar mandi. Mengenakan pakaian resmi khas istri di malam hari. Jantungku berdegup kencang mendengar perbincangkan laki-laki yang siang tadi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu dengan seseorang di sebrang sana yang entah siapa. Namun, satu hal yang pasti. Aku yakin bahwa yang baru saja dihubunginya itu seorang perempuan.
Mas Rayan, yang baru menjadi lelaki halalku beberapa jam lalu sempat terlihat terkejut saat memandang ke arahku. Namun, sesaat kemudian, dia berusaha mengendalikan keadaan dengan berpura-pura tidak ada apa-apa.
"Sayang, sudah selesai mandinya?" tanyanya seraya berjalan hendak menghampiriku.
Aku menatapnya tajam. Debaran di dada masih begitu kuat hingga gemuruhnya seakan terdengar menembus kulit.
"Siapa dia Mas?" Aku memandangnya dengan tatapan menusuk.
"Ma-maksud kamu apa, Sayang?" tanyanya tergagap. Ketegangan tergambar jelas dari wajahnya.
"Siapa yang baru saja kamu telepon?" Aku kembali bertanya setenang mungkin. Berusaha mengendalikan emosi yang mulai membuncah.
"Ma-maksud kamu apa? Mungkin kamu salah dengar." Mas Rayan memegang kedua bahuku, mencoba meraih tubuhku dalam dekapannya.
Aku menghempaskan tangannya kasar. Pandangan sudah mulai buram karena tertutup kabut air mata yang hampir tumpah. Hanya saja, aku mencoba menahannya. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang tidak meremukkan hatiku.
"Sekali lagi aku bertanya. Siapa orang yang sudah kamu telepon dengan penuh perhatian tadi?" Kali ini nada bicaraku mulai meningkat. Aku terlanjur kesal menunggunya untuk menjawab.
"Baik. Baik, Sayang. Aku akan katakan. Kita duduk dulu!" pintanya sambil merangkul bahuku dan membantu aku berjalan. Kali ini aku membiarkannya memapahku, lalu duduk di pinggir ranjang.
Kami duduk saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap lembut kedua pipiku yang sudah teraliri air mata.
"Maafkan, Mas. Maafkan, Mas!" ucapnya dengan bibir gemetar. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang siap pecah.
Jantungku semakin berdebar hebat kala kata maaf itu keluar dari bibirnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba meminta maaf jika tidak melakukan kesalahan fatal. Tapi apa? Hatiku terus menebak seraya menunggu lanjutan perkataannya.
Laki-laki berusia dua puluh enam tahun di hadapanku ini menunduk dalam. Seolah kesalahan besar memang telah ia lakukan. Bibirnya terkunci rapat seolah berat untuk mengatakannya.
"Minta maaf untuk apa, Mas?" tanyaku akhirnya karena terdorong rasa penasaran yang amat dalam. Emosi di dada sudah semakin menggelegak.
"Sebenarnya, orang yang tadi aku telepon itu Rumaisha," jawabnya pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.
Keningku mengernyit. Berusaha mengingat-ingat nama yang baru saja terlontar dari mulut suamiku. Mungkin itu nama saudaranya, rekan kerjanya, atau temannya. Nihil, aku sama sekali tidak mengingatnya dan tidak mengenalnya sama sekali. Padahal, dua tahun jalinan asmara kami nyaris selalu dilandasi keterbukaan. Tentang apapun.
"Siapa Rumaisha, Mas? Kenapa di malam pertama kita, kamu malah menelpon wanita lain dan memberikan perhatian lebih padanya?" tanyaku dengan emosi yang mulai memuncak. Buliran bening tak hentinya bercucuran dari kedua kelopaknya.
"Dia ... dia istriku," jawabnya pelan tapi berhasil menusuk jantungku begitu dalam. Dua kata yang dia ucapkan, tak ubahnya petir di siang bolong. Hatiku perih luar biasa. Rasanya, bak ada ribuan jarum yang menancap secara bersamaan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Istri?" Aku tertawa menyeringai sambil berderai air mata. Mencoba berdiri meski tungkai serasa tak bertulang. "Lalu aku apa?" teriakku sambil menunjuk dada sendiri. Pecah sudah segumpal daging yang di dalamnya. Berserakan.
Menjalin kasih selama dua tahun denganku, kenapa tiba-tiba dia sekarang bilang punya istri? Apa selama ini aku yang bodoh? Tidak mengetahui gerak-gerik mencurigakan darinya.
Mas Rayan ikut berdiri. Mendekat, mencoba meraih tubuhku untuk dipeluknya. Seketika aku mendorongnya sekuat mungkin.
"Jangan berani-berani menyentuhku!" Aku menyimpan telunjuk tepat di depan wajahnya.
"Lun, please jangan seperti ini! Tolong biarkan Mas jelaskan semuanya," pintanya seraya mencoba kembali mendekatiku.
"Stop di situ! Jangan mendekat!" Aku berteriak dengan dada yang naik turun. Emosiku benar-benar sudah naik ke ubun-ubun. Mataku yang memerah nyalang menatapnya.
Mas Rayan mengentikan langkahnya. Terpaku menatapku dengan tatapan sendu.
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin. Tapi sadar bahwa kini aku sedang ada di hotel. Aku hanya bisa tergugu. Menangis sesenggukan tanpa sandaran. Hingga akhirnya aku merasa tubuhku tak lagi bertulang. Ambruk. Terduduk lesu di lantai.
Malam ini, malam pertama yang seharusnya kami habiskan dengan mereguk manisnya madu cinta, justru berakhir nestapa mendapati kenyataan bahwa madu cinta yang disuguhkan ternyata pahit melebihi empedu.
Bahkan, baju dinas malam yang baru saja aku kenakan, belum tersentuh tangannya sama sekali. Aku hancur di malam pertama kami. Aku hancur di hari pertama menjadi seorang istri.
"Sejak kapan, Mas? Kapan kalian menikah?" tanyaku setelah emosiku sedikit mereda. Wajah senduku terangkat menatapnya yang masih berdiri terpaku.
"Lima bulan yang lalu," jawabnya dipenuhi rasa bersalah. Matanya juga sudah basah dipenuhi lelehan air dari kedua sudut matanya.
Di sini, aku yang tersakiti. Kenapa justru dia ikut menangis?
Lagi aku tersenyum menyeringai. Merasa tertipu karena menikah dengan pria beristri. Padahal, aku lah kekasihnya selama dua tahun ini. Kenapa aku tidak pernah melihat gelagat anehnya selama ini? Dia benar-benar tidak pernah menunjukkan bahwa ia sudah memiliki seorang istri.
"Mas bisa jelaskan semuanya, Lun. Semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan." Mas Rayan ikut duduk di lantai. Hingga posisi kami berhadapan dengan jarak cukup berjauhan.
"Percuma, Mas. Semuanya sudah terlanjur terjadi bukan? Aku tertipu. Aku sudah terlanjur menikah dengan pria beristri. Aku bukan pelakor, Mas. Aku tidak ingin disebut pelakor. Kembalilah pada istri pertamamu dan ceraikan aku!" Nada bicaraku mulai melemah. Seiring hati yang porak poranda dan tak berbentuk lagi.
"Tidak, Lun. Mas mohon jangan katakan itu. Pernikahan Mas dengan Rumaisha hanya terpaksa. Semua hanya karena tanggung jawab. Mas hanya mencintaimu. Hanya kamu seorang," lirihnya dengan air mata yang juga deras sama sepertiku.
"Jangan bicara cinta kalau di hari pertama pernikahan kita saja kamu sudah menyakitiku. Kamu sudah menipuku, Mas. Kamu membohongiku!" Aku kembali berteriak. Histeris. Tak kuat lagi rasanya menahan sayatan demi sayatan yang begitu mengoyak hati.
Dengan gontai aku berdiri. Mengusap air mata dengan kasar. Masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu sekencang mungkin. Kulepaskan baju lingerie berwarna merah muda hadiah dari suamiku sore tadi. Untuk menyambut malam pertama kami katanya. Menggantinya dengan kaos lengan panjang dan rok selutut.
Aku mematut diri di cermin. Mata yang sembab, hidung memerah, dan rambut acak-acakan. Terlihat sangat menyedihkan. Setelah membereskan rambutku seperlunya, aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Mas Rayan sudah duduk di bibir ranjang saat aku keluar dari kamar mandi. Tak kuhiraukan tatapannya yang terlihat nelangsa. Aku mengambil tas selempang dan gawai yang tersimpan di nakas.
"Kamu mau ke mana, Sayang?" Mas Rayan mencengkeram pergelangan tanganku. "Ini malam pertama kita."
"Tidak ada malam pertama, malam kedua ataupun seterusnya. Aku mau pergi. Ceraikan aku dan kembalilah pada istri pertamamu!"
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments