Aku bersyukur, akhirnya ibu berkenan memaafkanku, dan memahami apa yang sudah terjadi padaku. Aku mengandung bukan karena inginku, juga bukan karena sengaja menjual tubuh pada pria hidung belang, seperti yang dilontarkan oleh ibu-ibu kampung.
Aku ini hanyalah korban. Korban nafsu lelaki bejat yang tak punya perasaan, dan menganggap semua yang ada di Dunia ini bisa dibelinya dengan uang. Tapi, orang-orang tak pernah ada satupun yang mengerti dan yang memahaminya, kesalahan selalu di limpahkan kepada perempuan, meskipun itu korban pelecehan. Seolah sanksi sosial hanya berlaku untuk para kaum hawa.
"Bu, selama aku disana, aku disekap oleh Devan, dia tak pernah memberiku kesempatan untuk pergi keluar. Berbulan-bulan aku dijadikan sebagai budaknya, Bu. Aku benar-benar tersiksa," ucapku dengan derai air mata.
Kedua tangan ibu terulur dan merangkulku membawaku ke dalam dekapannya, ia mengusap punggungku dengan lembut.
"Ya Tuhan … Silvi, maafkan ibu, na
"Tapi, Bu. Kalau boleh tahu, Mas Alex kemana, kenapa dia tidak datang menemui saya, jika memang akan seperti ini kejadiannya. Kenapa bukan Mas Alex sendiri, yang membatalkan lamaran ini?" tanyaku pada ibu Mas Alex, yang masih berdiri kokoh di teras rumah kami. "Bukan, urusanmu. Lupakan anak saya, dan jangan sekali-kali menghubungi dia! pelacur sepertimu, tidak pantas bersanding dengan anak saya!" tukasnya, Ibu Mas Alex menatapku dengan sudut mata, seraya tersenyum meremehkan. Kemudian, Ibu balas menatap tajam pada perempuan angkuh itu, dengan kedua tangan mengepal kuat, "Tutup, mulut anda!" hardik ibuku, menunjuk jarinya ke mulut ibu Mas Alex, "Tidak sepantasnya, orang berpendidikan tinggi seperti nyonya, berkata kasar dan menghina orang lain, setidaknya anda punya sedikit rasa hormat, sebagai tamu disini!" lanjut ibu dengan napas memburu, yang sudah diliputi amarah sejak tadi, karena penghinaan dari ibu Mas Alex. "Santai saja, Bu! Memang itu kenyataannya buk
POV Alex."Bu … tolong lepaskan, aku! Biarkan aku pergi! Untuk menemui Silvi, Ibu jahat!" ucapku memberontak, tangan dan kakiku terikat, entah sejak kapan aku seperti ini."Lex, maafkan ibu, Nak. Sedikit pun, tak ada maksud jahat padamu, tapi, ibu tidak rela jika kamu menikahi jalang itu!" tukas ibu seraya duduk di tepi ranjang, tatapannya lurus ke arah dinding tembok, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan anaknya."Ibu, kenapa ibu berubah menjadi seperti, ini? Kau bukan ibuku yang aku kenal," teriakku, "Ibu benar-benar kejam, menyesal aku datang kesini, meminta restu ibu dan ayah untuk menikahi Silvi, jika kenyataannya akan begini, lebih baik aku menikah diam-diam,""Alex, maaf, jika ibu sudah berbuat kejam padamu! Tapi, Ibu tidak ikhlas kamu bersanding dengan wanita murahan seperti Silvi! Dan ibu juga sudah punya calon istri untukmu, dia putri dari sahabat ibu, dan ayah," ujar ibu seraya mengambil ponsel dari tas kecil yang berada di pangkuannya,
POV Silvi. Siapakah tamu yang datang, setelah Mas Alex memutuskan lamaran ini dengan seenaknya. Apa mungkin pelanggan warung ibu, mau belanja keperluan dapur? Tapi kan, hari ini warung ibu tidak buka, karena kami akan mengadakan acara penyambutan tamu, yaitu Mas Alex dan keluarganya. Namun, semuanya batal, beruntung ibu belum mengundang semua tetangga untuk menghadiri acara lamaranku. Entah bagaimana jadinya, jika para tetangga sudah datang dan berkumpul melihat aku yang dipermalukan oleh ibu Mas Alex. Semalaman ibu tidur hanya beberapa jam saja, beliau sibuk membuat kue-kue basah dan cemilan lainnya, untuk suguhan, di bantu Sandi dan Seno. Tapi, semuanya sia-sia, makanan yang sudah susah payah ibu buat, akhirnya dibagikan kepada tetangga. Aku beringsut menuju lemari dan mengambil baju, kemudian memakainya, long dress sedengkul warna biru muda lengan pendek, motif bunga mawar putih. Aku berdiri depan pintu kamar, menunggu ibu. "B
POV Alex. Betapa kesalnya aku pada ibu, ia menyekapku di dalam kamar seperti seorang tawanan, dan dijaga oleh dua orang berpenampilan seperti preman pasar. "Ah ... benar-benar menyebalkan." Gagal sudah impianku untuk melamar Silvi, dia pasti sangat kecewa terhadapku karena ingkar janji, seharusnya aku dan Silvi hari ini sudah menjadi pasangan yang halal. Aku ingin sekali membahagiakan gadis itu. Masih teringat pertemuan beberapa bulan lalu, awal kebahagiaanku bertemu lagi dengan Silvi. Berbulan-bulan aku mencari keberadaannya, dan hampir putus asa karena usahaku selalu berbuah nihil. Pagi hari aku baru pulang praktek dari rumah sakit tempatku tugas, entah kenapa aku ingin sekali melewati jalanan yang sepi itu, kanan kirinya terdapat pohon sawit dan pohon karet yang rimbun, tempatnya sepi dan sunyi. Aku menyusuri jalan itu dengan mengendarai sepeda motor sport kesayanganku. Pandanganku mengedar ke segala arah, melaju d
POV Silvi. Aku memberontak sekuat tenaga, saat jemari besar pak Reno mencekal pergelangan tanganku. "Pak, tolong lepaskan, saya! Saya tidak mau berurusan lagi dengan majikan, anda!" ucapku penuh tekanan seraya menatap wajahnya dengan geram. Lelaki tiga puluh lima tahun itu tersenyum tipis, menanggapi ucapanku, tanpa sedikit pun melepaskan tangannya, yang masih melingkar di pergelanganku. "Dengar, Nona! Tuan saya mengatakan bahwa, anda harus ikut, bersama saya sekarang juga! Beliau sudah menunggumu sejak tadi pagi!" "Untuk apa, kalian mengusik hidupku lagi? Belum puaskah Tuanmu itu merusak hidup, saya?!" "Nona, sebaiknya anda ikuti saja permintaan saya! Dan turuti keinginan Tuan Muda!" "Lepaskan saya! Kalau tidak, saya akan berteriak, agar pak Reno dihakimi warga!" "Saya, tidak takut dengan ancaman anda, Nona. Sebaiknya menurut saja, sebelum terjadi apa-apa pada ibu dan adikmu!" "Say
POV Alex. Setelah tenagaku terkumpul seluruhnya. Orang-orang suruhan ibu pun pergi entah kemana? Padahal aku ingin memberi mereka pelajaran terlebih dahulu, karena sudah menuruti keinginan gila, ibu. Duduk di tepi ranjang seraya merogoh saku celana dan mengambil ponsel, berniat untuk menghubungi Silviana, kekasihku yang sangat kucintai. Beberapa kali aku menghubungi dia, tak ada jawaban sama sekali, padahal tertera jelas di layar ponselku, bahwa handphone milik Silvi aktif dan berdering. "Silvi, angkat dong!" gumamku menengadah seraya memejamkan mata, dan menarik napas kecewa. "Aku akan menjemputmu sekarang, Silvi! Tunggu, Mas!" ucapku bangkit, sambil menggenggam erat ponsel yang kupegang. Rasa kesal dan marah pada ibu bercampur di dalam hatiku, kenapa ibu bisa setega ini padaku? Tak mencerminkan bahwa beliau adalah seorang bidan, selalu menolong banyak wanita, yang berjuang antara hidup dan mati, mempertaruhkan seluruh jiwa raga
POV Silvi. "Tuan, tolong turunkan aku, di sini! Aku gak mau ikut lagi," ucapku memohon seraya menangkupkan kedua telapak tangan. Air mataku jatuh deras dengan derasnya pipi. Namun, Devan tak memintaku, malah merangkulku begitu erat. "Dengar, Silvi. Aku tidak akan pernah pergi pergi lagi dari mimpi! Berbulan-bulan aku mencari keberadaanmu, dengan susah payah aku mengobati hatiku yang hancur karena kepergianmu, aku begitu kesepian. Aku selalu kesepian," ujar Devan, menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Tuan, apa kamu mau memperlakukanku seperti dulu? Aku tidak mau!" Aku menggo
POV Devan.Harapan dan impianku hanya satu memiliki Silvi seutuhnya, memiliki cintanya membina rumah tangga dengannya, membesarkan anak kami yang tak lama lagi akan segera lahir.Hatiku benar-benar merasa lega, dan bahagia yang tak terkira, kini Silvi kembali padaku, usahaku mencari keberadaannya selama ini tak sia-sia dan membuahkan hasil.Tak ada niatan untukku merusak dan menghancurkan hidupnya lagi. Aku membawanya kembali hanya ingin melindungi dia dan anakku saja. Aku tahu Silvi tak menginginkan anak itu, sejak ia diperiksa oleh dokter dulu di rumahku, dan dinyatakan hamil, dia selalu berusaha melenyapkan janinnya.Perasaanku terus dihantui rasa cemas. Entah kenapa semenjak kami berpisah, hatiku kian resah memikirkan janin yang dikandung Silvi takut ia melenyapkan bayi yang tak diharapkannya, jika aku membiarkan dia jauh dariku, tak menutup kemungkinan dia berbuat nekat. Aku berjanji akan senantiasa menjaga mereka berdua menjamin keselama