Namun saat kedua kaki mereka bertemu, kenyataan membantah keyakinannya. BAANG!!! Tubuh Xiao Rui terpental. Tidak ada pertarungan kekuatan. Tidak ada adu tekanan. Tendangan itu menghantamnya seperti hantaman dari langit yang tidak memberi peringatan. Tubuhnya berputar cepat di udara, kehilangan kendali sepenuhnya. Seperti boneka kain yang diterpa badai, tubuh Xiao Rui menghantam udara dengan kecepatan mengerikan. Otot-ototnya bergetar liar, dan sebelum bisa menstabilkan tubuh, dia telah menghantam tanah. BOOM! BOOM! BOOM! BOOM!!! Tubuh Xiao Rui menghantam beberapa struktur batu besar di dalam wilayah Dunia Warisan Langit Berbintang. Pilar-pilar raksasa yang berdiri kokoh selama waktu yang tak diketahui kini hancur satu per satu. Ledakan debu dan puing tersebar, meninggalkan jejak kehancuran sepanjang ribuan meter. Desiran angin terdengar lirih di sela-sela benturan. Udara terasa lebih berat, seolah turut menyaksikan kemunduran seorang jenius dari keluarga inti. Seluruh tempat te
Mereka tidak lagi terlihat sebagai manusia. Mereka seperti dua dewa perang, bergerak dengan kekuatan yang mengandung kehancuran total. Setiap gerakan membawa dampak pada struktur alam. Setiap langkah, setiap ayunan, mengguncang fondasi dunia warisan yang selama ini dianggap tak tergoyahkan. Riak dari benturan mereka menjalar ke segala arah. Gunung-gunung kristal di sekitar pecah seperti kaca. Lembah-lembah terbelah, terbuka seperti luka di permukaan tanah. Udara berubah panas dan berat, seperti napas semesta sedang menahan amarahnya. Jutaan makhluk muda yang menyaksikan dari segala penjuru tidak dapat bernapas dengan normal. Tenggorokan mereka kering. Paru-paru mereka seperti diremas. Sebagian dari mereka hanya bisa menatap tanpa suara, sementara yang lain perlahan jatuh bersimpuh, kehilangan kendali atas tubuh mereka. Para kultivator Alam Maha Agung yang berada di garis terluar telah mundur hingga puluhan ribu meter. Namun bahkan dari titik yang mereka anggap paling aman, tubuh me
Xiao Rui menyipitkan mata. Matanya menajam, tapi dia tidak mundur. "Lumayan," gumamnya. "Pedangmu memiliki aura dominasi yang kuat. Namun sayang, pedang rusak seperti itu tidak akan bisa bersaing dengan Pedang Abadi Surgawi-ku." Dengan satu hentakan kaki, Xiao Rui melompat ke udara. Ia mengangkat pedangnya tinggi ke langit. Cahaya perak melesat menembus awan, membelah kegelapan, lalu memantul dan menyebar. Dalam hitungan detik, cahaya itu membentuk ribuan bayangan ilusi. Sosok-sosok raksasa turun dari langit, masing-masing membawa pedang suci. Mereka adalah perwujudan Dewa Surgawi dalam teknik warisan Klan Xiao inti. Para Dewa itu mengangkat pedang mereka serempak, menebarkan tekanan pemusnahan. Setiap gerakan mereka seperti membawa hukum langit yang tak bisa dibantah. Suara dari langit bergemuruh. Aura mereka menjalari angin, mengguncang ruang di bawahnya. Pemandangan itu mengejutkan. Cahaya perak menyapu ke segala penjuru seperti tsunami cahaya, membanjiri Dunia Warisan dan mengg
Namun, di tengah kekacauan serangan itu, Xiao Tian tetap berdiri tenang. Tubuhnya tidak bergeming, tapi matanya tajam menembus tiap gerakan Xiao Rui. Dalam setiap langkah dan tebasannya, Xiao Tian tampak seperti menari—bukan tarian hiasan, melainkan gerakan alami yang lahir dari pemahaman mendalam terhadap medan pertempuran. Dia tidak sekadar menangkis. Dia menyatu dengan setiap hembusan angin, mengikuti aliran kekuatan lawan, lalu mengalihkan tekanan itu tanpa kehilangan kendali. Pedang karat misterius di tangannya tampak tak menarik perhatian bagi yang melihat dengan mata biasa. Tidak ada kilau emas, tidak ada aura suci, tidak ada gemuruh agung. Tapi justru dari ketidakindahannya itulah muncul aura yang paling menakutkan—aura penolakan terhadap segala yang tidak layak. Aura yang seolah menyatakan bahwa hanya pedang sejati yang berhak menyentuh medan perang ini. DENTANG! DENTANG! DENTANG! Benturan demi benturan mengguncang ruang. Setiap tebasan menebas udara, menghasilkan suara se
Xiao Yue menatap Xiao Tian dengan tenang. Wajahnya tidak menyimpan amarah ataupun kepalsuan. Di tengah medan yang dipenuhi energi retak, hawa kematian, dan kehancuran sisa pertarungan, suara gadis itu terdengar jernih dan tulus. "Xiao Tian, hentikan pertarungan. Xiao Rui sudah terluka dan tidak bisa melanjutkan pertarungan. Aku tidak akan mempermasalahkan mengapa kamu menggunakan nama Xiao, dan juga memiliki garis darah Klan Xiao, karena itu bukan ranahku untuk ikut campur." Dia menarik napas pelan, lalu melanjutkan ucapannya, kali ini nadanya lebih tenang dan mengandung penghargaan. "Namun, aku ingatkan, ketika kamu keluar dari dunia Warisan Langit Berbintang ini, akan ada banyak Tetua Klan Xiao inti yang akan mencarimu, dan juga menyelidiki semua tentangmu. Meski demikian, aku harap kita tidak bermusuhan." Sorot matanya jernih, tidak berusaha menyembunyikan maksud atau kepura-puraan. Berbeda dengan banyak murid Klan inti yang hanya tahu memamerkan nama keluarga dan garis keturuna
Para generasi muda Alam Langit Berbintang berdiri diam membatu. Tidak ada yang berani bersorak, tidak ada yang mengangkat suara, bahkan sekadar menunjukkan isyarat kemenangan pun tak satu pun yang berani lakukan. Padahal di lubuk hati mereka, banyak yang memendam kebencian terhadap Xiao Rui. Banyak yang pernah ditekan, dipermalukan, atau diremehkan olehnya. Namun, mereka tidak bodoh. Mereka tahu, meskipun Xiao Rui telah kalah telak dan dipermalukan di depan banyak mata, dia tetaplah anggota inti Klan Xiao, di balik status itu, ada kekuatan dan pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Jika mereka bersorak, jika ada yang menyuarakan kemenangan Xiao Tian, itu sama saja dengan menginjak harga diri Klan Xiao inti di hadapan dunia. Konsekuensinya bukan hanya kematian mereka sendiri. Tapi juga kehancuran kekuatan yang mendukung mereka. Marga, sekte, atau fraksi mana pun yang berani menunjukkan simpati terang-terangan pada Xiao Tian, akan ikut dihancurkan dari akar. Di tengah kerumunan yang te
Ketika suasana masih berada dalam ketegangan, tanpa peringatan, seluruh dunia Warisan Langit Berbintang bergetar hebat. Tanah seperti meraung dari dalam perutnya sendiri. Suara gemuruh datang dari segala penjuru, menghantam telinga seperti ribuan kilat yang mengamuk serentak. Angin yang sebelumnya diam mulai menderu, tidak lagi membawa kesejukan, tapi membelah udara dengan keras, mencabik-cabik langit yang mulai berubah warna. Tanah berguncang seperti raksasa sedang menggeliat di bawahnya. Retakan besar menjalar dari ujung lembah hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang, mengguncang kestabilan medan yang semula tampak abadi. Udara berubah panas, menusuk seperti jarum tajam yang mengiris paru-paru. Setiap hembusan membawa tekanan, bukan dari teknik atau kekuatan seseorang, tapi dari sesuatu yang lebih tinggi. Sesuatu yang seolah berasal dari kehendak langit itu sendiri. Awan berkumpul dalam pusaran gelap di langit. Warnanya pekat, tidak seperti mendung biasa, melainkan seperti
Jeritan yang keluar bukan teriakan luka. Tapi jeritan jiwa. Teriakan dari seseorang yang merasakan seluruh tubuh dan kesadarannya dihancurkan sekaligus. Semua wajah berubah pucat. Tubuh pemuda itu terpental keluar dari dalam kabut. Tubuhnya tidak lagi utuh. Luka-luka bakar dan sayatan menutupi hampir seluruh kulitnya. Dagingnya mengelupas. Tulang-tulangnya terlihat di banyak bagian. Matanya kehilangan fokus. Auranya remuk. Tubuhnya menghantam tanah dan memantul sekali sebelum tak bergerak, hanya terengah dengan nafas tersisa. Dengan sisa tenaga terakhir, dia mencoba bicara. Suaranya serak, hampir tidak terdengar, namun cukup kuat untuk membuat semua orang menahan napas. “Jangan masuk ke Gerbang Kematian… Itu adalah api penyucian. Ada banyak iblis di dalamnya…” Tangannya terangkat, menunjuk ke arah gerbang emas. Ia menyeret tubuhnya ke arah sana, berusaha bangkit. Namun belum sempat tubuhnya menyentuh kabut cahaya, sebuah lapisan tak terlihat menolak kehadirannya. BUUK! Tubuhny
Di sisi lain, di wilayah generasi tua, situasi jauh lebih tegang. Di sebuah dataran yang berbeda dari lahar sebelumnya, kekuatan yang saling berhadapan sudah terkumpul dalam formasi penuh. Pemimpin Paviliun Gerbang Kematian berdiri di garis depan, diapit oleh Pemimpin Rumah Suci Matahari Hitam dan Rumah Suci Langit Berdarah. Di belakang mereka, para tetua berdiri sejajar, auranya menggelegar. Mereka mengepung dua kelompok kecil: Pemilik Villa Hati Seribu Bintang dan Pemimpin Paviliun Bayangan Naga Abadi, bersama para tetua mereka yang terlihat jauh lebih sedikit. Gu Yang, Pemimpin Paviliun Gerbang Kematian, melangkah maju, senyum licik mengembang di wajahnya. “Gu Yang, apa maksudnya ini?” tanya Pemimpin Paviliun Bayangan Naga Abadi, suaranya tenang tapi tegas. Wajahnya tidak menunjukkan kepanikan, sebaliknya sangat tenang, seolah ia telah memperkirakan semua ini sejak awal. Gu Yang tertawa panjang. “Hahaha, orang tua... kalian telah hidup terlalu lama. Daripada menjadi makhluk tua
Di luar, tak satu pun tahu apa yang sedang terjadi. Mereka tidak memahami kekuatan itu, tidak mengenal kemampuan melahap selevel ini. Mereka hanya bisa menyaksikan monster darah sebesar gunung itu perlahan memudar—dari kokoh, menjadi transparan, lalu hancur menjadi aliran energi yang tersedot ke dalam cincin Xiao Tian. BAANG!!! Monster darah itu akhirnya meledak. Energinya terserap sepenuhnya ke dalam cincin Xiao Tian. Di saat yang sama— PLOF! PLOF! PLOF! Neo Jhinyu, Wong Hai, dan Xi Wangmu memuntahkan darah segar. Wajah mereka kini benar-benar seperti mayat hidup. Daging mereka menghilang. Hanya kulit keriput yang menempel pada tulang. Mata mereka nyaris keluar dari rongganya. Ketiganya menatap Xiao Tian dengan mata membelalak, tubuh mereka gemetar hebat. Rasa takut tak lagi bisa disembunyikan. Nafas mereka bergetar, dan langkah pun tak bisa lagi diambil. Teknik rahasia mereka—teknik yang telah mereka gunakan untuk membantai banyak kekuatan besar, bahkan menghancurkan beberap
Xiao Tian menatap monster darah itu tanpa berkedip. Tatapannya dingin, namun dalam hatinya bergemuruh rasa ingin membantai. Ia sangat ingin mengeluarkan pedang karat misterius yang selama ini setia bersamanya. Energi pekat dari monster darah itu adalah santapan sempurna bagi artefak itu. Namun, ia menahan keinginannya. Karena dia tahu, sekali pedang itu keluar, maka penyamarannya akan berakhir. Semua orang akan langsung mengenalinya, sebab pedang karat misterius bukanlah artefak biasa. Ribuan pasang mata sudah mengenalnya sebagai tanda tangan Xiao Tian. Dalam hati, dia berkomunikasi cepat. “Roh tua, tenang saja. Walaupun kamu tidak aku keluarkan, aku akan memastikan monster darah itu menjadi makananmu!” Jawaban belum terdengar, namun dari dalam cincin dewa, aura pedang karat misterius mulai bergemuruh antusias, seolah-olah mengerti maksud tuannya. Cincin itu bergetar ringan, mengeluarkan denyut lembut yang tak terdengar oleh siapapun kecuali Xiao Tian. Di sisi lain, Neo Jhinyu, W
Neo Jhinyu mencoba bangkit dengan membalas. Giginya bergemeletuk menahan emosi yang berbaur dengan rasa malu. “Sebenarnya siapa kamu? Aku tidak percaya kamu adalah anggota Villa Hati Seribu Bintang!” Xiao Tian mengangkat dagunya sedikit, mendengus dingin. Dalam sikapnya tidak ada tergesa. Suaranya tetap tenang, seolah ia adalah hakim yang akan memutuskan akhir hidup di hadapannya. “Siapa aku itu bukan urusanmu. Hal yang perlu kamu tahu adalah, tempat ini akan menjadi kuburanmu.” Mata Neo Jhinyu menajam. Ia tak bisa lagi berpura-pura tenang. Sorot matanya bergetar hebat, wajahnya memucat, tapi dari mulutnya meluncur teriakan terpaksa. “Sial, karena kamu menolak untuk mengampuni kami, maka walaupun kami mati, kami akan menyeretmu mati bersama!” Suara teriakannya menggema. Ia menatap Wong Hai dan Xi Wangmu, memberi aba-aba dengan pandangan yang sudah penuh keputusasaan. “Gabungkan teknik terkuat kita. Biarkan bajingan itu mati bersama kita!” Tanpa ragu, ketiganya langsung membaka
Dengan tenang, Xiao Tian mengangkat tangannya. Dari dalam tubuhnya, kilatan petir melingkar dan membentuk sebuah cambuk panjang yang mendesis ganas, memancarkan tekanan seperti binatang buas yang baru dibangkitkan dari tidur panjang. Cambuk itu tidak hanya bergerak, tapi mengaum—menggigilkan tulang-tulang siapa pun yang mendengarnya. Lalu, dia bergerak. Bagaikan singa kelaparan yang menerkam kawanan tikus. Slash! Slash! “EAAAAAAHHHHH!!” “EAAAAAAHHHHH!!!” “EAAAAAAHHHHH!!!” Jeritan demi jeritan mengoyak udara panas. Setiap kali cambuk petir menghantam tubuh lawan, bukan hanya luka yang tercipta—tetapi ledakan. Tubuh-tubuh meledak menjadi kabut darah, daging mencair, tulang hancur, dan jiwa terlempar sebelum lenyap. Tanah bergetar, udara terasa sesak karena aroma darah yang membumbung tinggi. Darah menyembur ke segala arah. Suara cambuk dan jeritan kematian membentuk orkestra kematian yang tidak bisa dilupakan oleh siapa pun yang mendengarnya. Bahkan para anggota Paviliun Bayang
Wajah Long Hotian menjadi sangat buruk. Ia tahu, kekuatan seperti ini bukan hal yang bisa mereka lawan. Ia mungkin bisa melarikan diri jika ingin, tapi anggotanya—termasuk Bai Ruochen—tidak akan selamat. Skenario ini adalah jebakan yang sempurna. Perangkap yang telah disusun dengan rapi, dan kini mulai dijalankan. Di tengah tekanan hebat itu, saat semua orang menahan nafas, dan sebagian mulai dilanda kepanikan— Xiao Tian melangkah maju. Langkahnya tenang, bahkan ringan. Wajahnya datar, tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun. Setiap gerakannya tidak menciptakan gelombang energi besar, namun diam-diam menyalakan perubahan atmosfer. Seakan ruang mengenali bahwa sesuatu yang asing telah bergerak. “Akhirnya… kebetulan aku sudah pegal tidak bertarung. Kalian cukup untuk sedikit merentangkan otot-otot ku!” Semua pandangan tertuju padanya. Para anggota ketiga kekuatan besar mengalihkan fokus mereka. Namun alih-alih waspada, mereka justru tertawa keras—tawa mengejek, meremehkan, seolah k
Dataran tandus yang awalnya hening berguncang hebat, seperti ditarik dari inti bumi oleh kekuatan yang tak terlihat. Suara retakan menyebar di segala arah, angin berdesir memutar liar, menciptakan pusaran energi yang mencakar langit. Dua pusaran raksasa terbentuk dengan sempurna tepat di tengah-tengah dataran. Pusaran itu berputar perlahan, namun menyimpan kekuatan luar biasa yang seakan mampu menelan seluruh langit di atasnya. Salah satu pusaran memancarkan cahaya ungu keemasan, sinarnya berdenyut pelan seperti napas makhluk hidup. Sementara yang satu lagi menyala merah darah bercampur hitam pekat, menciptakan bayangan kelam yang menyebar hingga ke kaki para pengamat. Pemilik Villa langsung berseru lantang, suaranya bergema kuat di seluruh penjuru area. Nada bicaranya tidak terburu-buru, namun penuh otoritas. “Kalian generasi muda, memasuki pusaran sebelah kiri! Sedangkan yang berusia di atas empat puluh tahun, kalian memasuki pusaran sebelah kanan! Generasi muda dan generasi tua
“Kita harus bergegas. Paviliun Bayangan Naga Abadi sudah menunggu kita terlalu lama. Mereka akan ikut masuk ke area terlarang,” ucap Pemilik Villa dengan suara penuh wibawa. Salah satu Tetua bertanya pelan, nada suaranya hampir tenggelam di tengah gemuruh siaga kapal perang. “Tuan, apakah itu tidak menjadi pemborosan?” “Tidak. Paviliun Bayangan Naga Abadi ikut berkontribusi untuk merawat area terlarang ini. Lagipula lokasinya berada di perbatasan antara Villa Hati Seribu Bintang dan Paviliun Bayangan Naga Abadi. Jadi itu adalah hal wajar untuk berbagi kekayaan.” Jawaban itu membuat semua Tetua langsung diam. Tidak ada lagi pertanyaan. Semua langsung menaiki kapal perang. Satu per satu, formasi pelindung diaktifkan dan energi mengalir deras, menyelimuti seluruh badan kapal dengan lapisan perlindungan rapat. Kapal itu melesat menembus langit, meninggalkan jejak cahaya panjang di belakangnya. Sepanjang perjalanan, suasana dalam kapal dipenuhi bisik-bisik dan pandangan penuh rasa ingi
Xiao Tian mengikutinya dari belakang, langkahnya mantap namun tanpa suara, dan ketika burung raksasa itu terbang, pemandangan megah Villa Hati Seribu Bintang terbentang luas di bawah mereka. Gunung-gunung yang menembus awan jumlahnya tak terhitung. Ada air terjun spiritual yang jatuh dari puncak-puncak suci, padang rumput berbunga, hingga formasi-formasi terapung yang berkilauan di langit. Tiang-tiang cahaya spiritual menghubungkan langit dan bumi, dan setiap sudut wilayah itu menunjukkan kemegahan sebuah kekuatan yang telah mengakar selama ribuan tahun. Semua pemandangan ini tidak bisa dilihat oleh orang luar, hanya mereka yang berada di lingkaran inti Villa yang bisa menyaksikannya. Dari kejauhan, beberapa murid dan Tetua yang sedang beraktivitas di langit dan daratan melihat Bai Ruochen terbang bersama seseorang. Tatapan mereka langsung tertuju ke pemuda asing yang duduk di belakang Putri Suci. “Siapa pemuda itu? Beruntung sekali dia bisa duduk di belakang Putri Suci sambil menu