Menu Favorit Axton
Satu bulan kemudian telah berlalu sejak kejadian di rumah sakit itu dan kini di sinilah Milly sekarang, menunduk di wastafel dan memuntahkan sesuatu yang sia-sia, sementara Elena berdiri di sebelahnya mengusap punggungnya pelan dengan ekspresi cemas.“Apa seburuk itu?” tanyanya pada Milly yang kini menyalakan kran air untuk membasuh mulut.
“Ya, dan aku ingin sekali mengugurkannya tapi…” Milly menyelipkan beberapa helai rambut ke telinga, mengangkat wajah lelahnya dan mematut dirinya di cermin sambil tersenyum getir.
“Jika aku melakukannya, aku akan menjadi Ibu terburuk di dunia.”
Lalu ia menoleh pada Elena yang tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat mendengar kalimat Milly berikutnya, “Seorang Ibu yang baik tidak akan pernah menyesal melahirkannya. Kurasa aku ingin ia bangga padaku suatu hari nanti.”
Elena tidak bisa menyembunyikan rasa harunya.
Milly pun pasraPermintaan Maaf AxtonMilly membungkuk, memutar kran air di wastafel dapur, membiarkan air itu mengalir. Kepalanya terasa pusing. Entah tidak terhitung berapa kali ia mengalami hal seperti ini. Napasnya terengah-engah. Gejolak di perutnya yang terasa tidak nyaman dan begitu mendesak—minta dikeluarkan—membuat ia berada di sini, alih-alih kamar mandi.“Kau baik-baik saja?”Segera Milly berbalik dan mematikan kran air saat merasa suara itu berada di belakangnya. Ia terkejut melihat Axton berdiri di tengah ruangan. Wajah lelaki itu mengeras dengan bola mata yang memercikkan kecemasan.“Apa yang kaulakukan di sini?” ketus Milly yang justru balik bertanya.“Hanya ingin memandangmu lebih dekat.” Axton lalu berjalan ke arah gadis itu pelan, tidak menggubris sorot permusuhan yang kentara di mata Milly.“Berhenti di situ,”
Ungkapan Kebencian MillyMilly mendekat ke cermin di kamar, rambutnya tergerai dengan indah. Saat mematut dirinya dan memandang perutnya yang belum terlalu membesar, Milly bergumam,“Mommy janji akan menjagamu dengan baik. Dan di sini bukan tempat yang baik untukmu dan Mommy.”Ia tahu bahwa Axton telah pulih. Bahkan dua jam lalu, ia sempat melihat lelaki itu masuk ke mobil bersama Thomas dari jendela kamarnya. Entah pergi kemana, Milly merasa tidak perlu memikirkannya.Kepala Milly lalu menoleh ke segala arah, mengamati lekat setiap sudut di kamar ini.Sekarang, ia hanya perlu pergi dari rumah ini. Karena ia sudah tidak memiliki hutang budi apapun dengan lelaki itu.***Milly menggenakan atasan t-shirt lengan panjang berwarna kuning dan bawahan rok putih mekar sebatas lutut senada dengan flatshoesnya. Ia berusaha mengatur napasnya di ambang pintu rumah A
Cara Kerja WaktuAxton setengah berlutut di pemakaman Wella, satu tangannya memegang sebuket mawar merah. Sendu ia memandang nisan yang bertuliskan nama serta tanggal wafat Ibunya.“Apa yang harus kulakukan Mom? Aku sudah berbuat banyak kesalahan dengannya,” gumam Axton, mencurahkan rasa frustrasinya namun hanya dibalas oleh kesunyian di siang hari.“Milly… gadis yang kukenalkan padamu… ia adalah Eve, Mom.”Axton lalu meletakkan sebuket bunga mawar di dekat nisan Wella. “Sekarang, ia sangat membenciku.”Lagi-lagi sunyi. Namun hembusan angin mulai menerpa rambut Axton. Menelan ludah kasar, Axton kembali berbicara pada makam Wella, suaranya berbisik lirih.“Maafkan aku Mom. Jika saja, aku tidak terlambat menolongmu, kau takkan berada di sini. Aku sangat menyayangimu Mom. Selalu.”Setelah itu A
Pangeran Tampan7 tahun kemudian…Suara musik berdentum keras di sekeliling. Lampu yang menyerupai bola besar berputar, memancarkan cahaya warna-warni, makin menambah suasana hingar-bingar di Club itu. Axton mengambil kursi di sisi Fernandez.Ia memandang Bartender di depannya dengan datar, dan sang Bartender langsung memberikan minuman biasa yang dikonsumsi Axton. Bahkan Axton tidak perlu membayar karena ini adalah Club miliknya.“Jadi kau sudah bertemu dengannya?” Fernandez melirik Axton di tengah menenggak minumannya.“Aku masih belum yakin.”Fernandez mendengkus dan meletakkan gelas sloki ke meja yang langsung diisi oleh bartender dengan yang baru.“Lalu untuk apa kau menyuruhku kemari.”“Sengaja agar kau tidak terus berduaan dengan istrimu.”Fernandez
Princess Yang Membenci Sang Pangeran TampanMilly menatap Simon yang berdiri di depannya. Lelaki itu tidak lagi memakai kacamata seperti dulu. Simon tampak menawan sekarang dengan kaos hitam yang dilapisi setelan jas senada. Rambut lelaki itu ditata rapi dengan pomade. Senyumnya terlihat sangat manis.Tentu lelaki itu tidak tahu bahwa Milly dan Evelyn adalah orang yang sama, meski bentuk wajahnya berbeda.Mungkin terkesan klise, pertemuan pertama mereka terjadi satu tahun lalu karena Simon adalah pelanggan tetap di Restoran tempat Milly bekerja. Milly tidak lagi bekerja di kedai kopi, sebab ia tahu dari Elena bahwa entah bagaimana kedai kopi itu sudah lama menjadi lahan bisnis Fernandez.Lewat pertemuan satu tahun itu pula, hubungannya dengan Simon terjalin dan mengalir begitu saja sampai mencapai ke tahap sekarang. Terbilang cepat memang. Meski awalnya, Simon yang mendekatinya lebih dulu.“Simon… maafkan aku. Seharusnya nanti malam ak
Ancaman Sialan AxtonSaat berada di dalam, Axton duduk di sofa dengan kaki terbuka. Kedua siku tangannya bertumpu pada kedua lutut, sementara kesepuluh jemarinya saling bertautan. Axton menatap Milly lekat.Milly juga duduk di sofa berhadapan dengan Axton. Balas menatap lelaki itu dan mengabaikan aura dominan Axton serta aroma parfum maskulin lelaki itu yang menelusup di indera penciumannya. Sebuah meja persegi panjang berada di tengah mereka, menjadi pemisah jarak.“Kebetulan kau ada di sini. Bibi sudah menceritakan padaku segalanya.”Milly meletakkan amplop coklat ke atas meja.“Ini adalah semua uang milikmu. Juga uang cicilan renovasi rumah. Aku baru menambahkan untuk bulan ini. Aku tahu jumlahnya masih kurang, tapi—”“Kau akan menikah dengan Simon?” sela Axton dengan suara berat dan dalam.4Mi
Sebuah Hasutan HalusDi tempat lain, Michelle mengeluarkan ponsel dari kantong kecil di ransel ungunya. Ia sudah berpikir cukup lama sebelum mengambil keputusan ini. Keputusan untuk menghubungi Axton.Bahkan ia terpaksa mengambil ponsel ini di laci kamar Rachel secara diam-diam. Ia tahu, tidak seharusnya ia melakukan hal itu. Tapi jika ia meminta ijin, semua akan sia-sia. Ponsel itu takkan pernah bisa ia bawa. Sebab kelonggaran memegang benda pipih itu hanya berlaku di rumah saja, tidak dengan di sekolah.Kedua orang dewasa itu kompak mendidiknya demikian. Semata-mata tidak ingin kegiatan belajar di sekolah terganggu.“Sudahlah kau tidak perlu memaksakan memiliki Ayah jika nyatanya kau memang tak punya,” hina Sarah sambil mengibaskan tangan sekilas ke udara dan didukung senyum sinis oleh kedua temannya.Kata-kata Sarah itu menohok Michelle, membuat Michelle menjadi sangat geram. Apalagi saat ia melihat Sarah menjulurkan lidahnya yang sere
Ledakan Amarah AxtonSuasana restoran siang itu cukup ramai. Beragam makanan amerika modern tersaji di tempat itu. Bunyi dentingan garpu dan sendok beradu di piring. Obrolan hangat para pengunjung mengisi suasana sekitar. Milly sibuk mendengarkan pesanan dua pengunjung di salah satu meja.“Anda akan memesan dua iced tea dan dua spaghetti rustichella. Mohon menunggu sebentar,” ulang Milly ramah. Tepat ketika ia berlalu, detik itu pintu sebuah restoran terbuka, memunculkan sosok Axton yang menggandeng tangan Michelle.Milly spontan berhenti melangkah. Bibirnya terbuka sedikit. Sementara Axton tersenyum tipis ke arahnya. Sebelum melewatinya tanpa melepaskan tautan jemarinya dengan Michelle. Sementara Michelle hanya mengerjap-ngerjap dengan mimik polos pada Milly.Selama sesaat tidak ada yang bisa dilakukan Milly selain melayangkan tatapan horor pada Axton. Lelaki itu sedang menjatuhkan bokong di salah sat