“Masih memikirkan kematian nenek itu?” tanya Kuranji sembari terus membolak-balik ikan yang sedang dipanggangnya. Puti Tan duduk di atas sebongkah batu besar di tepian sungai. Ia mengawasi gerak-gerik Kuranji dengan sebatang rumput kering terselip di bibir. Selang beberapa detik, rumput itu telah berpindah ke jarinya. “Eh, Kuranji, aku merasa kematian nenek itu tidak wajar. Terlalu mendadak. Selain itu, masa iya sih nenek itu bunuh diri? Menurutmu … ada hubungannya tidak dengan kematian tetua kampung?” Kuranji menyodorkan seekor ikan yang sudah matang kepada Puti Tan, lalu kembali ke dekat perapian, menikmati jatahnya sendiri. “Dilihat dari cara nenek itu meninggal, memang sangat mirip dengan tewasnya tetua kampung,” jawab Kuranji. “Bisa jadi karena penyakit yang sama atau—” “Dibunuh oleh orang yang sama. Begitu ‘kan maksudmu?” potong Puti Tan. “Tidak bisa dipastikan, orang yang sama atau bukan, yang jelas, kemungkinan besar oleh komplotan yang sama.” “Tanpa dihabisi pun, nenek
Si Kumis Berantakan menyibak hamparan rumput dan dedaunan kering yang menutupi lantai pondok. Tampak sebuah pintu papan berukuran kecil. Saat pintu diangkat, sebuah tangga mengarah ke bawah terpampang di depan mata. Lelaki itu kembali memanggul Puti Tan, lalu membawanya turun. Tanpa mengeluarkan Puti Tan dari dalam karung, si Kumis Berantakan membaringkan gadis tersebut di atas tanah keras yang dibentuk menyerupai ranjang. Tak lama kemudian ia kembali ke atas dan menutupi lubang itu seperti semula. Setelah memastikan semuanya tampak wajar, si Kumis Panjang dan si Kumis Berantakan meninggalkan pondok itu. Bola mata Puti Tan perlahan bergerak-gerak. Selang beberapa detik, kelopak matanya pun terbuka. Merasakan sesuatu yang kasar menggores dagunya, Puti Tan menyadari bahwa dirinya berada di dalam karung. Beruntung kedua tangan dan kakinya tidak terikat. Tiba-tiba Puti Tan menyesali keputusannya yang menolak niat baik Kuranji untuk mengantarnya pulang. Sayang nasi sudah menjadi bubur.
“Itu dia! Dalang di balik hilangnya warga kampung kita.”“Tangkap lelaki bertopeng itu!”Segerombolan warga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba mengepung Kuranji yang baru saja berhasil merampas kembali Puti Tan dari tangan si Kumis Berantakan. Mereka bahkan belum keluar dari hutan.Kuranji dan Puti Tan saling pandang, kemudian beradu punggung, melindungi satu sama lain.“Dijelaskan juga percuma. Mereka tidak akan percaya,” bisik Kuranji. “Begitu ada kesempatan, Puti kaburlah! Kembali ke perguruan.”“Hm.” Puti Tan mengangguk.Kali ini ia tidak ingin berdebat dengan Kuranji. Pengalaman sebelumnya telah memberinya sebuah pelajaran berharga.Puluhan pasang mata merah karena dikuasai amarah itu bergerak liar, menebar renjana pembalasan dendam.“Seraaang!”Dengan satu komando, beragam senjata berlomba-lomba ingin mencincang Kuranji dan Puti Tan. Pergerakan mereka laksana gelombang tsunami yang siap meluluhlantakkan daratan dan segala sesuatu yang mengadang kecepatan lajunya.Melihat dari
Pancaran netra Kuranji tajam menusuk. Sementara jari-jari kokohnya mencengkeram dan memelintir pergelangan tangan lelaki yang bersikap kurang ajar terhadap Puti Tan.“Akh!”“Aakh!”“Aaakh!”Semakin kuat pelintiran Kuranji, bertambah keras pula raung kesakitan yang meledak dari mulut nakal lelaki itu.Tiga temannya lekas menghambur, menyerang Kuranji. Mereka melompat dan menerjang Kuranji.Kuranji berputar tanpa melepas cengkeramannya seraya menyongsong terjangan lawan dengan tendangan pula. Ketika dua telapak kaki beradu, lawan Kuranji terbang sejauh lima meter. Dua lainnya terpaksa menarik mundur serangan, lantaran Kuranji menjadikan rekan mereka sebagai tameng, dengan memelintir tangan lelaki itu ke belakang sembari menempelkan punggung sang pengganggu ke dadanya.“Saudara-saudara, dengarkan aku!” ujar lelaki yang dilempar terbang oleh Kuranji. “Tangkap mereka! Kalian akan kaya jika berhasil menangkap mereka.”Namun, orang-orang yang berada di ruangan itu tidak mudah untuk diprovoka
“Hahaha … kita kaya! Kaya!” “Hahaha ….” Tawa kemenangan saling bersambut melihat penderitaan Kuranji. Sekali lagi Kuranji menjadi korban bulan-bulanan. Kali ini bukan oleh saudara seperguruannya, melainkan sekelompok masyarakat yang silau akan kilau gulden. Empat utas tali membelit pinggangnya dan menariknya dari arah yang saling berlawanan. Kuranji menahan tarikan tali dari dua sisi. Sungguh pinggangnya terasa mau putus. Namun, tak peduli sekuat apa pun Kuranji melilitkan tali itu pada kedua lengannya serta menariknya, dua lelaki yang berada di ujung tali itu juga mati-matian mempertahankan senjata mereka. Drap! Drap! Entakan kaki berlari kencang gegas menderap ke arah Kuranji. Lelaki yang berada paling depan, menunjuk tepat ke wajah Kuranji, berkata lantang dengan nada geram, “Ini dia orangnya! Tidak salah lagi. Aku ingat betul pakaian yang dikenakannya saat melarikan kuda milikku.” “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dia harus membayar tunai perbuatan buruknya.” “Seret dia!”
“Mampus kau!”Mata telanjang orang awam tidak dapat membedakan apakah si Kumis Berantakan berlari atau meluncur di atas permukaan tanah saat melancarkan serangan mautnya.Saking cepatnya gerakan lelaki itu, tubuhnya tampak seperti sebuah bayangan yang melesat ke depan. Angin yang dihasilkan dari gerakan tersebut menjadikan tanaman kecil yang dilaluinya laksana helaian ilalang yang diterpa angin kencang.Namun, tidak demikian halnya bagi penglihatan Kuranji. Ia dapat melihat dengan jelas serangan si Kumis Berantakan yang datang kepadanya.“Lumayan.” Kuranji berkelit ke kiri.Serangan si Kumis Berantakan menghantam udara kosong. Di saat bersamaan, Kuranji menangkap lengan lawan yang terentang lurus.Si Kumis Berantakan bergerak cepat, mengarahkan punggungnya pada Kuranji, lalu menyikut dada Kuranji. Kuranji terus berkelit dan menangkis.Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!Suara pukulan dan tendangan yang saling beradu mengusir gerombolan burung yang berlindung dari terik mentari untuk terbang menja
Melompat dan bertengger dari satu pohon ke pohon lainnya di sekitar penginapan, tatapan tajam Kuranji jeli mengawasi setiap jendela di lantai dua yang masih terbuka. Kelompok berbeda dari sekumpulan pria memeriksa kamar yang mereka masuki. Tak segan-segan mereka juga menyeret paksa menghuninya. “Ke mana pemilik penginapan itu membawa Puti?” Tidak satu pun dari wanita, yang diseret keluar, memiliki wajah mirip dengan Puti Tan. Sayang, suara jeritan tak lagi terdengar. Kuranji sangat yakin bahwa suara yang dia dengar sebelumnya merupakan lengkingan Puti Tan. “Jalan! Cepat! Jangan manja hanya karena sebuah luka kecil!” Pria muda, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan tompel besar di pelipis kirinya, mendorong Puti Tan hingga gadis itu nyaris tersungkur. Kedua tangannya terikat. Mulutnya juga disumpal dengan ikat kepala hitam yang disimpul erat ke belakang. Semenjak kehilangan kekuatan akibat pertarungannya dengan Kavland, kemalangan demi kemalangan terus menghampiri Puti Tan
Tak kenal maka tak sayang. Apa yang dilihat dan didengar belum tentu kenyataan yang sebenarnya, bahkan seringkali malah bermuara pada kekeliruan. Menghakimi tanpa menyelidiki kebenaran dengan teliti, sungguh merupakan sebuah vonis yang dapat membunuh mental korbannya.“Hei, hei!” Puti Tan keluar dari balik punggung Kuranji. “Rimba raya ini ciptaan Tuhan. Hanya karena kalian biasa berburu di sini, bukan berarti tempat ini mutlak menjadi hak milik kalian. Lagi pula ….”Puti Tan berjalan mondar-mandir seraya memindai penampilan sepasang pendekar itu. “Setahu aku ya … Perguruan Tapak Harimau cukup jauh dari sini.”“Kau … mengenal kami?” tanya sang lelaki, dengan alis terangkat tinggi.“Ya enggaklah. Aku cuma menebak.”“Jangan memancing emosiku, Nisanak! Aku tak peduli kamu seorang perempuan, jika kamu membuatku marah!”Rupanya sang pria termasuk tipe manusia yang tidak terlalu pandai dalam mengontrol emosi.“Yeee, kamu saja yang bersumbu pendek.”“Kamu—”“Kenapa?! Mau bertarung? Ayo!” tan