Share

Bab 4

Lantai dan dinding gua bergetar hebat. Sebagian langit-langit gua bahkan runtuh, menjatuhkan hujan kepingan batu kapur.

Kuranji terhuyung, terombang-ambing seperti batok kelapa yang mengambang di lautan.

Ketika guncangan itu berhenti, Kuranji tersungkur dalam posisi merangkak.

“Hati-hati dengan kekuatan suaramu, Anak Muda!”

Seorang kakek berjubah putih berdiri sejauh dua meter dari Kuranji. Sekilas ia melirik pedang yang tergeletak di lantai, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Kuranji. Tangan kanannya menggenggam seuntai butiran tasbih. Sementara mulutnya tak henti komat-kamit. Entah kapan kakek petapa berjanggut panjang itu muncul. 

Refleks Kuranji menyambar pedang yang tadi dilemparnya. Ia bangkit seraya mengacungkan pedang itu kepada si kakek.

“J-jangan mendekat!”

Petapa tua itu tersenyum. “Jangan takut! Akulah yang telah merawat luka-lukamu.”

Suara yang hangat dan tatapan mata yang teduh mengikis kecemasan Kuranji. Perlahan ia menurunkan pedangnya.

Sesaat Kuranji memindai penampilan sang petapa. Dilihat dari panjangnya jenggot yang mencapai pusar dan warnanya yang memutih, Kuranji memperkirakan lelaki tua di depannya itu telah berumur lebih dari seratus tahun. Namun, postur tubuhnya masih terlihat gagah.

Mengingat sang petapa dapat menyembuhkan lukanya yang parah, Kuranji yakin lelaki tua itu bukan orang sembarangan. Serta merta Kuranji menjatuhkan diri, berlutut. Tangannya yang menggenggam pedang menghaturkan sembah sujud.

“Kakek, mohon terima aku menjadi muridmu.”

“Berdirilah!”

Kuranji malah menjatuhkan pedangnya dan menempelkan kening ke tanah. “Aku mohon, Kakek ….”

Kuranji tetap mempertahankan posisi itu dan mengulang-ulang permintaannya.

Sang petapa menghela napas panjang. “Anak Muda, bagaimana mungkin kau bisa menjadi muridku bila terus bersujud seperti itu? Aku bukan Tuhan. Bangunlah!”

Cepat-cepat Kuranji bangkit. Senyum lebar terukir di bibirnya.

“Terima kasih, Kakek! Terima kasih!”

“Aku bahkan tak bisa menolakmu, walaupun aku sangat menginginkan hal itu.”

“Huh?” Alis Kuranji mengerut.

“Ikut aku!” Sang petapa berbalik pergi.

Kuranji meraup pedang di tanah, lalu bergerak cepat memburu kakek itu. “Tunggu, Kek! Apa maksudmu?”

Duk!

“Akh!” Kuranji mengusap hidungnya yang terantuk pada punggung sang petapa ketika lelaki tua itu berhenti mendadak.

“Pedang itu,” kata Kakek Petapa setelah tegak berhadapan dengan Kuranji.

Kuranji memperhatikan pedang di tangannya, kemudian menyerahkan pedang itu kepada sang petapa.

“Aku … aku hanya penasaran dan ingin melihatnya. Aku … tidak bermaksud untuk mencurinya. Ini … ambillah!”

Kakek Petapa tersenyum simpul seraya menggeleng. “Pedang itu telah memilihmu. Simpan baik-baik!”

“Tidak, tidak. Aku tidak sengaja mencabutnya.”

“Anak Muda, pedang yang kau pegang itu adalah pusaka langka. Pedang itu telah menancap di batu itu selama ratusan tahun. Tidak ada yang mampu mencabutnya, kecuali … seseorang yang memang ditakdirkan untuk berjodoh dengannya.”

“Hah!” Mulut Kuranji ternganga. “Benarkah? Sehebat itu?”

Kuranji mengamati pedang di tangannya. Ia tidak begitu memahami seluk-beluk senjata pusaka. Di matanya, itu hanyalah sebuah pedang biasa, tetapi memiliki tampilan yang unik dan memancarkan cahaya indah.

“Coba saja kau letakkan kembali pedang itu ke tempat semula!”

Seakan terhipnotis atau mungkin juga karena didorong oleh rasa penasaran, Kuranji mengayun langkah, mendekati meja batu. Ia menancapkan kembali pedang di tangannya ke celah batu.

Kakek Petapa mendekat. Ia mengulurkan tangan, berusaha mencabut pedang itu. Akan tetapi, pedang itu tidak bergerak sama sekali, meskipun ia telah mengerahkan seluruh tenaga. Bahkan, lelaki berjenggot panjang itu sampai naik ke atas meja.

Setelah cukup lama berjuang dan berakhir gagal, petapa tua itu menyerah. Ia menyeka keringat yang membanjiri pelipisnya.

“Kau lihat, Anak Muda?”

Kuranji garuk-garuk kelapa. Seringai canggung terbit di wajah herannya. Sulit dipercaya!

Untuk membuktikan kebenaran ucapan kakek tersebut serta demi memuaskan dahaga keingintahuannya, Kuranji meraih gagang pedang. Tanpa menyalurkan banyak tenaga, pedang itu telah berada dalam genggamannya.

Apa pedang ini memang berjodoh denganku?’ tanya Kuranji dalam hati. ‘Bagus juga! Dengan memiliki pedang ini, aku tidak lagi menjadi pecundang yang selalu dipandang sebelah mata.’

“Bagaimana? Sudah yakin?” Teguran sang petapa menarik jiwa Kuranji untuk kembali berpijak di dunia nyata.

“Hehe ….” Kuranji menyeringai masam, lalu cepat-cepat menyusul sang petapa yang telah berlalu tanpa kata.

“Wah, gua ini juga memiliki hamparan padang ilalang?” Kuranji berseru takjub menyaksikan tarian gemulai dari setiap helai daun ilalang yang tertiup angin.

Kakek Petapa hanya tersenyum tipis melihat tingkah kekanak-kanakan Kuranji.

“Bersiaplah!”

“Huh? Bersiap? Untuk apa?”

“Kau membutuhkan kuda-kuda yang kuat untuk dapat mengendalikan pedang itu.”

Senyum cerah di wajah Kuranji yang masih mengagumi hamparan padang ilalang itu raib seketika, teringat betapa buruknya kemampuan bela diri yang dimilikinya, walaupun telah belasan tahun berlatih di Perguruan Pedang Emas.

“Ada apa?”

Kuranji menggeleng lemah dalam tunduk. Ia meragukan diri sendiri. Di sisi lain, ini adalah kesempatan emas untuk melatih diri. Jika dia terus tenggelam dalam ketakutan karena pernah gagal di masa lalu, hidupnya tidak akan pernah berubah.

Kuranji mengangkat kepala. “S–sekarang, Kek?”

“Tahun depan!” sungut sang petapa, menendang pantat Kuranji ke tengah lapangan padang ilalang.

Kuranji nyaris tersungkur, tapi akhirnya berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya.

“Tegak yang benar!” Kakek Petapa meluruskan posisi tegak Kuranji yang sedikit membungkuk.

Kuranji berusaha memasang kuda-kuda sesuai dengan ingatan yang terekam dalam otaknya saat belajar di Perguruan Pedang Emas.

Kakek Petapa menendang kaki Kuranji dari sisi dalam. “Buka lebih lebar!”

Sejak hari itu, Kuranji mendapat gemblengan langsung dari sang petapa. Setiap hari ia harus berlatih keras, tak peduli siang ataupun malam. Tak peduli panas maupun hujan. Kuranji tak boleh mengeluh, apalagi menyerah.

Tak terasa, tiga bulan sudah waktu berlalu. Kakek Petapa setia mendampingi Kuranji berlatih. Lelaki tua itu duduk bersila di bawah sebatang pohon dan mengawasi Kuranji dari kejauhan. Sesekali ia tersenyum sembari mengusap-usap jenggot panjangnya.

Setelah cukup lama menonton, tiba-tiba Kakek Petapa melompat dan menyergap Kuranji dengan sepotong kayu di tangan.

Kuranji berbalik dan menangkis serangan mendadak itu dengan pedang kayu yang dipakainya untuk berlatih. Ia sedikit terhuyung. Belum sempat berdiri dengan sempurna, sang kakek kembali melancarkan serangan. Kuranji kewalahan mengimbangi kecepatan gerakan Kakek Petapa.

“Payah! Percuma kau berlatih selama tiga bulan ini,” ejek sang petapa. “Lihatlah gerakanmu! Sangat lamban!”

Emosi Kuranji terpancing mendengar cemoohan Kakek Petapa, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengakui kelemahannya di hadapan sang guru.

“Ooh, siapa bilang? Aku hanya tidak ingin menyakiti Kakek,” elak Kuranji sambil mencari celah untuk mengecoh sang guru.

Saat Kakek Petapa lengah, Kuranji melayangkan tendangan samping. Tendangan itu menyebabkan Kakek Petapa tersungkur dan mencium tanah.

Kuranji, yang tak menduga sang guru benar-benar terkecoh, merasa bersalah.

“Kakek, maaf, maaf!” Kuranji membantu sang kakek untuk bangkit.

Tak disangka, begitu tangan Kuranji terulur, sang petapa tua berbalik. Dengan gerakan cepat ia membetot tangan Kuranji, lalu menguncinya. Kini Kuranji yang tertelungkup di tanah tanpa bisa bergerak.

“Ampun, Kek. Ampun.” Kuranji menepuk permukaan tanah, pertanda menyerah.

Sang petapa melepaskan Kuranji seraya bangkit sambil mengibas debu yang mengotori pakaiannya. Kuranji ikut berdiri.

Petapa tua mengeluarkan sebuah kitab kuno dari balik jubah putihnya.

“Kurasa, sudah saatnya kau mempelajari jurus andalan Runduih Ameh,” kata Kakek Petapa.

“Apa? Runduih Ameh?”

“Iya. Pedang yang kau temukan … namanya Runduih Ameh.”

“Aah ….” Kuranji mengangguk ringan.

Kakek Petapa menyerahkan buku di tangannya kepada Kuranji. “Pelajari isi kitab ini!”

Ragu-ragu Kuranji mengambil kitab itu dari tangan Kakek Petapa.

“Tapi,Kek—”

“Jurus dasarmu sudah sempurna untuk dapat menguasai isi kitab itu,” tegas sang kakek, lalu berbalik menjauh.

Kuranji mengejar Kakek Petapa dan menyejajari langkahnya. “Kek, sebenarnya … Kakek sengaja mengalah, ‘kan?”

“Anak Muda, pantas saja mereka selalu merundungmu. Kau sendiri yang memandang rendah kemampuanmu.”

Kuranji tahu pasti siapa mereka yang dimaksud oleh Kakek Petapa. Ia garuk-garuk kepala setelah mengetahui bahwa lelaki tua itu tidak pernah dengan sengaja mengalah terhadap serangannya.

Seulas senyum cerah merekah di bibir Kuranji. ‘Apa iya sekarang aku sehebat itu?

Rasanya Kuranji masih tak percaya dia dapat memukul jatuh sang Kakek Petapa.

“Sudahlah. Jangan terlalu banyak berpikir! Dalami isi kitab itu. Ingat, gunakan untuk membela kebenaran!”

Selesai memberi perintah dan wejangan singkat, Kakek Petapa batuk darah.

“Uhuk!” Lelaki tua itu terbungkuk seraya memegangi dadanya. Napasnya tiba-tiba sesak, lalu roboh.

Refleks Kuranji menangkap tubuh sang kakek dan berteriak panik, “Kakek!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status