Lantai dan dinding gua bergetar hebat. Sebagian langit-langit gua bahkan runtuh, menjatuhkan hujan kepingan batu kapur.
Kuranji terhuyung, terombang-ambing seperti batok kelapa yang mengambang di lautan.
Ketika guncangan itu berhenti, Kuranji tersungkur dalam posisi merangkak.
“Hati-hati dengan kekuatan suaramu, Anak Muda!”
Seorang kakek berjubah putih berdiri sejauh dua meter dari Kuranji. Sekilas ia melirik pedang yang tergeletak di lantai, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Kuranji. Tangan kanannya menggenggam seuntai butiran tasbih. Sementara mulutnya tak henti komat-kamit. Entah kapan kakek petapa berjanggut panjang itu muncul.
Refleks Kuranji menyambar pedang yang tadi dilemparnya. Ia bangkit seraya mengacungkan pedang itu kepada si kakek.
“J-jangan mendekat!”
Petapa tua itu tersenyum. “Jangan takut! Akulah yang telah merawat luka-lukamu.”
Suara yang hangat dan tatapan mata yang teduh mengikis kecemasan Kuranji. Perlahan ia menurunkan pedangnya.
Sesaat Kuranji memindai penampilan sang petapa. Dilihat dari panjangnya jenggot yang mencapai pusar dan warnanya yang memutih, Kuranji memperkirakan lelaki tua di depannya itu telah berumur lebih dari seratus tahun. Namun, postur tubuhnya masih terlihat gagah.
Mengingat sang petapa dapat menyembuhkan lukanya yang parah, Kuranji yakin lelaki tua itu bukan orang sembarangan. Serta merta Kuranji menjatuhkan diri, berlutut. Tangannya yang menggenggam pedang menghaturkan sembah sujud.
“Kakek, mohon terima aku menjadi muridmu.”
“Berdirilah!”
Kuranji malah menjatuhkan pedangnya dan menempelkan kening ke tanah. “Aku mohon, Kakek ….”
Kuranji tetap mempertahankan posisi itu dan mengulang-ulang permintaannya.
Sang petapa menghela napas panjang. “Anak Muda, bagaimana mungkin kau bisa menjadi muridku bila terus bersujud seperti itu? Aku bukan Tuhan. Bangunlah!”
Cepat-cepat Kuranji bangkit. Senyum lebar terukir di bibirnya.
“Terima kasih, Kakek! Terima kasih!”
“Aku bahkan tak bisa menolakmu, walaupun aku sangat menginginkan hal itu.”
“Huh?” Alis Kuranji mengerut.
“Ikut aku!” Sang petapa berbalik pergi.
Kuranji meraup pedang di tanah, lalu bergerak cepat memburu kakek itu. “Tunggu, Kek! Apa maksudmu?”
Duk!
“Akh!” Kuranji mengusap hidungnya yang terantuk pada punggung sang petapa ketika lelaki tua itu berhenti mendadak.
“Pedang itu,” kata Kakek Petapa setelah tegak berhadapan dengan Kuranji.
Kuranji memperhatikan pedang di tangannya, kemudian menyerahkan pedang itu kepada sang petapa.
“Aku … aku hanya penasaran dan ingin melihatnya. Aku … tidak bermaksud untuk mencurinya. Ini … ambillah!”
Kakek Petapa tersenyum simpul seraya menggeleng. “Pedang itu telah memilihmu. Simpan baik-baik!”
“Tidak, tidak. Aku tidak sengaja mencabutnya.”
“Anak Muda, pedang yang kau pegang itu adalah pusaka langka. Pedang itu telah menancap di batu itu selama ratusan tahun. Tidak ada yang mampu mencabutnya, kecuali … seseorang yang memang ditakdirkan untuk berjodoh dengannya.”
“Hah!” Mulut Kuranji ternganga. “Benarkah? Sehebat itu?”
Kuranji mengamati pedang di tangannya. Ia tidak begitu memahami seluk-beluk senjata pusaka. Di matanya, itu hanyalah sebuah pedang biasa, tetapi memiliki tampilan yang unik dan memancarkan cahaya indah.
“Coba saja kau letakkan kembali pedang itu ke tempat semula!”
Seakan terhipnotis atau mungkin juga karena didorong oleh rasa penasaran, Kuranji mengayun langkah, mendekati meja batu. Ia menancapkan kembali pedang di tangannya ke celah batu.
Kakek Petapa mendekat. Ia mengulurkan tangan, berusaha mencabut pedang itu. Akan tetapi, pedang itu tidak bergerak sama sekali, meskipun ia telah mengerahkan seluruh tenaga. Bahkan, lelaki berjenggot panjang itu sampai naik ke atas meja.
Setelah cukup lama berjuang dan berakhir gagal, petapa tua itu menyerah. Ia menyeka keringat yang membanjiri pelipisnya.
“Kau lihat, Anak Muda?”
Kuranji garuk-garuk kelapa. Seringai canggung terbit di wajah herannya. Sulit dipercaya!
Untuk membuktikan kebenaran ucapan kakek tersebut serta demi memuaskan dahaga keingintahuannya, Kuranji meraih gagang pedang. Tanpa menyalurkan banyak tenaga, pedang itu telah berada dalam genggamannya.
‘Apa pedang ini memang berjodoh denganku?’ tanya Kuranji dalam hati. ‘Bagus juga! Dengan memiliki pedang ini, aku tidak lagi menjadi pecundang yang selalu dipandang sebelah mata.’
“Bagaimana? Sudah yakin?” Teguran sang petapa menarik jiwa Kuranji untuk kembali berpijak di dunia nyata.
“Hehe ….” Kuranji menyeringai masam, lalu cepat-cepat menyusul sang petapa yang telah berlalu tanpa kata.
“Wah, gua ini juga memiliki hamparan padang ilalang?” Kuranji berseru takjub menyaksikan tarian gemulai dari setiap helai daun ilalang yang tertiup angin.
Kakek Petapa hanya tersenyum tipis melihat tingkah kekanak-kanakan Kuranji.
“Bersiaplah!”
“Huh? Bersiap? Untuk apa?”
“Kau membutuhkan kuda-kuda yang kuat untuk dapat mengendalikan pedang itu.”
Senyum cerah di wajah Kuranji yang masih mengagumi hamparan padang ilalang itu raib seketika, teringat betapa buruknya kemampuan bela diri yang dimilikinya, walaupun telah belasan tahun berlatih di Perguruan Pedang Emas.
“Ada apa?”
Kuranji menggeleng lemah dalam tunduk. Ia meragukan diri sendiri. Di sisi lain, ini adalah kesempatan emas untuk melatih diri. Jika dia terus tenggelam dalam ketakutan karena pernah gagal di masa lalu, hidupnya tidak akan pernah berubah.
Kuranji mengangkat kepala. “S–sekarang, Kek?”
“Tahun depan!” sungut sang petapa, menendang pantat Kuranji ke tengah lapangan padang ilalang.
Kuranji nyaris tersungkur, tapi akhirnya berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Tegak yang benar!” Kakek Petapa meluruskan posisi tegak Kuranji yang sedikit membungkuk.
Kuranji berusaha memasang kuda-kuda sesuai dengan ingatan yang terekam dalam otaknya saat belajar di Perguruan Pedang Emas.
Kakek Petapa menendang kaki Kuranji dari sisi dalam. “Buka lebih lebar!”
Sejak hari itu, Kuranji mendapat gemblengan langsung dari sang petapa. Setiap hari ia harus berlatih keras, tak peduli siang ataupun malam. Tak peduli panas maupun hujan. Kuranji tak boleh mengeluh, apalagi menyerah.
Tak terasa, tiga bulan sudah waktu berlalu. Kakek Petapa setia mendampingi Kuranji berlatih. Lelaki tua itu duduk bersila di bawah sebatang pohon dan mengawasi Kuranji dari kejauhan. Sesekali ia tersenyum sembari mengusap-usap jenggot panjangnya.
Setelah cukup lama menonton, tiba-tiba Kakek Petapa melompat dan menyergap Kuranji dengan sepotong kayu di tangan.
Kuranji berbalik dan menangkis serangan mendadak itu dengan pedang kayu yang dipakainya untuk berlatih. Ia sedikit terhuyung. Belum sempat berdiri dengan sempurna, sang kakek kembali melancarkan serangan. Kuranji kewalahan mengimbangi kecepatan gerakan Kakek Petapa.
“Payah! Percuma kau berlatih selama tiga bulan ini,” ejek sang petapa. “Lihatlah gerakanmu! Sangat lamban!”
Emosi Kuranji terpancing mendengar cemoohan Kakek Petapa, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengakui kelemahannya di hadapan sang guru.
“Ooh, siapa bilang? Aku hanya tidak ingin menyakiti Kakek,” elak Kuranji sambil mencari celah untuk mengecoh sang guru.
Saat Kakek Petapa lengah, Kuranji melayangkan tendangan samping. Tendangan itu menyebabkan Kakek Petapa tersungkur dan mencium tanah.
Kuranji, yang tak menduga sang guru benar-benar terkecoh, merasa bersalah.
“Kakek, maaf, maaf!” Kuranji membantu sang kakek untuk bangkit.
Tak disangka, begitu tangan Kuranji terulur, sang petapa tua berbalik. Dengan gerakan cepat ia membetot tangan Kuranji, lalu menguncinya. Kini Kuranji yang tertelungkup di tanah tanpa bisa bergerak.
“Ampun, Kek. Ampun.” Kuranji menepuk permukaan tanah, pertanda menyerah.
Sang petapa melepaskan Kuranji seraya bangkit sambil mengibas debu yang mengotori pakaiannya. Kuranji ikut berdiri.
Petapa tua mengeluarkan sebuah kitab kuno dari balik jubah putihnya.
“Kurasa, sudah saatnya kau mempelajari jurus andalan Runduih Ameh,” kata Kakek Petapa.
“Apa? Runduih Ameh?”
“Iya. Pedang yang kau temukan … namanya Runduih Ameh.”
“Aah ….” Kuranji mengangguk ringan.
Kakek Petapa menyerahkan buku di tangannya kepada Kuranji. “Pelajari isi kitab ini!”
Ragu-ragu Kuranji mengambil kitab itu dari tangan Kakek Petapa.
“Tapi,Kek—”
“Jurus dasarmu sudah sempurna untuk dapat menguasai isi kitab itu,” tegas sang kakek, lalu berbalik menjauh.
Kuranji mengejar Kakek Petapa dan menyejajari langkahnya. “Kek, sebenarnya … Kakek sengaja mengalah, ‘kan?”
“Anak Muda, pantas saja mereka selalu merundungmu. Kau sendiri yang memandang rendah kemampuanmu.”
Kuranji tahu pasti siapa mereka yang dimaksud oleh Kakek Petapa. Ia garuk-garuk kepala setelah mengetahui bahwa lelaki tua itu tidak pernah dengan sengaja mengalah terhadap serangannya.
Seulas senyum cerah merekah di bibir Kuranji. ‘Apa iya sekarang aku sehebat itu?’
Rasanya Kuranji masih tak percaya dia dapat memukul jatuh sang Kakek Petapa.
“Sudahlah. Jangan terlalu banyak berpikir! Dalami isi kitab itu. Ingat, gunakan untuk membela kebenaran!”
Selesai memberi perintah dan wejangan singkat, Kakek Petapa batuk darah.
“Uhuk!” Lelaki tua itu terbungkuk seraya memegangi dadanya. Napasnya tiba-tiba sesak, lalu roboh.
Refleks Kuranji menangkap tubuh sang kakek dan berteriak panik, “Kakek!”
Semburat berwarna jingga mulai membias di ufuk Barat. Semilir angin senja membelai lembut helai dedaunan yang menaungi Puti Tan.Puti Tan mendesah lesu. Duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tegak menjulang di tepi sungai. Sebelah kakinya terlipat, menyokong lengannya yang sibuk bermain-main dengan sepotong ranting di ujung jari. Tatapannya kosong, menyusuri liku sungai. Arusnya yang tenang seakan enggan bermuara menuju laut lepas, sama seperti hati Puti Tan yang terasa berat untuk beranjak dari tempat duduknya.“Puti Tan!”Suara seseorang yang memanggil namanya tak digubris oleh Puti Tan.“Aku mencarimu ke mana-mana. Syukurlah kau baik-baik saja. Ayo, pulang!”Puti Tan memutar bola mata dengan malas, melirik sekilas pada sosok lelaki yang berjalan mendekatinya.“Kembalilah, Kavland! Aku masih ingin di sini.”Kavland menyembunyikan kekesalannya karena penolakan Puti Tan di balik seulas senyum ramah yang dipaksakan.“Puti, Tuan Guru memintaku untuk mencarimu walau ke ujung dunia
“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman. “Aku—” “Kau terluka dan pingsan.” “Siapa kamu? Di mana ini?” “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan. Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya. “Aku ingin duduk.” Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang. Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas per
Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya. Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji. “Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.” Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.” Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.” Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar. Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji. “Runduih Ameh! Kuranji,
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar
“Ampun! Ampun!” “Cepat ikat mereka semua!” Bugh! Jerit kesakitan saling bersambut dengan perintah bernada sangar dan tendangan. Bahkan, tak jarang diiringi pula dengan hantaman senjata tumpul. Sekumpulan lelaki muda, berusia di bawah empat puluh tahun, tak kuasa melawan keganasan sekelompok pria bertopeng. Siapa pun yang berani memberontak akan berakhir dengan babak belur. Kedua tangan mereka diikat ke belakang, dipaksa melangkah mengikuti perintah gerombolan penjahat itu. Drap! Drap! Terdengar derap langkah kuda berlari kencang. Debu jalanan berterbangan ketika kuda-kuda itu berhenti dengan kaki depan terangkat tinggi. “Naikkan mereka!” perintah lelaki bertopeng yang berada di posisi paling depan. Para penduduk kampung itu pun dilempar ke atas kuda dalam posisi menelungkup, melintang di depan sang joki. Kedua kaki mereka juga diikat, disusul dengan mata yang ditutup rapat. Dua orang dari pemuda kampung itu mencuri kesempatan untuk melarikan diri di saat gerombolan penjahat
Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki berlumuran darah seakan jatuh dari langit, terempas tepat di depan Puti Tan.Grep!Kuranji menarik mundur Puti Tan dan menyembunyikan gadis itu di belakang punggungnya.‘Tumben Puti Tan syok. Bukankah dulu dia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini?’ Kuranji membatin tak percaya pada reaksi yang ditunjukkan oleh Puti Tan.Kuranji mungkin lupa bahwa waktu dan keadaan dapat mengubah seseorang. Lima tahun bukan waktu yang lama, tetapi juga tidak bisa dibilang singkat. Banyak hal yang dapat terjadi selama kurun waktu tersebut, termasuk kemungkinan terjadinya perubahan perilaku, kebiasaan, dan sifat seseorang.“Cepat periksa dia!” desak Puti Tan, menekan Kuranji untuk berjongkok.Kuranji memeriksa denyut nadi lelaki tersebut.“Bagaimana? Dia … tewas?”“Mn.”Setelah mampu menguasai diri dari rasa terkejutnya, Puti Tan ikut berjongkok di samping Kuranji. Ia mengamati tubuh kaku yang berlumuran darah itu dengan saksama. Saat ia menoleh pada Ku
“Uh! Tempat apa ini?” Puti Tan menutup hidung. Sementara Kuranji hanya menahan napas. “Tidak usah banyak cingcong! Masuk!” Si Kumis Berantakan, yang sedari awal selalu menentang Kuranji dan Puti Tan, menendang pantat Kuranji, masuk ke sebuah rumah berdinding bambu. Bukan. Bangunan itu tidak terlihat seperti rumah, melainkan sebuah kandang. Lantainya berupa tanah kering yang retak dilanda kemarau. Pada beberapa titik bahkan ditutupi oleh sisa kotoran hewan yang telah mengering, menguarkan aroma tidak sedap. Nyaris saja Kuranji tersungkur akibat tendangan tak terduga tersebut. Untungnya ia cepat menguasai keseimbangan. Dua pengawal lainnya menyeret paksa Puti Tan untuk masuk ke kandang. Puti Tan menepis tangan mereka. “Aku bisa jalan sendiri!” Dengan terpaksa dan menggerutu, Puti Tan menyusul Kuranji, masuk ke kandang sambil menutup hidung dengan jari telunjuk. Si Kumis Berantakan mengunci pintu kandang tersebut dengan palang kayu, lalu merantainya erat-erat. “Kalian,” tunjuk Si