Share

Part 8

Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?

"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. 

"Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.

Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. 

"Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. 

"Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."

Itu sudah cukup menjelaskan, tetapi entah mengapa Ava merasa kurang puas. "Kamu nungguin kami datang?"

"Lebih tepatnya nemenin Tante Arum sebelum kalian datang, Va." 

Ava melirik Ziyan seolah meminta penjelasan dari lelaki itu. 

"Aku yang inisiatif sendiri," ungkap wanita itu kala Ziyan hendak menjawab. "Sebelumnya aku mengira kalau kamu mungkin bakal datang telat. Jadi, ya, aku inisiatif aja datang buat nemenin Tante Arum."

"Ya emang kenapa kalau Jema ada di sini, Va? Bukannya bagus, karena dia udah berniat baik buat nemenin ibu?" Arum menambahi. Dia memang merasa sangat terbantu dengan kehadiran Jema. 

"Ya nggak apa-apa, sih, Bu. Aku juga nggak mempermasalahkan itu, cuma--"

"Udah, udah... nggak usah diperpanjang. Lagia  kenapa kalian baru sampai jam segini, sih?" Arum menatap menantu dan anaknya dengan skeptis. 

Ziyan berniat untuk mencari alasan agar istrinya tidak kena omel, tetapi Jema lebih dulu menyela.

"Tante, Va dan Mas Ziyan, aku permisi dulu, ya." Jema mendadak beranjak dari sofa. 

"Lho, udah mau pulang aja, Ma?" tanya Arum.

"Iya, Tan. Udah sore, takut nanti kalau kelamaan bisa kemaleman." Jema merasa tugasnya sudah selesai. Terlebih alasannya tidak mengada-ada. 

Arum terlihat tidak senang dengan Jema yang hendak pulang. Jadi, wanita itu membujuk Jema agar tetap tinggal untuk beberapa saat lagi. Sekalian makan malam bersama katanya. 

Karena tidak enak dengan Arum yang terus memohon, Jema akhirnya tetap tinggal. Seperti yang sudah-sudah, perempuan itu tidak tinggal diam saat tuan rumah menyajikan makanan. Di dapur, dia membantu Arum dan di susul Ava setelah mendapat kode dari Ziyan.

"Maaf, ya, Va. Aku ke sini nggak ngabarin kamu dulu." Jema memulai pembicaraan di tengah aktivias. 

Ava tidak langsung menjawab. Dia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. 

"Va, kamu nggak marah, 'kan?"

"Eh? Eum... nggak, kok, Ma. Kenapa juga aku harus marah?" Ava diam-diam melirik di balik punggung Jema. Ada ibu mertuanya yang sedang sibuk mengaduk sup iga. 

Makan malam sudah siap bersamaan dengan kedatangan Pak Herman, ayah Ziyan. 

"Wah, ada tamu. Kok, Ibu nggak bilang kalau mereka mau datang?" Pria itu mengambil duduk di paling ujung. Kursi untuk kepala keluarga. 

Aroma sup iga menyeruak harum, menggugah selera setiap orang yang ada di meja makan.

"Ibu mau ngasih kejutan, Pak," sahut Arum dengan senyum senang. Syukurlah suaminya itu datang tepat waktu. 

Makan malam berjalan dengan lancar, semua memuji masakan Arum yang luar biasa lezat. Sampai wanita itu mengatakan sesuatu yang membuat atmosfer berbah dingin.

"Pasti akan lebih meriah kalau ada anak kecil di sini." 

"Maksdunya Ibu mau punya anak lagi, begitu?" ujar Pak Herman menanggapinya dengan lelucon.

"Apa, sih, Pak! Di umur segini masa nambah momongan?!" Meski suaranya terdengar kesal, tetapi raut malu-malu masih menghias di wajah yang tak muda lagi itu.

Interaksi pasangan harmonis itu mengundang tawa semua orang, kecuali Ava. 

"Pertanyaan itu buat anak dan menantu kita, Pak. Udah tiga tahun, lho, ini." Arum kembali  pada topik utama. 

Di saat seperti ini Jema merasa bahwa dirinya salah menyempatkan diri. Dia sudah menduga akan adanya topik yang sensitif dan tidak seharunya orang luar mendengarkan. 

"Kan, Ava udah pernah jelasin, Bu. Kami itu--"

"Ziyan baru aja dipecat, Bu," potong Ziyan.

Mencegah agar istrinya tidak tersulut emosi.

"Apa?" Tidak hanya Arum, Pak Herman dan Ava pun tampak terkejut. 

Sebelumnya, mereka memang tidak pernah membicarakan tentang pemecatan Ziyan ke keluarga. Namun, mendadak membicarakan ini tentu saja bukan perkara yang baik.

"Sekarang cuma Ava yang bekerja. Tentu aja aku lagi mengusahakan agar dapat pekerjaan baru." Lelaki itu masih menjelaskan. "Karena itu, untuk momongan kami tunda dulu sampai aku bisa dapat kerjaan lagi." 

Tidak ada yang bersuara setelah itu. Pak Herman selaku kepala keluarga di rumah ini pun tidak banyak berkomentar atau bertanya. Mungkin karena dia juga merasakan sedikit kekhawatiran yang dirasalan putranya. 

Sementara itu, Arum menatap lekat si bungsu, kemudian berkata, "Kamu nggak lagi cari alasan buat nunda-nunda anak, 'kan, Yan?"

Ucapan itu mengundang atensi Ava yang semula menunduk. "Bu, kok, Ibu bilangnya begitu, sih? Mas Ziyan nggak bohong. Baru aja kemarin dia dipecat dari kantornya."

"Itulah kenapa Ibu selalu menyuruhmu buat cepat punya anak. Anak itu bisa menambah keberkahan, Yan." Tatapannya yang semula sendu, kini terlihat sedikit tegas. "Kamu nggak bisa terus beralasan. Masalah kerjaan pasti akan ada aja yang datang. Kalau kalian udah punya momongan, paling nggak ada keberkahan di sana."

Ziyan tahu bahwa ibunya cukup konservatif dalam perihal rumahtangga. Terkadang apa yang diinginkan wanita itu juga tidak sejalan dengan pemikirannya. 

Hidup tidak hanya lulus sekolah, kerja, nikah dan punya anak. Ada hal-hal yang bisa mendasari seseorang untuk bisa hidup layak. Bukannya Ziyan tidak mau punya keturunan, hanya saja dia punya rencana sendiri dengan pasangannya dan itu juga sudah dibicarakan jauh-jauh hari sebelum pernikahan. 

Ziyan tidak memaksa orangtuanya, terutama sang ibu untuk mengerti. Namun, setidaknya jangan memaksa. 

Lelaki itu memijat pangkal hidung yang terasa berdenyut.  Ini akan menjadi perdebatan yang panjang. 

Di sisi lain, ada Jema yang memerhatikan semua itu. Arum yang masih memaksakan kehendaknya, Ava yang tidak bisa diam dan mengalah, hingga kekalutan di wajah tampan Ziyan. 

Jema tidak bisa, lebih tepatnya tidak berani berargumen lantaran dirinya bukanlah siapa-siapa. 

"Kamu juga, Va. Harusnya kamu nggak menyarankan untuk menunda momongan. Nggak baik buat perempuan, Nak. Lihat kakak iparmu, dia juga baik-baik aja meski setelah pernikahan langsung hamil." Arum menghela napas panjang. "Apa yang kamu takutkan? Ekonomi? Anak yang menghambat karir kamu? Tugas utama seorang perempuan adalah menghasilkan keturunan dan jadi ibu rumahtangga yang baik buat keluarga." 

"Ibu bisa nggak, sih, nggak usah ikut campur sama keluarga kami? Janga  banding-bandingkan aku sama kakak iparku, Bu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status