Share

Part 7

"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. 

"Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu."

"Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. 

Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.

Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. 

"Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandangan harmonis dapur yang rapi dan wangi.

"Iya, nih. Ava sama Ziyan, 'kan mau datang. Ibu nggak bisa nggak ngapa-ngapain." Disusul dengan tawa khasnya, Arum menambahkan, "Untung banget kamu datang. Biar sekalian kamu cicipin resep terbart Ibu."

Di saat seperti ini Jema mengakui ucapan Ava. Dirinya memang tidak paham tentang sikap buruk Arum sebagai ibu mertua. 

Bagaimana menjelaskannya, ya? Intinya adalah Arum sangat keibuan, seperti ibu pada umumnya. 

"Jangan nyicipin doang, dong, Tante. Jema bisa bantuin. Itung-itung biaya icip-icip. Hehehe." 

"Kalau begitu, Ibu nggak bisa nolak!" Arum membalas dengan kedipan jenaka. 

Mereka sibuk dengan pekerjaan dapur. Sesekali Jema melempar lelucon untuk menghidukan suasana, dan itu sangat cocok dengan selera humor Arum. 

Di samping itu, kedua sepasang suami-istri tengah berdebat. Masih di rumah, padahal hari sudah semakin siang. 

"Va, mau sampai kapan kamu dandan? Udah siang banget, lho, ini." Ziyan berdiri bersandar di pintu kamar, menatap istrinya yang masih sibuk dengan riasan. 

"Apa, aih, Mas. Jangan ganggu aku, dong! Nanti alisnya miring sebelah, nih!" jawab Ava dengan sebal. 

Ziyan mengacak rambut sendiri, tidak kalah sebal. Ava lama sqat berdandan itu bukanlah hal baru. Namun, dia berani bersumpah! Kali ini tiga kali lipat lebih lama dari biasanya. 

Ada apa dengan wanita itu?!

"Va, udah empat jam, lho! Empat jam sejak kamu duduk di sana." Lelaki itu mencoba agar tidak melepas engsel pintu dan menjadikan daun pintu sebagai pintu 'ke mana saja'nya Doraemon. Sungguh, dia ingin ke Saturnus saja saat ini.

Ava dengan santainya mengangkat bahu dan menjawab, "Ya terus kenapa?" Melihat kekesalan suaminta dari pantulan cermin, dia meneruskan, "Santai aja lagi, Mas. Lagian ini bukan janji temu sama Presiden Direktur atau artis papan atas. Telat dikit nggak ngaruh!"

Ziyan memejamkan mata untuk sesaat. Jika terus diladeni, hanya akan ada kata-kata kasar yang dia dengar. Karena itulah dia memilih angkat kaki dari sana. Lebih baik main game. Siapa tahu nanti bisa menang kejuaraan MPL.

***

"Jadi, kamu nggak berniat buat menikah, Nak?" Arum terkejut dengan penuturan Jema tentang pernikahan.

"Jema nggak bilang ini buat selamanya, Tante. Cuma buat sekarang kayaknya nggak ada rencana buat ke sana." 

Arum mengusap kepala Jema dengan lembut. "Ya, nggak apa-apa, Nak. Setiap orang pasti berubah. Barangkali nanti pandanganmu akan berubah." Dia lalu meneruskan, "kamu itu udah cantik, pintar, sopan, baik. Nggak mungkin nggak ada yang suka sama kamu. Sangat disayangkan kalau menikah adalah hal yang nggak ingin kamu lakukan." 

"Iya, Tante. Doakan aja yang terbaik buat Jema, ya." 

Semenyenangkan ini berbincang dengan Tante Arum. Jema merasa seperti mengobrol dengan ibu kandungnya. Lagi-lagi dia heran, kenapa Ava selalu mengeluh dengan sikap beliau ini?

"Ini udah siang, lho. Kenapa mereka belum datang, ya?" Arum melirik jam dan pintu masuk secara bergantian. 

"Mungkin masih dalam perjalanan, Tante." 

"Semoga aja mereka nggak kenapa-kenapa, ya, Nak. Selamat sepanjang perjalanan."

"Aamiin. Pasti, Tante." 

Jema merasa tidak tega dengan ekspresi Arum saat ini. Wanita itu terlihat kesepian. Kedua anaknya sudah lama menempuh hidup baru dan itu membuatnya hanya berdua saja dengan sang suami di rumah ini. 

Nevan, anak pertama mereka tinggal di luar kota bersama istri dan anaknya. Setahu Jema, mereka berkunjung saat ada libur panjang. Hal itu dikarenakan  tuntutan  pekerjaan dan jarak yang tidak dekat. 

Harapan secuil muncul pada Ziyan yang meski belum memiliki anak--hingga tidak terlalu repot untuk bolak-balik--bisa sedikit menambal rasa kesepian di dalam diri orangtua itu.

Jema juga memiliki orangtua, meski mereka sudah lama bercerai. Kendati demikian, dia tidak lupa untuk sekadar bertukar kabar dan main ke rumah ayahnya--karena dia tinggal bersama sang ibu.

Melihat Arum membuatnya teringat dengan ibunya. 

Untuk mencairkan suasana, Jema mengajak ngobrol Arum tentang cucu-cucunya. Aden dan Bunga. Sedikit melegakan saat melihat antusiasme wanita itu. Paling tidak, ini yang bisa dia lakukan selagi menunggu kedatangan Ziyan dan Ava.

Mobil Ziyan sudah terparkir di pelataran rumah orangtuanya. Mereka sampai tepat sebelum matahari terbenam. Ini di luar dugaan. Sungguh, Ava sangat menyebalkan hari ini. 

"Jangan salahkan aku kalau Ibu sampai marah-marah karena kita molor datangnya, ya, Va." Ziyan memperingati. Sementara wanita itu hanya mengangkat bahu tak acuh sebagai jawaban.

Langkah kaki mereka berderap, melewati teras hingga berhenti di depan pintu. Mengetuk tiga kali dan mengucap salam, keduanya disambut oleh sosok yang berbeda dari ekspektasi.

"Lho, Jema?" Ava terkejut dengan kehadiran sahabatnya. "Kok, kamu ada di sini?"

Sementada itu, Ziyan juga tidak kalah terkejut. Namun, dia tidak mengatakan apa pun. 

"Akhirnya kalian datang juga. Ibu kira kalian lupa mau datang." Arum menampakkan diri dari balik punggung Jema. 

"Kalian pasti capek. Masuk aja dulu." Lantas, Jema menatap Ava. "Nanti aku jelasin di dalam."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status