"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu.
"Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandangan harmonis dapur yang rapi dan wangi."Iya, nih. Ava sama Ziyan, 'kan mau datang. Ibu nggak bisa nggak ngapa-ngapain." Disusul dengan tawa khasnya, Arum menambahkan, "Untung banget kamu datang. Biar sekalian kamu cicipin resep terbart Ibu."Di saat seperti ini Jema mengakui ucapan Ava. Dirinya memang tidak paham tentang sikap buruk Arum sebagai ibu mertua. Bagaimana menjelaskannya, ya? Intinya adalah Arum sangat keibuan, seperti ibu pada umumnya. "Jangan nyicipin doang, dong, Tante. Jema bisa bantuin. Itung-itung biaya icip-icip. Hehehe." "Kalau begitu, Ibu nggak bisa nolak!" Arum membalas dengan kedipan jenaka. Mereka sibuk dengan pekerjaan dapur. Sesekali Jema melempar lelucon untuk menghidukan suasana, dan itu sangat cocok dengan selera humor Arum. Di samping itu, kedua sepasang suami-istri tengah berdebat. Masih di rumah, padahal hari sudah semakin siang. "Va, mau sampai kapan kamu dandan? Udah siang banget, lho, ini." Ziyan berdiri bersandar di pintu kamar, menatap istrinya yang masih sibuk dengan riasan. "Apa, aih, Mas. Jangan ganggu aku, dong! Nanti alisnya miring sebelah, nih!" jawab Ava dengan sebal. Ziyan mengacak rambut sendiri, tidak kalah sebal. Ava lama sqat berdandan itu bukanlah hal baru. Namun, dia berani bersumpah! Kali ini tiga kali lipat lebih lama dari biasanya. Ada apa dengan wanita itu?!"Va, udah empat jam, lho! Empat jam sejak kamu duduk di sana." Lelaki itu mencoba agar tidak melepas engsel pintu dan menjadikan daun pintu sebagai pintu 'ke mana saja'nya Doraemon. Sungguh, dia ingin ke Saturnus saja saat ini.Ava dengan santainya mengangkat bahu dan menjawab, "Ya terus kenapa?" Melihat kekesalan suaminta dari pantulan cermin, dia meneruskan, "Santai aja lagi, Mas. Lagian ini bukan janji temu sama Presiden Direktur atau artis papan atas. Telat dikit nggak ngaruh!"Ziyan memejamkan mata untuk sesaat. Jika terus diladeni, hanya akan ada kata-kata kasar yang dia dengar. Karena itulah dia memilih angkat kaki dari sana. Lebih baik main game. Siapa tahu nanti bisa menang kejuaraan MPL.***"Jadi, kamu nggak berniat buat menikah, Nak?" Arum terkejut dengan penuturan Jema tentang pernikahan."Jema nggak bilang ini buat selamanya, Tante. Cuma buat sekarang kayaknya nggak ada rencana buat ke sana." Arum mengusap kepala Jema dengan lembut. "Ya, nggak apa-apa, Nak. Setiap orang pasti berubah. Barangkali nanti pandanganmu akan berubah." Dia lalu meneruskan, "kamu itu udah cantik, pintar, sopan, baik. Nggak mungkin nggak ada yang suka sama kamu. Sangat disayangkan kalau menikah adalah hal yang nggak ingin kamu lakukan." "Iya, Tante. Doakan aja yang terbaik buat Jema, ya." Semenyenangkan ini berbincang dengan Tante Arum. Jema merasa seperti mengobrol dengan ibu kandungnya. Lagi-lagi dia heran, kenapa Ava selalu mengeluh dengan sikap beliau ini?"Ini udah siang, lho. Kenapa mereka belum datang, ya?" Arum melirik jam dan pintu masuk secara bergantian. "Mungkin masih dalam perjalanan, Tante." "Semoga aja mereka nggak kenapa-kenapa, ya, Nak. Selamat sepanjang perjalanan.""Aamiin. Pasti, Tante." Jema merasa tidak tega dengan ekspresi Arum saat ini. Wanita itu terlihat kesepian. Kedua anaknya sudah lama menempuh hidup baru dan itu membuatnya hanya berdua saja dengan sang suami di rumah ini. Nevan, anak pertama mereka tinggal di luar kota bersama istri dan anaknya. Setahu Jema, mereka berkunjung saat ada libur panjang. Hal itu dikarenakan tuntutan pekerjaan dan jarak yang tidak dekat. Harapan secuil muncul pada Ziyan yang meski belum memiliki anak--hingga tidak terlalu repot untuk bolak-balik--bisa sedikit menambal rasa kesepian di dalam diri orangtua itu.Jema juga memiliki orangtua, meski mereka sudah lama bercerai. Kendati demikian, dia tidak lupa untuk sekadar bertukar kabar dan main ke rumah ayahnya--karena dia tinggal bersama sang ibu.Melihat Arum membuatnya teringat dengan ibunya. Untuk mencairkan suasana, Jema mengajak ngobrol Arum tentang cucu-cucunya. Aden dan Bunga. Sedikit melegakan saat melihat antusiasme wanita itu. Paling tidak, ini yang bisa dia lakukan selagi menunggu kedatangan Ziyan dan Ava.Mobil Ziyan sudah terparkir di pelataran rumah orangtuanya. Mereka sampai tepat sebelum matahari terbenam. Ini di luar dugaan. Sungguh, Ava sangat menyebalkan hari ini. "Jangan salahkan aku kalau Ibu sampai marah-marah karena kita molor datangnya, ya, Va." Ziyan memperingati. Sementara wanita itu hanya mengangkat bahu tak acuh sebagai jawaban.Langkah kaki mereka berderap, melewati teras hingga berhenti di depan pintu. Mengetuk tiga kali dan mengucap salam, keduanya disambut oleh sosok yang berbeda dari ekspektasi."Lho, Jema?" Ava terkejut dengan kehadiran sahabatnya. "Kok, kamu ada di sini?"Sementada itu, Ziyan juga tidak kalah terkejut. Namun, dia tidak mengatakan apa pun. "Akhirnya kalian datang juga. Ibu kira kalian lupa mau datang." Arum menampakkan diri dari balik punggung Jema. "Kalian pasti capek. Masuk aja dulu." Lantas, Jema menatap Ava. "Nanti aku jelasin di dalam."Ziyan mengakhiri perjalanan tak menentunya, menepikan mobil di depan rumah orang tuanya. Dia merasa perlu memberitahu mereka terkait keputusan yang sudah dia ambil. Kedua orang tua Ziyan terlihat kaget, karena tidak biasanya putra mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Nak, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya sang ibu yang saat itu langsung menyadari ada yang tidak beres dengan putranya. Seperti halnya seorang anak kecil yang mengadu karena terjatuh saat bermain, Ziyan menangis di depan orang tuanya. Dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Ava dan sampai dia mengambil keputusan final untuk bercerai. Mereka tentu saja terkejut. Selama ini yang mereka tahu adalah Ziyan sangat mencintai istrinya. Namun, semua keluhan yang membuat Ziyan sampai merasa sangat frustrasi seperti ini jelas bukan masalah baru, melainkan masalah yang sudah lama diendap lelaki itu. Namun, tidak kunjung mendapatkan penyelesaiannya. “Semua keputusan ada di tangan kamu.
Jema tidak mendapatkan kabar tentang Pak Mahesa semenjak misi balas dendamnya sukses. Kabar miringnya adalah orang itu sudah tidak ada di perusahaan ini. Namun, posisi Yulia dan beberapa karyawati lain yang menjadi korban Pak Mahesa masih tetap aman di posisi masing-masing. Jema awalnya bingung, tetapi tidak mau terlibat dengan hal itu lagi. Bukti yang ada padanya pun telah diserahkan kepada istri Pak Mahesa. Bagaikan orang yang baru, Jema telah berlepas tangan dari masalah itu. Apa pun yang terjadi, yang terpenting sekarang situasinya sudah lebih baik. Gosip tentang Jema juga kian mereda, bahkan seperti tidak pernah terdengar lagi dan kini digantikan oleh role model Jema—siapa lagi kalau bukan wonder woman yang menyelamatkannya tempo hari lalu di ruangan Pak Mahesa. “Gue lihat istri Pak Mahesa yang mesum itu kemarin! Gila cantik banget, pakaiannya modis lagi!” “Gue juga dengar katanya dia melabrak suaminya itu yang lagi selingkuh! Hahaha! Rasakan kena batunya juga dia!” “Katany
“Ada apa ini, Pak Mahesa?” tanya Direktur itu. Dia menatap kedua orang itu secara bergantian. “Bu-bukan apa-apa, Pak. Dia cuma mau ngasih laporan soal tawaran proyek kemarin yang saya kasih ke dia.” Dari raut wajah dan cara bicaranya saja sudah menjelaskan betapa dia merasa gelisah. Tatapan pria itu mengarah pada Jema dan memberi kode agar Jema keluar dari ruangannya terlebih dahulu. Sayangnya, meski Jema paham, wanita tersebut tidak ingin beranjak dari posisi berdirinya itu. “Saya tidak akan lama, kok, Pak. Cuma mau bilang sama mau jadi sim—“ “Jema!” Diam-diam Jema menahan diri agar tidak tertawa lepas. Hiburan di depannya ini sangat menyenangkan. Pria itu dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit. Jika membiarkan Jema berbicara sekarang, yang ada semua rahasianya terbongkar. Kemudian, jika menyanggupi permintaan Jema, berarti dia harus mengusir Direkturnya dan itu jelas tidak sopan. Lalu, jika memaksa Jema keluar ruangan dengan menarik wanita itu, maka Direktur akan lebih curig
Pagi harinya, Jema bangun dengan perasaan yang berat. Hari ini adalah hari di mana dirinya akan melancarkan aksi pembahasan kepada Pak Mahesa memberi pelajaran setimpal untuk pria itu. Hanya saja apa yang dikatakan oleh Ziyan kemarin malam kembali memenuhi isi kepalanya. “Ma,” panggil Jema kepada ibunya. “Kenapa, Nak?” tanya wanita paruh baya itu sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya. “Kalau seandainya ada seorang laki-laki yang jatuh cinta pada mama padahal laki-laki itu masih memiliki hubungan yang terikat dengan wanita lain. Ada catatan bahwa sebenarnya laki-laki itu sudah merasa pernikahannya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dan secara kebetulan ada Mama yang hadir dalam hidup laki-laki itu. Dia bilang kalau mama bukan alasan di balik pernikahannya yang berantakan. Menurut mama bagaimana?” Wanita yang tidak lagi terlihat muda itu tersenyum lembut. “Cinta dan pernikahan itu bisa berjalan sendiri-sendiri, Nak. Tapi jika laki-laki itu memiliki alasan di balik patahnya p
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Di kafe, Jema berhadapan dengan Yulia. Wanita berwajah oval itu terlihat tidak nyaman dengan sesekali menggeser posisi duduknya. Di sisi lain, Jema justru bersikap santai dengan menikmati minuman berwarba hijau itu. "Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau?" Tidak tahan, Yulia membuka perbincangan lebih dulu."Aku mau kita bekerja sama untuk membuat Pak Mahesa dipecat.""Apa?!" Jelas saja ucapan Jema membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana perempuan itu memikirkan hal gila tadi? "Kamu jangan bercanda, Jema. Kamu pikir kita ini apa? Pak Mahesa itu punya banyak koneksi dan bentar lagi bakal jadi anggota eksekutif di kantor."Jema dengan santai menganggukan kepala. "Aku tahu itu. Karena itulah aku nggak bisa sendiri. Kamu dan para karyawati lain yang sudah terjerat sama kebusukan Pak Mahesa. Aku butuh kalian."Kali ini Yulia tidak menjawabnya langsung. Wanita itu terlihat berpikir, sangat dalam hingga keningnya berkerut tajam. "Aku tahu ini nggak gampang buat kamu, Yulia. Aku juga memi
Suasana menjadi suram, terutama apa yang dirasakan wanita itu. Yulia seketika bergerak mundur, seolah ingin melarikan diri dari sana. Namun, temannya yang bernama Gina itu mencegahnya. "Ada apa? Kamu ada urusan apa sama Pak Mahesa?" "Bu-bukan apa-apa. Eh, iya. Aku mau ke toilet dulu, ya." Yulia hendak berbalik, tetapi suara seseorang menghentikannya. "Bukannya lucu? Maling teriak maling." Jelas sindirian itu ditujukan kepada Yulia. Jema tersenyum puas melihat keadaan yang berbalik. Meski sebagian belum sadar dengan apa yang dia katakan, paling tidak Jema tahu bahwa dirinya tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan. Ava yang bingung memberi kode dengan menaikan alis, seolah bertanya bahwa apa yang dibicarakan temannya itu. Hanya saja, alih-alih menjelaskan, dia justru berdiri dan menghampiri Yulia. "Tadi aku udah bilang kalau aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Kenapa malah kabur? Jangan bikin semuanya semakin jelas, dong." "Kamu ini bicara apa, sih?" Yulia tampak kesal. Dia menata
Kedengarannya memang menarik, hanya saja bukan ini yang diinginkan Jema. Tujuannya datang kemari tidaklag untuk memenuhi permintaan Pak Mahesa, apa pun itu. Jadi, dengan satu kali gerakan, Jema berhasil membebaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. "Pak, apa Anda sadar dengan ucapan Anda barusan, 'kan?""Yang mana?""Ajakan Anda.""Kenapa?" Pak Mahesa berlagak linglung. Mengabaikan perasaan risihnya, dia kembali berbicara, "Apa ini yang Bapak tawarkan ke karyawan lain di kantor?""Iya, Sayang--"Sebelum terlambat, Jema bergegas untuk berdiri dan meraih ponselnya. Dia mengamankan benda itu di tas dan tersenyum penuh kemenangan. "Mau ke mana kamu?" Pak Mahesa yang terkejut menatap perempuan itu dengan alis ditekuk. "Pulang," jawabnya enteng."Apa--""Untuk hari ini cukup sampai di sini saja, Pak." Tanpa beban, Jema tersenyum lebar. "Saya sangat berterima kasih karensa Bapak sudah meluangkan waktu untuk saya." Sebelum Jema berbalik pergi, Pak Mahesa mencegat tangan perempuan