Tiga hari Hilman dirawat di rumah sakit dan hari ini sudah diperbolehkan pulang. Sedangkan aku, menjaga jarak denganya setelah ciuman panas yang dia minta, dan terpergok oleh Mama Rumi. "Semua persiapan sudah selesai, sebaiknya kita langsung ke rumah," ujar ibu pada Mama Rumi. Mama Rumi pasrah dengan keputusan bersama yang di ambil sejak kemarin. Bapak dan ibu sudah menyiapkan pengajian untuk mengumumkan pernikahnku dan Hilman, pada tetangga sekitar. Sepanjang perjalanan, Hilman mengenggam tanganku dan terus tersenyum. Sampai-sampai diledek oleh Mama Rumi dan Radit, tapi lelakiku ini cuek dengan apa yang dia lakukan. Malah makin mengeratkan pegangan tangannya, dan menciuminya berkali-kali. "Sudah, jangan terlalu lebay, kita sudah sampai!" ketus Radit, yang sudah bosan memperingati Hilman. Radit turun dengan wajah masamnya, karena Hilman terlalu over protective padaku. Sedangkan Mama Rumi hanya tersenyum geli melihat anaknya yang begitu lengket padaku dan aku, hanya pasrah dengan p
"Maaf," Hanya kata itu yang terlontar dari mulutku.Hilman tidak menjawaabku, dia menenggelamkan kepalanya ke dalam pangkuanku. Rasanya, aku sudah tidak adil padanya, dia selalu menerima segala kesulitan karena diriku. Akan tetapi aku belum bisa menerima dirinya seutuhnya."Jangan menangis, aku tidak suka melihatmu seperti itu. Hanya senyum yang boleh kamu tampilkan di wajaahmu yang semakin cantik," ujarnya yang membuatku tersipu."Terima kasih, Man. Kamu selalu saja membuatku tersenyum," ucapku tulus."Siapa, Man?" tanya Hilman dengan wajah cengoknya.Aku memukul lengannya, karena baru menyadari apa yang dia inginkan. Kemudian memberanikan diri mengusap keningnya yang berkerinat, karena kamar ini cukup hangat. Tidak ada kipas atau pun AC di sini, menghindari tagihan listrik yang menggila."Aku di sini sangat kegerahan, Yumna. Bolehkan aku memasang AC?" tanya Hilman lirih.Aku tidak menjawab, karena yang dipikirkan adalah orang tuanya yang memilih hidup sederhana. Meski aku pernah men
"Bang!" rajukku dan Hilman hanya tersenyum kaku, kemudian menunduk dalam.Aku mendengkus sebal dan kesal, apa aku harus pasrah diusir tanpa kejelasan seperti ini. Sedangkan aku tidak merasa bersalah pada siapapun. Apa hanya karena aku menemani suamiku di kamar, maka aku terusir seperti ini. Seharusnya kan, tidak masalah aku berdua dengan suamiku, karena kami sudah menjadi pasangan halal.Mobil terus melaju, hingga membuatku kesal. Aku memukul lengan Hilman tanpa ampun."Abang, karena kamu, kita diusir!" ketusku, dan Hilman hanya semakin menundukkan kepalanya.Aku dapat melihat, sopir yang membawa kami melirik ke arah kami beberapa kali. Membuat emosiku makin meningkat."Ada apa, Pak? Ada yang lucu?" tanyaku dengan penekanan.Pak Sopir hanya menggelengkan kepalanya dan kembali fokus menataap lurus ke jalanan yang dia susuri. Mobil ini entah sudah sejauh mana meninggalkan rumah bapak dan ibu, aku meringis hingga terisak. "Kenapa mereka mengusir kita, Bang? Kamu dari tadi diam saja, apa
"Jadi kalian!" seruku kesal. "Kenapa harus bersikap seperti itu, apa kalian tidak mengetahui perasaan sedihku?" tanyaku dengan nada tinggi.Tidak peduli dengan orang yang menatap kami dengan pandangan aneh, aku benar-benar kesal dibuat oleh orang-orang yang aku sayangi. "Aqila bagaimana? Aku tidak pernah membiarkan dia jauh dariku, ini kalian malah menyuruhku pergi sejauh ini!" rajukku."Mau bagaimana lagi, jika keputusan orang tua sudah bulat!" balas Hilman santai sekali. "Kita hanya bisa menikmati waktu kita yang sedikit ini," ujar Hilman dengan merangkul pundakku.Meski aku merasa kesal, karena sudah dikerjai oleh orang-orang yang aku sayangi. Aku tetap membiarkan hilman merangkulku dengan tangan kokohnya. Aku juga belum memabaca apa yang mereka tulis dalam lembaran kertas, takut merindukan mereka disaat sekarang."Anggap saja, kita pacaran dulu. Agar kita lebih saling mengenal dengan baik. Ya, kita memang sudah lama kenal, tapi belum tahu lebih dekat, karena aku hanya mengagumimu
"Kenapa?" tanya Hilman yang sudah kembali dengan membawa dua menu makan malam."Kamu menyeramkan!" ketusku, aku masih belum siap untuk melakukan hubungan lebih lanjut.Hilman hanya terkekeh kecil, kemudian mengajakku untuk makan. Aku sampai melupakan urusan perut suamiku, karena kecewa dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang aku sayangi."Ayo makan ini dulu, sebelum aku memakanmu!" ujar Hilman santai, tapi membuatku panas dingin."Bang, kamu janji loh!" Aku mencoba mengingatkan Hilman dengan apa yang diucapkannya."Iya, aku ingat!" balas Hilman yang duduk di depanku dengan dua piring nasi goreng sebagai pembatasnya.Tidak ada obrolan selama kami menyantap lezatnya nasi goreng seafood yang hangat, seakan-akan kami hidup masing-masing dan tidak saling mengenal."Setelah ini, sebaiknya kamu langsung istirahat!," ujar Hilman dengan menarik piring kosong yang ada di depanku.Hilman berlalu ke kamar mandi, setelah meletakkan piring kotor di atas meja. Cukup lama dia berada di
"Bang, bangun!" Aku berusaha menggoncang tubuh kekar Hilman berulang kali.Hilman bukannya bangun, malah menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Kemudian kembali mencumbuku dalam diam, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang dilakukannya.Tiga jam kami masih bergelung dalam selimut, hingga pintu kamar di ketuk beberapa kali. Hilman dengan malas turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ternyata room service yang mengingatkan kami untuk segera cek out atau akan menambah hari."Saya tambah hari, saja! Nanti saya ke bawah sekalian untuk sarapan," ujar Hilman dengan santai.Aku tahu, Hilman kembali ke ranjang, karena dia berteriak mencariku. Menggedor pintu kamar mandi dengan tidak sabaran dan sambil menggerutu tidak henti. Aku, aku tetap melanjutkan mandiku tanpa terganggu dengan panggilannya."Mandi, dan kita langsung berkemas setelah shalat!" ujarku yang menyerupai perinta padanya."Sayang, sehari lagi, ya," rayu Hilman dengan memasang wajah sendu dan memohon."Tidak, aku sudah rindu pada Aq
Sesampainya di rumah, orang-orang sudah berkumpul dan jenazah mantan ibu mertua sudah akan berangkat di pembaringan terakhir. Tidak terkira perihnya hatiku ditinggalkan olehnya yang selalu menyanyangiku, meski aku hanyalah seorang menantu."Sayang, aku langsung ikut mereka, ya," ujar Hilman yang meletakkan tasnya sembaranagan dan berlari untuk ikut memanggul keranda mantan ibu mertuaku.Aku hanya bisa menghela napas panjang dan berlalu untuk menghampiri Mbak Naura yang terisak dan belum bisa merelakan kepergian ibunya. Aku hanya bisa memeluknya dengan erat, dan mengusap punggungnya."Mbak, Mas Attar sudah tahu jika ibu berpulang?" tanyaku padaMbak Naura yang masih terus terisak."Untuk apa anak durhaka itu diberitahu kepergian ibu!" ujarnya dengan intonasi tinggi.Aku tahu sakit hatinya Mbak Naura dan ibunya, tapi setidaknya kasih kesempatan Mas Attar, untuk meminta maaf untuk terakhir kalinya."udah, Mbak. Kasih bayi yang dikandungan Mbak Naura kalau terus menerus meratapi kepergian
Aku terperanjat, karena sadar jika yang membangunkanku adalah ibu. Arwah ibu masih bersama kami, dan aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Begitu pula Mbak Naura, aku harus memberitahunya."Eh, Bang. Udah pulang?" sapaku, saat melihat Hilman yang sedang menggelar tikar di ruangan depaan."KIta mau pulang dulu?" tanya Hilman setelah menanggapipertanyaanku dengan anggukan kepala."Sebentar, aku pamit dulu ke Mbak Naura dan ingin memberi semangat untuknya. Aku tadi nyari ibu, tapi tidak kutemukan," ujarku pada Hilman dan tanggapi dengan senyuman.Aku langsung menuju kamar Mbak Naura, melihatnya tertidur pulas aku tidak sanggup membangunkannya. Sebaiknya aku menitipkan pesan pada Ustadz Idris dan menuliskan pesan singkat melalui WA."Ayo, Bang!" ajakku pada Hilman yang sedang duduk."Ngobrol apa cepat banget?" tanya Hilman.Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan menarik tangan Hilman, untuk segera keluar dan pulang ke rumah.Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Memikirkan bag