GISELLE
Giselle paham benar jika mamanya tidak menyetujui pakaian yang dia kenakan saat ini.
Kemeja putih oversize yang Giselle gulung hingga ke siku, ditambah dengan celana fitted jeans berwarna biru tua, serta sepatu selop sederhana berwarna pastel nude dengan tinggi 5 cm menemaninya kali ini.
Wajahnya tidak dipulas make up berlebihan. Hanya merapikan alis, memakai sunscreen dan tinted moisturizer, lalu memakai lipstik yang senada dengan warna bibirnya. Tak ada riasan smokey eyes, atau
Giselle membalas jabat tangan ketiga orang asing yang berdiri di ruang privat restoran ini. Tersenyum dan tertawa penuh kepalsuan. “Jeng Mira … ternyata benar Giselle sangat ayu, sayang sekali saya baru kenal Giselle sekarang,” Nyonya Rahayu menyambut pelukan Giselle dengan hangat diiringi senyum lebar setelah mereka melakukan cipika cipiki ala perempuan ibu kota. “Iya, dia sibuk sekali bekerja Jeng … sulit sekali kalau diajak kumpul-kumpul bersama saya kalau ada acara arisan atau acara sosial begitu,” ujar mama memberikan alasan mengapa Giselle tidak eksis di dunia sosialita Jakarta seperti mamanya. Jika bicara alasan sesungguhnya, tentu saja karena Giselle tidak berminat terjun di dunia tersebut. Tapi kini … karena Akira sudah mengantongi satu nama konglomerat yang akan berpotensi menjadi klien terbesar The Converge, maka Giselle harus menaikkan standar permainannya dan mulai berkiprah dalam dunia penuh gemerlap ini. “Iya Tante, maaf … saya sibuk banget sama kerjaan akhir-akhir
“Gue langsung saja ya ngomong ke inti pembicaraan, nggak perlu basa-basi lagi,” ujar Kelana ketika mereka tiba di lobi depan hotel The Royal Ruby Senayan ini. Giselle berjalan di belakang pemuda itu, dan hanya mengedikkan bahunya santai. Menunggu pria di hadapannya ini melanjutkan pembicaraan. “Gue nggak minat dengan perjodohan atau apa pun ini,” tukas Kelana seraya menghisap rokok mild yang dipantik barusan. Giselle menaikkan sebelah alisnya mendengar penuturan Kelana tadi. Tangannya bersedekap, seakan secara refleks melindungi diri dan hatinya dari pria asing konglomerat yang hari ini berpakaian kasual. Hanya polo shirt hitam dan celana jeans serta sneakers seharga ribuan dolar. Tidak terlalu flashy memamerkan kekayaan, namun Giselle yakin harga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan pria itu setara dengan harga satu apartemen di pusat kota Jakarta. “Kamu berasumsi kalau saya tertarik dengan semua ini? Dan yang paling penting, kamu pikir saya tertarik sama kamu, gitu?”
AKIRA Akira meringis singkat ketika Leo menembaknya tentang masalah Andin. “Duh, langsung to the point ya bro, nanya tentang Andin,” ujar Akira sambil tersenyum malu. “Soalnya gue suka lihat si Andin dulu sering ke rumah lo ketemu nyokap, tapi sekarang udah jarang banget liat mobilnya lewat sini,” terang Leo. “Ya, udah putus sama Andin hampir enam bulan lalu,” jawab Akira seraya menyesap espresso-nya. Memang kopi pilihan kedai Morning Mist ini memiliki kualitas terbaik. “Kopi apa ini Leo, kok enak banget sih?”Akira terdistraksi dengan rasa kopi dan harumnya yang benar-benar menggugah indra penciumannya. “Oh, ini kopi Flores Bajawa. Gue dapet satu supplier yang oke banget. Mereka juga sudah mulai ekspor ke beberapa negara.” ujar Leo bangga. “Best seller terbaru tuh di Morning Mist,” Leo menambahkan. “Eh bentar, balik lagi ke topik pembicaraan kita. Jangan mengalihkan pembicaraan dong!” “Coba gimana lanjutin ceritanya sama Andin. Kok gue baru tahu sih?” tanya Leo penas
Giselle masih berfokus pada macbook-nya karena dia sedang mengolah data untuk membuat proposal kepada Kelana Sastrowilogo ketika pintu kantornya diketuk secara konsisten.Dia mengangkat kepalanya dan melihat Akira sendang menyandarkan tubuh tinggi atletisnya di daun pintu kaca ruang kerja Giselle.Jantungnya berdebar seketika ketika dia menatap pria yang harus Giselle akui memang terlihat rapi, necis dan … tampan pada pagi ini.Ditambah lagi Giselle baru pertama kali melihat Akira mengenakan kacamata berbingkai hitam, terlihat seperti Clark Kent si Superman yang dilakoni oleh Henry Cavill, tapi versi wajah Asia.‘
‘Gengsimu tak akan bisa membawamu maju, Giselle! Sudah terima saja!’ begitu logikanya berbisik, mencoba menentang hatinya yang masih terselimuti gengsi.“Ayo cepat, aku tak ada waktu seharian untuk mendengarkan jawabanmu,” Akira mengetuk jam tangannya tak sabaran.“Kapan dan apa yang harus saya siapkan untuk pertemuan dengan Pak Darius nanti?” Giselle akhirnya menyetujui ajakan bosnya ini.Tiga koneksi konglomerat jelas jauh lebih baik dibanding dua kontak konglomerat yang telah dia dapatkan sebelumnya.“Okay, good!” Akira bangkit dari duduknya, memberikan selembaran kertas
Giselle dan Akira tiba di restoran The Opulent yang berada di Hotel Royal Ruby Senayan. Pemilik hotel ini tentu saja Danudihardjo Enterprise. Dan pria yang memegang kendali atas Danudihardjo Enterprise tak lain dan tak bukan adalah pria tampan bernama Darius Danudihardjo. Dia adalah tipikal pengusaha muda, konglomerat, memiliki aset yang entah siapa bisa menghitungnya, serta menjadi pujaan para wanita. Media cetak maupun media elektronik menjadikan pria ini sebagai tokoh idaman layaknya pangeran yang hidup di dunia nyata, atau dalam kasus ini … pangeran yang hidup dan tinggal di Jakarta. Giselle tentu saja sudah pernah melihat pria tampan ini berseliweran di media massa, dan terkadang ketika ada acara penghargaan atau forum pengusaha. Tapi dia tak pernah berkontak secara langsung karena tidak memiliki akses orang tersebut. Secara berat hati, Giselle harus mengakui kalau dia perlu berterima kasih kepada Akira karena bisa mengenalkannya kepada pria kharismatik yang berdiri di h
Akira melirik ke arah Giselle yang terlihat percaya diri dan luwes dalam memberikan presentasi mengenai sepak terjang The Converge, dan menjelaskan portofolio yang telah dikantongi kantor barunya ini selama mereka berdiri dan berkiprah dalam dunia konsultasi.“Oh, kalian sudah pernah bekerja sama dengan Sudibyo Corporation sebelumnya ya?” ujar Raka setelah mendengar pemaparan singkat yang diberikan Giselle tadi.Kini Amira bersikeras agar Giselle dan Akira serta semua orang di dalam ruangan ini untuk menyentuh hidangan yang telah disiapkan sembari berbicara bisnis.“Namanya kan lunch meeting. Jadi jangan bicara bisnisnya saja yang diprioritaskan, bagian
Akira tak tahan dan akhirnya menatap Giselle terang-terangan di dalam mobil Pajero Sport miliknya saat lampu merah menghentikan laju mobilnya. “Presentasi kamu tadi bagus di depan Darius dan juga kedua sahabatnya, Raka dan Nero. Mereka bertiga merupakan pemegang keputusan bagi keberlangsungan perusahaan raksasa tersebut,” puji Akira dengan tulus. Giselle hanya mengedikkan bahunya singkat. “Yeah, I know I am that good,” jawabnya singkat. Memang jika orang yang tak paham dengan Giselle menganggap apa yang diucapkan gadis itu adalah bentuk kesombongan. Tapi Akira tahu dan memahami apa yang diucapkan Giselle itu adalah suatu bentuk kepercayaan diri. Perempuan ini sangat nyaman hidup sebagai dirinya sendiri – yang jika Akira perhatikan beberapa minggu ini, memang memiliki karakter kuat. Srikandi modern jika bisa dibilang. Tapi tentu saja karakter kuat perempuan yang duduk di sampingnya ini berbanding lurus dengan sikap keras kepalanya yang terkadang membuat Akira frustasi saat beker