“Selamat pagi Giselle,” ujar Akira yang disambut dengan delik kesal dari pemilik bulu mata lentik si empunya nama.
“Saya sedang tidak ingin berbasa-basi, Akira … ” jawab Giselle memutar bola matanya.
Akira bersedekap dan menunggu lanjutan kalimat Giselle yang memang terdengar begitu hostil dan tidak bersahabat.
“Kamu tahu itu posisi yang saya incar sejak Mas Dirga resign!” seru gadis itu. Rasa kesalnya tidak dia coba tutupi, dan justru diperjelas dengan dentaman tumbler stainless steel-nya yang beradu dengan meja kerjanya yang kental dengan desain khas Skandinavia lewat potongan bersih dan fungsionalnya.
“Tentu saja saya nggak tahu soal itu,” kilah Akira.
“Saya rasa itu urusan internal antara kamu dan Pak Hasan yang seharusnya kamu selesaikan internal dengan beliau, bukan gontok-gontokan begini sama saya,” tandas Akira.
Giselle tahu itu. Tapi tetap saja dia merasa kesal serta kecewa. Satu orang yang bisa dia jadikan sebagai pelampiasan ya orang yang berada di depannya ini.
Berdiri menjulang dengan santai dan penuh percaya diri. Terlihat tidak pusing, justru beberapa kali melempar senyum tipis yang Giselle artikan sendiri sebagai bentuk ejekan langsung kepadanya.
“Berarti sekarang kamu tahu kan! Itu seharusnya posisi yang saya tempati selepas Mas Dirga resign!” desis Giselle.
Akira hanya mengedikkan bahunya.
“Tapi kenyataannya sekarang saya adalah superior kamu,” ucapan santai Akira justru membuat Giselle semakin meradang.
Giselle sudah siap untuk menangkis ucapan tersebut, tapi refleks Akira lebih cepat. Karena dia segera menaikkan jari telunjuknya, mencoba menghentikan rentetan keluhan dari Giselle yang pasti akan terlontar dengan lantang.
“Begini saja Giselle … bagaimana kalau kita bekerja sama dengan baik selama saya berada di sini?” ucap Akira dengan tenang, “saya bisa berdiskusi dengan Pak Hasan kelak untuk memberikanmu kebebasan untuk memimpin satu proyek besar yang nanti akan kita dapatkan, dan tentunya peningkatan bonus dari yang sebelumnya kamu dapatkan. Cukup adil, bukan?” Akira memberikan penawaran kepada Giselle yang tentu saja ditolak mentah-mentah karena Giselle sudah terlanjur keki dengan berita ini sejak tadi pagi.
Rasanya sulit sekali untuk berpikir rasional di tengah perasaannya yang terluka karena pengangkatan posisi partner diberikan kepada salah satu orang yang jelas-jelas ingin Giselle enyahkan dalam memorinya!
“Tidak! Saya tidak setuju dengan usulmu itu,” Giselle menghampiri Akira dan berjalan mendekatinya, memapas jarak hingga mereka berhadapan langsung.
Akira menaikkan sebelah alisnya, melihat gestur menantang dari lawan bicaranya saat ini.
“Lalu? Apa maumu?” tantang Akira kembali.
“Dalam tiga bulan ini, saya bakal buktikan kalau memang saya yang layak untuk duduk di posisi tersebut. Ayo kita taruhan!” ucap Giselle yang membuat Akira langsung tersenyum lebar.
Lesung pipi di kedua pipinya tercetak jelas. Membuat Giselle sedikit terdistraksi karena keindahan yang tercipta lewat senyuman tersebut.
“Taruhan?” tanya Akira dengan nada lembut, yang entah kenapa justru membuat bulu di tengkuk Giselle meremang.
Giselle mengangguk tajam seraya berkata, “benar, taruhan. Berani tidak?” tantang Giselle sekali lagi.
Akira berdeham sejenak, lalu menatap Giselle dengan intensitas penuh.
“Coba katakan, apa taruhanmu, Giselle?” tanya atasan barunya tersebut, matanya menyiratkan pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.
“Siapa yang bisa bawa proyek dengan nilai terbesar, dia yang pantas duduk di kursi partner,” ucap Giselle dengan lantang.
Dia percaya jika dia bisa melakukannya.
Senyum tipis tersungging dari bibir lawan bicaranya tersebut. Membuat pikiran Giselle sempat melayang mengingat suatu malam yang begitu tak terlupakan tiga bulan lalu. Bibir itu sempat menggerayangi tubuhnya dan memberikan kenikmatan yang mampu melupakan rasa sakit hati karena mengetahui mantan pacarnya berselingkuh.
Sadar karena pikiran tersebut sangat tidak pantas untuk kembali diingat, apalagi kini posisi mereka adalah rekan kerja, Giselle kemudian menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran mesum tersebut.
“Jadi… kalau kamu bisa membawa nilai proyek yang lebih besar daripada proyek milikku, kamu ingin mendapatkan posisi partner ini?” tanya Akira memastikan sekali lagi.
Giselle mengangguk singkat, “benar.” jawabnya.
“Bagaimana kalau ternyata proyekku yang justru lebih besar nilainya? What’s on me?” Akira membalikkan kembali ucapan Giselle.
“Aku bersedia untuk menjadi bawahanmu seperti ini. Dan tidak akan mempertanyakan kompetensimu.”ujar Giselle yang disambut dengan semburan tawa tak percaya Akira.
“Itu saja?” tanyanya tak percaya.
“Mohon maaf Giselle, tapi tawaran itu tidak menarik bagiku.” tambah Akira sambil mengedikkan bahunya.
Dia berjalan menuju sofa yang tersedia di sudut ruangan, membuat dirinya sendiri nyaman dan menyampirkan tas hitam Tumi yang dari tadi dia jinjing. Akira duduk sambil menyilangkan kakinya, dan menaruh lengan kanannya di bahu sofa.
Aura dominan terasa dalam gestur Akira, atasan barunya, dan mantan partner one night stand-nya tiga bulan lalu.
“Ayo kita duduk sejenak dan bicara dengan kepala dingin,” ujarnya sambil menepuk sofa tunggal agar Giselle duduk bergabung dengannya.
Giselle enggan beranjak dan tetap bergeming di tempatnya berdiri. Matanya menatap tajam ke arah Akira, menyiratkan jika dia tidak akan terintimidasi oleh sang atasan.
“Ayolah, jangan keras kepala, kita bisa berbicara dengan lebih santai dan beradab, bukan?” Akira menelengkan kepalanya, menunggu Giselle luluh dan duduk bersamanya untuk berdiskusi lebih dalam lagi.
“Jangan bilang kalau kamu kikuk berada di dekatku seperti ini?” tanya Akira.
"Apa kamu tidak bisa melupakan malam itu?" Akira menambahkan ucapannya, dan dengan berani mengungkit hal tabu tersebut di sini.
Pertanyaan yang sontak membuat Giselle memberontak.
‘Huh, enak saja! Siapa yang kikuk duduk dengan pria ini?’
Giselle akhirnya melangkah, suara sepatu hak tinggi tujuh inci dari Christian Louboutin berderap kencang di lantai marmer ruangannya.
Layaknya seorang tentara yang sedang maju ke medan perang.
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.