Share

Bab 6 - Konfrontasi

Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini. 

“Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut. 

Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman. 

“Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”

Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana. 

“Silakan  kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya. 

Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya. 

Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya. 

“Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas. 

Kali ini giliran Akira yang mengerutkan keningnya. Dia tidak setuju dengan apa yang baru saja Giselle ucapkan. 

‘Menganggap apa yang mereka lakukan tidak pernah terjadi? Hah! Bagaimana bisa?’

“Kenapa kamu mengatakan hal demikian?” tanya Akira dengan nada sedikit keras. Meskipun dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak mengungkapkan emosinya secara gamblang di hadapan gadis yang kini sudah mulai terlihat emosional. 

“Ya anggap aja itu tidak pernah terjadi! Jadi kita nggak perlu bicarakan hal itu lagi, apalagi di lingkungan kantor seperti ini!” kilah Giselle. 

Memang masuk akal permintaannya. Tapi ini rasanya seperti mengorek kembali luka dan harga diri Akira yang pernah tergores karena ditinggalkan begitu saja di kamar hotel pada pagi hari. 

Tanpa ada penjelasan, ataupun perpisahan yang wajar di antara keduanya. 

“Kamu ternyata dingin dan kejam juga ya,” ucap Akira secara gamblang. 

“Kamu tahu, kalau laki-laki yang melakukan hal seperti yang kamu lakukan tiga bulan lalu kepada saya, pasti dia sudah dianggap sebagai fuckboy oleh para perempuan!” Akira menambahkan ucapannya barusan. 

“Lalu apa sebutan untuk perempuan yang melakukan hal serupa? Seperti yang kamu lakukan waktu itu, huh?” tanya Akira sekali lagi, namun sangat menohok bagi Giselle. 

Wajah Giselle langsung memerah ketika mendengar tuduhan Akira seperti itu. 

“Jangan drama kayak begitu, deh!” ujar Giselle menumpahkan kekesalannya. 

“Haha! Drama? Justru kamu yang memulai drama ini sejak pagi, dan bahkan sejak tiga bulan lalu kalau kamu mau bicara dengan jujur!” balas Akira tak kalah tajamnya. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya. 

Kenapa tuduhan ini malah berbalik menyerang dirinya?

Suara Giselle meninggi diserang seperti tadi, dia bahkan hampir berteriak, “Kan kamu duluan yang mengungkit hal tersebut!” 

Untung saja ruangan ini kedap suara. Bisa gawat kalau perdebatan mereka didengar oleh rekan kantornya. 

“Ya wajar saja diungkit sekarang! Kita kan baru bertemu lagi hari ini, setelah sebelumnya kamu kabur begitu saja!” jawab Akira tak kalah emosi. 

“Aku bahkan nggak tahu gimana caranya menghubungi kamu. Memastikan apa kamu baik-baik saja? Apakah aku perlu bertanggung jawab setelah kejadian waktu itu? Atau setidaknya mengantarkan kamu pulang dan memastikan kamu tidak kecelakaan di tengah jalan karena keadaanmu yang begitu kacau di malam itu!” ujar Akira panjang lebar. 

Giselle sudah siap untuk membantah ucapannya, namun Akira tidak memberikan ruang kepada perempuan itu untuk menyelanya sebelum dia bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran yang telah dipendamnya selama tiga bulan. 

“Tunggu dulu! Biarkan aku selesai bicara, jangan potong ucapanku,” ungkap Akira sambil mengangkat telunjuknya, tanda universal yang artinya dia tak ingin disela di tengah-tengah ucapannya. 

Giselle yang tidak suka dengan gestur semacam itu, tak kuasa menahan emosi dan akibatnya wajahnya menjadi semakin merah. 

“Hei! Hentikan gesturmu yang seperti itu! Sangat menggurui, dan aku tak suka itu!” bantah Giselle sambil menepis telunjuk Akira. 

Akira kaget dengan tepisan tangan Giselle. Baru kali ini dia berdebat hebat dengan perempuan sampai seperti ini. 

Kalau mama dan Akina – adik perempuan satu-satunya melihat ini, sudah pasti Akira akan didamprat oleh mereka. 

Akhirnya Akira menghela nafasnya. Sadar jika emosinya sudah mulai naik ke permukaan dan itu menyebabkan diskusi mereka menjadi tidak kondusif lagi. 

“Baiklah, maafkan aku.” Akira akhirnya memilih untuk menurunkan egonya. Mengatur kembali suaranya dan juga mengubah gesturnya agar tidak terlihat ‘mengintimidasi’ dan ‘mendominasi’ lawan bicaranya yang masih bersikap defensif atas ucapan-ucapan Akira barusan. 

“Bisa aku bicara dahulu? Aku rasa aku perlu sampaikan semuanya dan kamu bisa menanggapinya nanti. Diskusi seperti ini lebih baik kan, Giselle?” tanya Akira. Dia meminta izin kepada perempuan tersebut agar dia bisa melanjutkan ucapannya dan mencoba meminimalisir debat kusir penuh emosi. 

“Okay. Tapi jangan menyudutkanku lagi seperti itu!” balas Giselle sambil bersungut kecil. Untungnya Akira melihat jika Giselle pun juga sudah bisa mengendalikan emosinya. 

Akira mengangkat kedua tangannya. Pertanda dia menyerah dan tak ingin berdebat seperti tadi. Dia akan berbicara dengan kepala dingin. 

“Giselle … dengar, jika kamu ingin aku meminta maaf atas kejadian yang terjadi tiga bulan lalu, okay, aku akan meminta maaf secara gentleman. Tapi kamu juga perlu tahu, aku tidak suka dicampakkan seperti itu. Jika kamu tidak suka dengan apa yang kita lakukan, kamu bisa bicara dengan jujur denganku saat itu juga, dan aku akan meminta maaf. Bahkan jika kamu memintaku untuk bertanggung jawab, akan aku lakukan!” jelas Akira panjang lebar. 

Dia dididik untuk menghormati perempuan oleh ibunya, Miyaki Honda. 

One night stand yang terjadi tiga bulan lalu adalah yang pertama dan terakhir kalinya untuk Akira. Maka dari itu, dia perlu menavigasi tak hanya perasaan Giselle, tapi juga perasaannya sendiri. 

“Aku bahkan tak tahu di mana letak kesalahanku jika kamu tidak mengatakan apa-apa, apalagi ketika kamu memilih kabur di pagi itu.” tandas Akira. 

“Dan sekarang, aku ingin bertanya kepadamu, apa yang kamu inginkan?” pertanyaan Akira disambut dengan tatapan dalam tanpa kata dari Giselle. 

Giselle terdiam mendengar ucapan panjang Akira. 

Mulutnya terbuka dan tertutup, seperti bingung untuk menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. 

“Aku … minta maaf atas apa yang terjadi pagi itu,” ujar Giselle akhirnya dengan terbata-bata. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status