Akira mencoba menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali sukses singgah dalam mimpi-mimpi indahnya di malam hari selama tiga bulan terakhir ini.
“Siapa bilang aku kikuk! Mungkin dirimu saja yang terlalu kegeeran!” jawab Giselle sambil bersungut-sungut.
Dia akhirnya duduk di sofa tunggal dan menghadap Akira yang sudah duduk dengan nyaman.
“Kamu … ” ucap Giselle di waktu yang bersamaan ketika Akira berkata, “Giselle …”
Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum Akira akhirnya memecah suasana.
“Silakan kamu duluan, ingin bicara apa?” tanya Akira seraya melemparkan senyum sopannya.
Giselle mengerutkan keningnya, pertanda jika dia masih belum bisa mempercayai Akira seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gestur tubuhnya.
Gadis cantik itu akhirnya menghela nafas panjangnya.
“Sebelum kita bicara lebih lanjut, saya cuma ingin menekankan, anggap saja malam itu tidak pernah terjadi.” ungkap Giselle dengan tegas.
Kali ini giliran Akira yang mengerutkan keningnya. Dia tidak setuju dengan apa yang baru saja Giselle ucapkan.
‘Menganggap apa yang mereka lakukan tidak pernah terjadi? Hah! Bagaimana bisa?’
“Kenapa kamu mengatakan hal demikian?” tanya Akira dengan nada sedikit keras. Meskipun dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak mengungkapkan emosinya secara gamblang di hadapan gadis yang kini sudah mulai terlihat emosional.
“Ya anggap aja itu tidak pernah terjadi! Jadi kita nggak perlu bicarakan hal itu lagi, apalagi di lingkungan kantor seperti ini!” kilah Giselle.
Memang masuk akal permintaannya. Tapi ini rasanya seperti mengorek kembali luka dan harga diri Akira yang pernah tergores karena ditinggalkan begitu saja di kamar hotel pada pagi hari.
Tanpa ada penjelasan, ataupun perpisahan yang wajar di antara keduanya.
“Kamu ternyata dingin dan kejam juga ya,” ucap Akira secara gamblang.
“Kamu tahu, kalau laki-laki yang melakukan hal seperti yang kamu lakukan tiga bulan lalu kepada saya, pasti dia sudah dianggap sebagai fuckboy oleh para perempuan!” Akira menambahkan ucapannya barusan.
“Lalu apa sebutan untuk perempuan yang melakukan hal serupa? Seperti yang kamu lakukan waktu itu, huh?” tanya Akira sekali lagi, namun sangat menohok bagi Giselle.
Wajah Giselle langsung memerah ketika mendengar tuduhan Akira seperti itu.
“Jangan drama kayak begitu, deh!” ujar Giselle menumpahkan kekesalannya.
“Haha! Drama? Justru kamu yang memulai drama ini sejak pagi, dan bahkan sejak tiga bulan lalu kalau kamu mau bicara dengan jujur!” balas Akira tak kalah tajamnya. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya.
Kenapa tuduhan ini malah berbalik menyerang dirinya?
Suara Giselle meninggi diserang seperti tadi, dia bahkan hampir berteriak, “Kan kamu duluan yang mengungkit hal tersebut!”
Untung saja ruangan ini kedap suara. Bisa gawat kalau perdebatan mereka didengar oleh rekan kantornya.
“Ya wajar saja diungkit sekarang! Kita kan baru bertemu lagi hari ini, setelah sebelumnya kamu kabur begitu saja!” jawab Akira tak kalah emosi.
“Aku bahkan nggak tahu gimana caranya menghubungi kamu. Memastikan apa kamu baik-baik saja? Apakah aku perlu bertanggung jawab setelah kejadian waktu itu? Atau setidaknya mengantarkan kamu pulang dan memastikan kamu tidak kecelakaan di tengah jalan karena keadaanmu yang begitu kacau di malam itu!” ujar Akira panjang lebar.
Giselle sudah siap untuk membantah ucapannya, namun Akira tidak memberikan ruang kepada perempuan itu untuk menyelanya sebelum dia bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran yang telah dipendamnya selama tiga bulan.
“Tunggu dulu! Biarkan aku selesai bicara, jangan potong ucapanku,” ungkap Akira sambil mengangkat telunjuknya, tanda universal yang artinya dia tak ingin disela di tengah-tengah ucapannya.
Giselle yang tidak suka dengan gestur semacam itu, tak kuasa menahan emosi dan akibatnya wajahnya menjadi semakin merah.
“Hei! Hentikan gesturmu yang seperti itu! Sangat menggurui, dan aku tak suka itu!” bantah Giselle sambil menepis telunjuk Akira.
Akira kaget dengan tepisan tangan Giselle. Baru kali ini dia berdebat hebat dengan perempuan sampai seperti ini.
Kalau mama dan Akina – adik perempuan satu-satunya melihat ini, sudah pasti Akira akan didamprat oleh mereka.
Akhirnya Akira menghela nafasnya. Sadar jika emosinya sudah mulai naik ke permukaan dan itu menyebabkan diskusi mereka menjadi tidak kondusif lagi.
“Baiklah, maafkan aku.” Akira akhirnya memilih untuk menurunkan egonya. Mengatur kembali suaranya dan juga mengubah gesturnya agar tidak terlihat ‘mengintimidasi’ dan ‘mendominasi’ lawan bicaranya yang masih bersikap defensif atas ucapan-ucapan Akira barusan.
“Bisa aku bicara dahulu? Aku rasa aku perlu sampaikan semuanya dan kamu bisa menanggapinya nanti. Diskusi seperti ini lebih baik kan, Giselle?” tanya Akira. Dia meminta izin kepada perempuan tersebut agar dia bisa melanjutkan ucapannya dan mencoba meminimalisir debat kusir penuh emosi.
“Okay. Tapi jangan menyudutkanku lagi seperti itu!” balas Giselle sambil bersungut kecil. Untungnya Akira melihat jika Giselle pun juga sudah bisa mengendalikan emosinya.
Akira mengangkat kedua tangannya. Pertanda dia menyerah dan tak ingin berdebat seperti tadi. Dia akan berbicara dengan kepala dingin.
“Giselle … dengar, jika kamu ingin aku meminta maaf atas kejadian yang terjadi tiga bulan lalu, okay, aku akan meminta maaf secara gentleman. Tapi kamu juga perlu tahu, aku tidak suka dicampakkan seperti itu. Jika kamu tidak suka dengan apa yang kita lakukan, kamu bisa bicara dengan jujur denganku saat itu juga, dan aku akan meminta maaf. Bahkan jika kamu memintaku untuk bertanggung jawab, akan aku lakukan!” jelas Akira panjang lebar.
Dia dididik untuk menghormati perempuan oleh ibunya, Miyaki Honda.
One night stand yang terjadi tiga bulan lalu adalah yang pertama dan terakhir kalinya untuk Akira. Maka dari itu, dia perlu menavigasi tak hanya perasaan Giselle, tapi juga perasaannya sendiri.
“Aku bahkan tak tahu di mana letak kesalahanku jika kamu tidak mengatakan apa-apa, apalagi ketika kamu memilih kabur di pagi itu.” tandas Akira.
“Dan sekarang, aku ingin bertanya kepadamu, apa yang kamu inginkan?” pertanyaan Akira disambut dengan tatapan dalam tanpa kata dari Giselle.
Giselle terdiam mendengar ucapan panjang Akira.
Mulutnya terbuka dan tertutup, seperti bingung untuk menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya.
“Aku … minta maaf atas apa yang terjadi pagi itu,” ujar Giselle akhirnya dengan terbata-bata.
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo