Fahri membuka lemari untuk mengambil baju yang paling keren yang akan ia gunakan nanti untuk bertemu dengan sang ratu hatinya. Dirinya ingin tampil memukau di depan wanita itu. Kebetulan ia kemarin juga baru pulang dari salon untuk merapikan rambut bagian samping.Ia berdiri mematung di depan kaca lemari yang ukurannya sebadan. Menatap lekat dirinya sendiri."Ganteng." ujarnya sambil mengusap rambut. Ia sangat percaya diri.Ketampanan Fahri memang luar biasa. Ia memiliki kulit yang putih bersih, terlebih semenjak kuliah di luar negri, dirinya semakin pandai merawat diri mengikuti style yang ada.Jika dibandingkan dengan Pras, lelaki itu sama sekali belum ada apa-apanya. Pras memang manis, tapi tidak semodis Fahri yang hampir mendekati sempurna.Wanita yang melihatnya pasti akan enggan untuk berkedip, bahkan bisa saja sampai terbawa ke dalam mimpi. Tapi pria itu sama sekali tidak tergoda, di hatinya tetaplah Nara pemenangnya. Tak akan terganti dengan siapapun.Sudah pukul sembilan pa
"Apa? Kamu h-hamil?"Fahri benar-benar syok mendengarnya. Dunianya seakan runtuh, harapannya kini hilang dan pupus sudah.Wanita yang ia dambakan untuk menjadi istri ternyata sedang mengandung anak orang lain.Dirinya seperti dihantam batu yang cukup besar mendengar pernyataan pahit yang keluar dari mulut wanita yang selama ini ia idamkan. Sekarang apa yang harus ia lakukan, akankah rencananya untuk melamar Nara akan tetap ia lanjutkan?"Sekarang kamu sudah tau kebenarannya, apa kamu juga akan menjauhiku karena aku ini wanita murahan yang nggak bisa jaga diri?" ungkap wanita yang sedang mengusap air mata yang turun di pipinya itu."Kamu jangan berpikiran begitu, aku kan sahabatmu, tentu aku akan selalu ada dalam suka dan dukamu," ungkap Fahri dengan nada lembut.Ia tak ingin menjauhi, justru merasa iba dengan kondisi yang dialami oleh wanita berambut panjang itu."Di mana ayah dari bayi ini?""Nggak tau," sahutnya singkat.Fahri pun menghela napas berat."Ya sudah, kalau begitu, aku
"Kamu sudah dengar semuanya, Nara, lalu apa keputusanmu?" Fahri bertanya guna memastikan apakah dirinya diterima atau tidak untuk menjadi suaminya, setelah ia menyampaikan langsung niat tulus itu kepada papanya barusan."Maaf, Fahri aku tidak bisa," jelasnya dengan singkat dan padat, tanpa menoleh ke arah pria yang duduk di sebelahnya itu."Tapi kenapa, Nara? Apa alasannya kamu nolak aku?" Fahri mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Ada gurat kecewa yang terlukis di raut wajahnya. Padahal ia sangat ingin menjadi ayah dari anak yang sedang dikandung Nara."Karena aku ... tidak mencintaimu, Fahri. Maaf aku nggak bisa nerima kamu, aku nggak mau menjalin hubungan dengan orang yang tidak kucintai," jelasnya.Mendengar itu, rasa nyeri di hati Fahri kian menyayat. Ternyata ketulusannya sama sekali tidak dihargai oleh wanita itu.Apakah tidak bisa menjalin hubungan meski tanpa cinta sekalipun?Mengapa dalam kondisi seperti ini pun masih mempertimbangkan hal itu?Bukankah seharusnya ia just
Para tetangga yang diundang ke acara sederhana itu telah hadir di dalam rumah Nara. Begitu juga dengan Pak Penghulu dan para saksi sudah duduk bersila mengobrol dengan Surya, menunggu sang mempelai pria datang."Kenapa kok nggak ngadain pesta besar ya, padahal Pak Surya kan orang kaya, calon mantunya juga bukan orang sembarangan," bisik para tetangga, kumpulan ibu-ibu gosip itu."Sstttt ... jangan keras-keras bicaranya Buk, nanti kedengaran orangnya bisa berabe kita," desis salah seorang di antara mereka seraya meletakkan jari telunjuk di bibir."Eh Ibuk-Ibuk, belum tentu juga mereka nggak ngadin resepsi bisa aja kan setelah ini ada pesta yang besar," ungkap yang lain."Iya bener juga sih," sahut salah seorang di antara mereka.Pak Penghulu yang sedang memakai jas hitam itu, sedari tadi bolak-balik melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia tampak tak nyaman dan sedikit gelisah."Maaf, Pak, ada apa ya kok sepertinya Bapak terlihat tidak tenang?" tanya Surya dengan k
"Saudara Fahri!""Saya, Pak!""Saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Nara Aninta dengan mahar cincin emas 224 gram, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Nara Aninta binti Surya Abidin dengan mahar tersebut dibayar tunai!""Saaahhh!" teriak para saksi yang ada di dalam ruangan itu."Alhamdulillah, sekarang kalian telah resmi menjadi pasangan suami istri," terang sang penghulu.Fahri menghembuskan napas lega, karena telah berhasil mengucapkannya dengan benar, hanya dengan satu kali saja tanpa pengulangan.Para tamu pun dipersilahkan untuk memakan makanan yang tersedia di atas meja. Meski acaranya terbilang sangat sederhana, tapi tidak dengan menu makanan yang ada di situ.Semua makanannya di pesan dari hotel yang ternama. Harganya juga cukup fantastis. Bedanya acaranya tidak besar, karena terbilang mendadak.Mereka hanya menyediakan dekorasi tempat untuk foto saja."Senyum dong, Mbak," ucap sang lelaki yang berprofesi sebagai fotografer itu. Ia
Sudah hampir satu jam berlalu. Nara baru saja keluar dari dapur, setelah selesai mencuci piring bekas masak dan sarapannya tadi pagi.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari depan."Permisi ..." ujar suara seorang pria yang terdengar asing di telinganya.Kening Nara mengernyit, dan bertanya siapa dia? Sebelum membuka pintu, ia menyibakkan gorden jendela dan melirik untuk melihat siapa yang datang itu.Tampak seorang pria berjaket serta memakai topi sedang membawa kotak kardus yang sudah dilapisi dengan lakban."Paket ..." teriaknya lagi.Karena tak ingin kurir itu menunggu lama, akhirnya Nara pun gegas berjalan ke depan untuk membuka pintu."Atas nama Ibu Nara?" tanya pria itu sopan setelah pintu terbuka."Benar, Pak, ada apa ya?" Nara balik bertanya."Saya cuma ingin mengantar paket ini, Bu, silahkan ditandatangani ya," Pria yang usianya sekitar tiga puluh tahunan itu menyerahkan secarik kertas beserta sebuah pena.Tanpa basa-basi lagi Nara segera mencoret kertas itu dengan as
"Apa pun yang Ibu inginkan, Fahri akan ikuti semuanya Bu, maafkan Fahri karena selama ini belum bisa menjadi anak yang berbakti untuk Ibuuu ..." rengeknya di sisi ranjang rumah sakit itu, tangisnya pecah tanpa peduli banyak orang yang memperhatikannya."Ada satu hal yang Ibu inginkan dari dulu, Nak, Ibu sangat ingin menyaksikan semua itu,""Katakan, Bu ..."Ada suasana hening sejenak.Yang terdengar hanya suara jarum detik di sudut ruangan.Fahri masih menunggu jawaban, begitu juga dengan Riyanti. Mereka saling pandang, entah apa yang akan dikatakan oleh wanita yang sudah sekarat itu."Permintaan Ibu cuma satu, dan mungkin ini akan menjadi permintaan yang terakhir bagi Ibu," lirihnya lagi dengan suara pelan namum masih terdengar jelas kata-kata yang disebutkannya."Ibu ingin melihat kamu menikahi Riyanti, dia adalah wanita yang baik, selama ini dia yang menjaga dan mengurus Ibu. Dia pasti akan menjadi istri yang tepat untukmu," jelas sang ibu yang membuatnya terkejut bagai petir yang
Pemakaman telah selesai dilaksanakan. Rumahnya masih dipenuhi oleh para pelayat yang mengucapkan belasungkawa atas kepergian ibu dari pemilik perusahaan ternama di kota itu.Fahri masih dalam keadaan berkabung. Ia masih sangat syok dengan kejadian ini. Hingga ada yang ia lupakan, Nara.Ia belum memberitahu istrinya itu bahwa ibunya telah berpulang ke rahmatullah.Cahaya matahari mulai redup.Karena hari sudah sore.Ia segera mengambil ponsel di saku celana yang ia pakai sejak tadi pagi, belum sempat ia berganti pakaian karena kejadian menyedihkan itu terasa amat singkat.Mencari nama kontak Nara yang ia beri sebutan bidadariku. Lalu menekan tombol hijau di layarnya untuk menghubungkan sambungan teleponnya.Nomornya tidak aktif. Hanya suara operator wanita yang terdengar di sebalik telepon yang menjelaskan bahwa nomor di luar jangkauan.Pikirannya panik dan gelisah, apakah ada sesuatu yang terjadi pada Nara, mengapa ponselnya bisa sampai tak aktif seperti ini?Apa ia masih marah kepada