Jawaban Menohok Alya***Gadis yang duduk di depanku ini diam sesaat, entah apa yang dipikirkannya saat itu. Kemudian dia menatapku lekat, seolah menantang tatapan mataku."Kenapa baru sekarang Mas Andra bertanya tentang mbak Laila?" tanyanya."Aku ....""Mbak Laila sudah tiada, jangan lagi mengungkit tentangnya. Tapi ... ingatlah apa yang selama ini dia lakukan untukmu. Apa saja yang sudah dikorbankan untuk bisa tetap berada di sampingmu. Mbak Laila sangat cerdas, dia punya cita-cita menjadi seorang dokter waktu itu. Namun dia harus mengubur impiannya ketika Mas Andra datang dalam hidupnya, memberinya mimpi dan harapan hingga membuatnya jatuh cinta. Meski demikian, tidak sekalipun mbak Laila melupakan cita-citanya, dia ingin tetap sekolah. Namun apa yang Mas Andra lakukan saat itu?" Alya bertanya, matanya masih menatapku tajam."Aku ...." kataku dengan dengan suara tercekat."Biar aku ingatkan jika Mas Andra lupa," ucap Alya cepat memotong kalimatku."Saat itu Mas Andra datang ke rum
Apa Yang Diketahui Alya?***Perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu untuk mengetahui apa yang terjadi, namun hal itu urung kulakukan dan memilih menghentikan langkah sambil menajamkan pendengaran. Aku ingin tahu apa yang terjadi di luar kamarku saat ini. Namun setelah beberapa saat, tidak ada suara apa-apa lagi setelah itu, sepi. Apakah mereka telah pergi?"Mbak Suci, kenapa malah bengong seperti itu? kalau Mbak membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku."Kembali terdengar suara Alya yang sedang berbicara dengan Sania di luar sana, itu artinya mereka berdua masih di depan kamarku."Itu ... saya tadi sedang menyapu dan mengepel," jawab Sania, suaranya seperti orang bingung."Kan kemarin saya sudah bilang, Mbak, kalau membersihkan rumah, tunggu kakak saya berangkat bekerja dulu. Setelah itu baru Mbak mulai bersih-bersih. Kalau seperti ini, siapa yang jagain anak-anak sementara saya sedang menyiapkan sarapan. Ayo cepat ke depan, anak-anak tidak ada yang jagain tuh ...."Alya berkata panj
Apa Yang Terjadi?****"Sa, Su ... Suci, apa yang terjadi denganmu, kenapa kepalamu?" tanyaku panik. Hingga membuatku hampir saja keceplosan dan salah memanggil nama Sania."Dia terpeleset di kamar mandi tadi," jawab Alya cepat."Kok bisa?" gumamku dengan tidak percaya.Rupanya Alya mendengar apa yang kukatakan tadi meski lirih, dan dia pun menjawab dengan cepat. "Tentu saja bisa, Mas. Jangankan mbak Suci yang bergerak ke sana ke mari, orang tidur saja bisa jatuh dari tempat tidur," ujarnya sinis sambil mengangkat sebelah alisnya, dan hal itu membuatku benar-benar muak dan sebal melihatnya."Mas, titip Haikal sebentar. Aku mau mandi, seharian enggak sempat mandi karena sibuk," ucap Alya sambil menyerahkan Haikal padaku yang masih mematung. Hanna berlari mengejar Alya menuju kamar, sementara Sania bersandar di dinding. Dia menggelengkan kepalanya dan berjalan tertatih menuju kamarnya."Sania, tunggu," panggilku dengan suara lirih. Namun dia tidak menghiraukanku dan terus berjalan ke
"Mas Andra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kembali Alya berkata.Belum hilang rasa penasaranku, aku kembali dikejutkan oleh suara teguran dari Alya. Entah sejak kapan dia berdiri di depanku sambil memerhatikanku."Eh, aku merasa lapar dan ingin makan, tapi kulihat lauknya sudah agak dingin, tapi aku mendengar seperti ada suara orang berbicara di luar. Makanya aku ke sini untuk mencari tahu, dan ternyata itu kamu," jawabku menjelaskan."Oh, itu ... aku sedang berbicara dengan ibu. Karena tidak ingin mengganggu Hanna yang sedang tidur, makanya aku memutuskan untuk keluar dan ngobrolnya di sini. Oh, iya ... apakah Haikal sudah tidur?" tanya Alya balik."Sudah, dan dia tidur di kamarku," jawabku singkat."Kenapa tidak dibawa ke kamarnya saja, Mas?" selidik Alya."Tidak apa-apa, aku yang menginginkan tidur dengan Haikal," kataku lirih.Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelitik hati, entah sejak kapan munculnya sifat melow ini hingga aku berpikir untuk tidur bersama anak laki-lakiku. Menginga
"Apa yang kamu bicarakan ini Sania, jangan ngawur kamu," kataku dengan suara tertahan. Aku tidak ingin mengeraskan suara, karena takut jika nanti akan terdengar oleh Alya."Sudah kukatakan dengan sangat jelas, Mas. Aku ingin kamu mengusir bocah tengil itu dari rumah ini karena aku tidak ingin melihatnya lebih lama tinggal di sini!" Ucap Sania emosi."Sania, aku tidak bisa melakukan itu sekarang. Kamu tahu, kan, kalau aku mengusirnya, apakah kamu sanggup untuk merawat kedua anakku?""Kenapa kamu memintaku untuk merawat mereka? bukankah kamu bermaksud untuk mencari pengasuh?" tanya Sania balik."Sudahlah, aku ingin tidur. Capek sekali ngomong sama kamu, Mas." Sania berkata sambil menutup pintu kamarnya. Kucoba memanggil dan mengetuk pintu kamar Sania, namun dia bergeming tidak ingin membuka pintu atau mendengar penjelasan apapun dariku.Kutarik napas dalam, bagaimana aku bisa mengusir Alya dari rumah ini? Sementara anak-anak sudah begitu dekat dan bergantung padanya. Bahkan kehadiranny
Sania Masuk Kamar ***Alya berjalan pelan mendekati Sania yang berdiri mematung, mungkin dia tidak menyangka kalau Alya tiba-tiba akan datang dan mendengar apa yang dia bicara tadi. Atau mungkin, dia tadi juga mendengar bagaimana Sania yang berbicara bukan layaknya seperti seorang pembantu kepada majikannya."Aku tahu mbak Suci merasa marah karena hampir seharian terkunci di dalam kamar mandi, tapi bukan seperti itu caranya, Mbak. Apalagi sampai bercerita bohong pada Mas Andra. Mbak Suci lupa, ya, siapa Mas Andra? dia itu kakak iparku. Bagaimana mungkin Mbak berbohong seperti itu padanya? Bagaimana jika kuceritakan semuanya pada ibu dan ibunya Mas Andra yang tidak lain adalah nenek dari anak-anak yang akan Mbak jaga? bisa dipecat lho kalau ketahuan berbohong," ucap Alya panjang lebar, namun demikian, tidak ada kemarahan dari nada bicara Alya. Alya berbicara seolah sedang memegang teks, begitu lancar dan tanpa jeda. Aku bahkan sampai menahan napas saat dia berbicara. Dan hal yang sam
Obrolan Malam****"Alya, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku sambil memegang dada yang berdegup kencang karena kaget melihat kehadirannya yang tiba-tiba, lebih tepatnya, tidak melihat keberadaannya di sana."Makan," jawabnya datar, sambil menunjuk piring yang ada di atas meja dan masih menyisakan makanan di sana."Jam segini kamu baru makan?" ujarku sambil mengernyit.Alya tidak menjawab, dia melewatiku begitu saja kemudian duduk dan melanjutkan makan. Aku menggelengkan kepala pelan, berpikir mungkin dia sedang malas untuk berbicara denganku. Perlahan kutarik kursi dan duduk di depannya, menunggu dia selesai makan.Akan tetapi, Alya meletakkan sendok pelan di atas meja, mengarahkan pandangannya lurus padaku. Ditatap seperti itu, membuat tubuhku membeku dan hanya bisa menelan ludah pelan."Mas Andra, kenapa masih belum tidur juga?" tanyanya setelah beberapa saat.Aku menggaruk kepala yang tiba-tiba merasa gatal."Aku tadi berencana membuat kopi sebagai teman lembur malam ini, kamu
Kedatangan Ibu***Aku sungguh tidak mengerti dengan cara berpikir Sania. Bagaimana mungkin dia bisa beradaptasi, mengambil hati anak-anakku jika kelakuannya masih sama seperti itu. Dia bahkan terkesan tidak berusaha sama sekali, dan justru memanfaatkan keberadaan Alya di rumah ini dengan membiarkannya mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang pembantu rumah tangga.Kulihat Alya lewat kaca spion yang duduk di belakang bersama Haikal, dia memandang ke luar jendela sambil menopang dagu. Sekilas dia terlihat begitu lelah, lingkar hitam di bawah matanya jelas terlihat. Apakah dia selama tinggal di rumahku kurang tidur dan tidak mendapatkan istirahat dengan benar? Tapi kenapa dia tidak pernah mengeluh?"Hmm ...." Aku mendehem untuk membuka percakapan."Alya, nanti malam kamu tidak usah memasak untukku. Aku akan makan di luar bersama rekan kerjaku," kataku membuka percakapan.Alya merubah posisi duduknya, melihat sekilas ke arahku sebelum akhirnya dia menyandarkan punggungnya.