Share

5. Ke Rumah Sania

"Aku ada urusan kantor sebentar, Bu," jawabku berbohong. Aku tidak ingin ibu bertanya lebih banyak lagi.

"Tidak bisakah urusannya ditunda sebentar? Kamu kan, masih cuti," ucapnya.

"Ya tidak bisa, dong Bu. Aku kan pimpinan di sana."

Kulihat ibu menarik napas dalam, lalu melihat ke arah Hanna kemudian menggeleng.

"Andra ... apakah kamu yang memakaikan baju Hanna? Ini terbalik," ujarnya sambil membuka baju Hanna.

Aku menepuk jidat. Setelah ibu mambalik bajunya, Hanna tersenyum. Ah, pantesan tadi dia terlihat seperti tercekik lehernya, karena bagian belakang aku taruh di depan.

"Jadi ... enggak apa-apa kan, Bu, kalau kutinggal sebentar?" pintaku hati-hati.

"Pergilah. Tapi jangan lama-lama, karena ibu sedang membereskan kamar Hanna. Sebentar lagi dia akan tidur di sini bersama dengan baby sitter nya nanti," ujarnya.

Kutinggalkan Hanna bersama ibu. Perasaan terasa begitu lega ketika kakiku telah melangkah keluar rumah. Ah ... tentu saja aku merasa lega, karena tidak lagi harus melihat bayangan Laila hilir mudik dalam rumah, atau mendengar rengekan Hanna saat dia meminta sesuatu. 

Aku tidak tahu, apa yang membuat Laila begitu betah berada di dalam rumah dengan segala keruwetannya. Sementara aku, yang baru dua hari di rumah, sudah merasa begitu pusing.

Aku mengurangi kecepatan mobil saat sudah memasuki area perumahan di mana Sania tinggal. Aku membelikan sebuah rumah yang cukup besar untuk Sania setahun yang lalu, tidak lama setelah kelahiran Haikal. Hal itu kulakukan agar bisa bertemu dengannya kapan saja aku mau. Bahkan rumah untuk Sania, jauh lebih besar daripada rumah yang kutempati bersama Laila dan anak-anak. Tidak terpikir olehku kenapa rumah Sania lebih besar dari rumahku sendiri. Yang kupikirkan saat itu, bagaimana menyenangkan hatinya agar dia bisa melayaniku lebih baik lagi.

Kuparkir mobil di luar pagar, karena berencana untuk memberi Sania kejutan. Aku memang bilang padanya akan datang, tapi tidak memberitahu jam berapa akan sampai.

Suasan rumah tampak sepi, dan dengan menggunakan kunci cadangan, kubuka pintu secara perlahan. Di dalam bahkan lebih sepi, apakah Sania pergi? Pikirku.

"Sania ... Sania ...." Panggilku. Namun tidak da jawaban. 

Samar-samar, aku mendengar sesuatu seperti benda yang terjatuh. Kuputar tubuhku untuk melihat keluar, karena suara tersebut berasal dari luar rumah. Belum sempat kulangkahkan kaki, Sania muncul dari lantai atas.

"Mas Andra, kok mendadak sekali datangnya?" tanyanya.

Sania turun dengan tergesa, lalu meraih tanganku untuk dibawa naik kembali ke lantai atas, di mana kamar kami berada. Dia seolah ingin agar aku segera masuk kamar. Apakah dia sudah tidak tahan lagi? 

"Sania, sabar dikir kenapa?" ucapku ketika Sania langsung menubrukku begitu kami sudah berada di dalam kamar. Tangannya dengan lincah membuka bajuku.

Kubiarkan Sania melakukan apa yang dia inginkan terhadapku. Karena setelah dua hari tidak bertemu dengannya, membuatku hampir gila. Jika selama ini, Sania yang pasrah jika berdua denganku, kini aku yang merelakan tubuhku dia kuasai. 

Di antara deru napas dan erangan kecil Sania yang saling memburu, aku merasa ada sesuatu yang sedikit janggal. Sania terlihat sangat agresif, aku bahkan seperti tidak lagi mengenal dirinya. Aku mencoba menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dariku. Namun entah kenapa, mataku justru tertuju pada kemeja berwarna biru yang tergantung di belakang pintu. Dan itu bukanlah kemeja milikku.

Serta Merta, aku mendorong tubuh Sania yang ada di atasku. Tubuh polosnya terkulai di lantai, karena aku mendorongnya dengan kuat.

"Mas, kamu sudah gila, ya?!" ucapnya, matanya melotot sambil menahan rasa sakit.

"Sania, maaf. Aku tidak sengaja," kataku begitu saja.

"Apa yang tadi kamu lakukan padaku, Mas? Apakah kematian istrimu membuatmu kehilangan gairah untuk bercinta?" Cibirnya.

Kuraih bajuku dan segera mengenakannya kembali. Sementara Sania masih tidak terima dengan apa yang baru saja kulakukan padanya.

"Mas, aku berbicara denganmu!" Teriaknya.

Tidak kuhiraukan teriakkan Sania dan memilih untuk mengambil kemeja yang tergantung di belakang pintu.

"Baju siapa ini?" tanyaku dengan suara yang kubuat setenang mungkin. 

Sania terkejut, bola matanya berputar seperti sedang mencari suatu alasan untuk disampaikan.

"Mas ... bukankah itu baju kamu sendiri," ucapnya.

"Bukan, ini bukan milik. Aku tidak pernah membeli baju merek ini. Dan cara menyeterika juga berbeda dengan Laila. Dia tidak pernah melipat kemeja. Sementara ini, bekas lipatan."

Sania berdiri, lalu dia menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu. Kuteliti kembali kemeja itu, dan aku semakin yakin kalau itu bukanlah milikku.

"Sania ... keluarlah, aku ingin berbicara denganmu," kataku setelah dia cukup lama berada dalam kamar mandi.

"Pergilah Mas. Aku tidak ingin melihatmu lagi."

"Apa maksudmu, Sania?" 

Pintu kamar mandi terbuka, Sania keluar dan matanya terlihat sembab.

"Aku tahu, kamu masih berduka atas meninggalnya istrimu, Mas. Tapi bukan berarti kamu harus membawa kenangan Laila ke rumah ini. Bahkan sampai membandingkan cara menyeterika baju. Aku bukan Laila, dan aku mempunyai cara yang berbeda dengannya," ucap Sania dengan suara parau.

Aku langsung memeluk tubuh Sania, sementara kemeja yang tadi kupegang, kulempar begitu saja ke lantai. Aku sungguh tidak sadar, menyebut nama Laila di depan Sania dan membandingkan bagaimana dia merapikan baju-bajuku. Dan semua yang kukatakan tentang Laila, seolah keluar begitu saja dari alam bawah sadarku. 

"Maafkan aku Sania. Aku benar-benar tidak bermaksud apa-apa," ucapku lirih. 

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaan ibu untuk pulang lebih awal.

Sania sudah tertidur di sebelahku, dengkuran halus terdengar dari mulutnya. Perlahan, aku mengambil ponsel dan turun ke lantai bawah. Menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa kumakan. Karena sejak tadi siang, aku belum makan sama sekali.

Dapur di rumah Sania, sangat berbeda dengan dapur di rumahku. Di sana, aku bisa dengan mudah menemukan makanan apa saja, bahkan kulkas selalu penuh dengan makanan dan buah-buahan yang bisa kumakan kapan saja. Sementara di sini, kulkas hanya diisi dengan air putih dan minuman kaleng serta kue yang entah sudah berapa lama ada di sana 

Perutku semakin keroncongan, sementara aku hanya menemukan sebungkus mi instan dan telur yang hampir membeku di kulkas.

Kusantap pelan mi yang baru saja kumasak, saat tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan dari ibu. Pasti ibu memintaku untuk pulang.

Kegeser tombol hijau untuk menerima telepon dari ibu.

"Maaf Bu, aku tidak bisa pulang malam ini," kataku begitu panggilan terhubung.

"Andra, Hanna demam. Cepatlah pulang sekarang," ucap ibu dari ujung telepon dengan suara panik.

"A--apa, Bu?" tanyaku gugup.

"Hanna demam, badannya panas sekali. Pulanglah cepat."

Kuakhiri panggilan dengan tangan gemetar. Bayangan kematian Laila tiba-tiba muncul. Walau aku tidak berada di dekatnya di saat dia meregang nyawa, namun mendengar kalau Hanna sakit, membuatku merasa sangat takut --- kehilangan.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status