Share

6. Hanna Sakit

Hana Sakit

****

Kutinggalkan begitu saja mi yang sedang kumakan dan bergegas mencari kunci mobil. Yang ada di kepalaku saat itu, aku harus secepatnya pulang agar kejadian yang menimpa Laila tidak terulang.

Kutatap Sania yang masih tertidur pulas, rasanya tidak tega untuk membangunkannya serta memberi tahu kalau aku akan pulang dan memilih meninggalkan sebuah pesan yang kutulis dalam selembar kertas lalu meninggalkannya di atas meja.

Jalanan kota masih cukup ramai, karena belum terlalu malam. Masih sekitar pukul 11 ​​malam, mungkin aku tadi yang tidur terlalu awal, hingga merasa waktu berjalan lambat. 

Ketika mobil memasuki halaman rumah, terlihat ibu mondar-mandir di teras sambil menggendong Hanna.

"Bu, bagaimana keadaan Hanna?" tanyaku sambil memegang keningnya. Terasa sangat panas.

"Panasnya belum turun, malah makin tinggi. Kamu kenapa baru mengangkat telepon, padahal ibu sudah menghubungimu sejak sore tadi," oceh ibu dengan nada panik.

"Bu, kita bahas nanti saja. Sekarang, kita bawa Hanna ke rumah sakit," ucapku menenangkannya. Bergegas ibu membawa Hanna masuk ke dalam mobil.

"Ibu sangat khawatir ketika ponselmu tidak bisa dihubungi. Ibu takut, kejadian yang menimpa Laila terjadi pada Hanna. Gejalanya mirip, saat itu tak tubuh Laila juga demam tinggi sebelum akhirnya kami bawa ke rumah sakit," ucap ibu. Beliau mulai menceritakan bagaimana kondisi Laila saat itu.

"Laila demam tinggi saat ibu datang ke rumahmu. Waktu itu ibu kepikiran untuk menjenguk Haikal, sekaligus membuatkan pesta kecil untuknya karena Laila akan berulang tahun. Tapi siapa sangka, dia pergi sebelum ibu sempat membuatkan kue untuknya." Ibu berkata dengan suara parau, bahkan beliau mulai terisak.

Glek!! 

Aku menelan ludah sekaligus merasakan sengatan kuat hingga mampu menyentak hati. Aku sungguh lupa kalau Laila akan berulang tahun, andai ibu tidak mengatakannya.

"Bu...sudahlah, biarkan Laila tenang. Jangan selalu mengungkit masalah itu lagi, kita doakan yang terbaik untuknya," ucapku.

"Andai saja kamu tidak mematikan ponselmu dan kamu setia pada istrimu dan serta berselingkuh dengan wanita itu, Hanna dan Haikal tidak akan menjadi anak piatu dan kehilangan ibunya."

"Bu...kenapa mengungkitnya lagi? Laila sudah meninggal, dan kematiannya tidak ada kaitannya dengan Sania," ucapku membela Sania.

"Tetap saja dia salah. Karena sejak kamu berhubungan dengan wanita itu, kamu jadi jarang pulang. Kamu jarang mengurus anak dan istrimu bahkan ketika Laila sakit keras, kamu juga tidak tahu bahkan tidak pernah merawatnya."

"Hentikan, Bu! Jangan memojokkan Sania terus, dia punya nama. Jangan panggilnya dengan sebutan wanita itu," ucapku keras.

Begitu emosinya, aku malah meninggikan suaraku saat berbicara dengan ibu hingga membuat Hanna yang sedang tertidur, merengek di pangkuan ibu.

"Lihatlah apa yang kamu lakukan? Kamu bahkan membuat anakmu ketakutan," ucap ibu marah.

Aku menarik napas dalam, mencoba mendinginkan kepala dan memilih diam saat ibu masih melanjutkan omelannya dan kukuh menyalahkan Sania atas apa yang terjadi pada Laila. Ibu adalah satu-satunya orang yang mengetahui hubunganku dengan Sania, karena beliau pernah memergokiku saat bercumbu dengan Sania di kantor. Saat itu, ibu begitu murka. Bahkan dia mengancam akan mencoret namaku dari daftar keluarga, namun akhirnya hal itu tidak pernah dilakukan karena aku berjanji akan segera memutuskan hubunganku dengan Sania. Meski kenyataannya, aku tidak pernah menepati janjiku saat itu.

"Segera akhiri hubunganmu dengan wanita itu, sebelum semuanya tambah rumit dan keluarga Laila tahu kelakuanmu selama ini," ucap ibu lirih saat mobil sudah memasuki tempat parkir rumah sakit. 

Aku tidak menjawab kalimat ibu, karena berpisah dengan Sania, itu sesuatu yang mustahil untuk kulakukan.

***

Aku bernapas lega, setelah dokter berkata kalau Hanna hanya demam biasa. Namun dia harus kembali datang ke rumah sakit lagi jika panasnya belum turun setelah diberi obat.

"Dia hanya sedikit syok atau kaget. Hal itu biasa terjadi pada anak-anak ketika orang terdekatnya pergi meninggalkannya. Istilah yang sering dipakai, dia kangen. Dan emosinya masih sangat labil untuk anak seusianya untuk menerima kenyataan kalau ibunya sudah tiada. Kalau bisa, luangkan sedikit waktu untuknya agar dia tidak begitu kesepian," ucap dokter Nabila, yang kebetulan juga teman kuliah dulu. Nabila pasti sudah mengetahui tentang kematian Laila, sehingga dia bisa berkata seperti itu.

"Andra, aku ikut berduka cita atas kepergian Laila. Maaf, waktu itu aku tidak bisa datang karena sedang berada di luar kota," ucapnya lagi.

"Terima kasih Nabila atas ucapan bela sungkawanya. Aku juga akan meluangkan waktu lebih untuk Hanna, seperti saranmu," ucapku.

"Andra, tunggu!" Panggil Nabila saat aku hendak keluar. Aku menolak, menunggu Nabila mendekat.

"Apa kamu sudah bertemu dengan dokter Leo?" tanyanya.

Sa

Aku mengernyit, tidak mengerti dengan apa yang Nabila katakan.

"Kemarin aku bertemu dengan dokter Leo, kalau ada berkas milik Laila. Mungkin rekam medis miliknya yang tertinggal saat dia ke sini," lanjut Nabila menjelaskan.

"Rekam medis ...."

"Iya. Milik Laila yang tertinggal. Aku ingat karena saat itu kebetulan aku piket dan bertemu dengan Laila saat dia terakhir  melakukan check up dan meninggalkan map biru miliknya di atas meja resepsionis." Nabila memotong kalimatku sambil kembali memberikan penjelasan.

Kutinggalkan Nabila dengan perasaan campur aduk. Ingin sekali tadi aku menanyakan kepadanya tentang penyakit yang diderita Laila, namun aku tidak ingin terlihat buruk di depannya. Karena hal itu bisa membuatnya tahu kalau selama ini akan begitu abai terhadap Laila, bahkan dia sakit pun aku tidak tahu. 

"Apa yang dikatakan dokter Nabila tadi, Ndra? kok kalian bicara serius dan cukup lama?" Selidik ibu.

Kutarik napas dalam. Haruskah aku memberi tahu ibu kalau selama ini Laila sakit dan rutin berobat ke rumah sakit?

"Dia bilang ikut berduka cita atas meninggalnya Laila dan tidak bisa datang saat itu karena sedang berada di luar kota," jawabku.

"Kamu lihatkan, teman-temanmu? Mereka semua tahu dan kenal Laila, bahka saat dia meninggal, juga banyak yang mengetahuinya. Bagaimana denganmu, Ndra? Apa yang kamu ketahui tentang istrimu?" Tanya ibu penuh penekanan.

Aku hanya bisa menarik napas dalam, sambil menatap wajah ibu dari kaca spion.

Apakah aku seburuk itu, yang begitu abai dan tidak pernah memperdulikan istriku, Laila, hingga dia sakit pun aku tidak pernah tahu? Bahkan ibu kandungku sendiri sampai begitu sinis dan dingin memberi isyarat karena selalu mengabaikan Laila. Entahlah.

***

Kutinggalkan kamar Hanna saat melihat bocah itu sudah tertidur pulas setelah ibu memberinya obat. Ibu yang menemani Hanna, juga sudah terlelap di sebelah Hanna. 

Kutinggalkan kamar Hanna dengan perlahan, berjalan menyusuri lorong dan ruang demi ruang di rumah ini, membuat hatiku tiba-tiba merasa begitu hampa hingga membuatku berdiri termangu di ruang tengah. Menatap meja besar yang dikelilingi beberapa kursi di mana Laila sering duduk di sana bersama anak-anak. 

Laila dengan sabar dan telaten menyuapi Haikal, sementara Hanna duduk sambil menyusun mainannya. Tidak lama kemudian, Laila akan berlari tergopoh-gopoh saat mendengar aku memanggil namanya.

“Laila….” panggilku sambil berusaha mendekati sosoknya yang berlari menjauh.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status