Hana Sakit
****Kutinggalkan begitu saja mi yang sedang kumakan dan bergegas mencari kunci mobil. Yang ada di kepalaku saat itu, aku harus secepatnya pulang agar kejadian yang menimpa Laila tidak terulang.
Kutatap Sania yang masih tertidur pulas, rasanya tidak tega untuk membangunkannya serta memberi tahu kalau aku akan pulang dan memilih meninggalkan sebuah pesan yang kutulis dalam selembar kertas lalu meninggalkannya di atas meja.
Jalanan kota masih cukup ramai, karena belum terlalu malam. Masih sekitar pukul 11 malam, mungkin aku tadi yang tidur terlalu awal, hingga merasa waktu berjalan lambat.
Ketika mobil memasuki halaman rumah, terlihat ibu mondar-mandir di teras sambil menggendong Hanna."Bu, bagaimana keadaan Hanna?" tanyaku sambil memegang keningnya. Terasa sangat panas.
"Panasnya belum turun, malah makin tinggi. Kamu kenapa baru mengangkat telepon, padahal ibu sudah menghubungimu sejak sore tadi," oceh ibu dengan nada panik.
"Bu, kita bahas nanti saja. Sekarang, kita bawa Hanna ke rumah sakit," ucapku menenangkannya. Bergegas ibu membawa Hanna masuk ke dalam mobil.
"Ibu sangat khawatir ketika ponselmu tidak bisa dihubungi. Ibu takut, kejadian yang menimpa Laila terjadi pada Hanna. Gejalanya mirip, saat itu tak tubuh Laila juga demam tinggi sebelum akhirnya kami bawa ke rumah sakit," ucap ibu. Beliau mulai menceritakan bagaimana kondisi Laila saat itu.
"Laila demam tinggi saat ibu datang ke rumahmu. Waktu itu ibu kepikiran untuk menjenguk Haikal, sekaligus membuatkan pesta kecil untuknya karena Laila akan berulang tahun. Tapi siapa sangka, dia pergi sebelum ibu sempat membuatkan kue untuknya." Ibu berkata dengan suara parau, bahkan beliau mulai terisak.
Glek!!
Aku menelan ludah sekaligus merasakan sengatan kuat hingga mampu menyentak hati. Aku sungguh lupa kalau Laila akan berulang tahun, andai ibu tidak mengatakannya."Bu...sudahlah, biarkan Laila tenang. Jangan selalu mengungkit masalah itu lagi, kita doakan yang terbaik untuknya," ucapku.
"Andai saja kamu tidak mematikan ponselmu dan kamu setia pada istrimu dan serta berselingkuh dengan wanita itu, Hanna dan Haikal tidak akan menjadi anak piatu dan kehilangan ibunya."
"Bu...kenapa mengungkitnya lagi? Laila sudah meninggal, dan kematiannya tidak ada kaitannya dengan Sania," ucapku membela Sania.
"Tetap saja dia salah. Karena sejak kamu berhubungan dengan wanita itu, kamu jadi jarang pulang. Kamu jarang mengurus anak dan istrimu bahkan ketika Laila sakit keras, kamu juga tidak tahu bahkan tidak pernah merawatnya."
"Hentikan, Bu! Jangan memojokkan Sania terus, dia punya nama. Jangan panggilnya dengan sebutan wanita itu," ucapku keras.
Begitu emosinya, aku malah meninggikan suaraku saat berbicara dengan ibu hingga membuat Hanna yang sedang tertidur, merengek di pangkuan ibu.
"Lihatlah apa yang kamu lakukan? Kamu bahkan membuat anakmu ketakutan," ucap ibu marah.
Aku menarik napas dalam, mencoba mendinginkan kepala dan memilih diam saat ibu masih melanjutkan omelannya dan kukuh menyalahkan Sania atas apa yang terjadi pada Laila. Ibu adalah satu-satunya orang yang mengetahui hubunganku dengan Sania, karena beliau pernah memergokiku saat bercumbu dengan Sania di kantor. Saat itu, ibu begitu murka. Bahkan dia mengancam akan mencoret namaku dari daftar keluarga, namun akhirnya hal itu tidak pernah dilakukan karena aku berjanji akan segera memutuskan hubunganku dengan Sania. Meski kenyataannya, aku tidak pernah menepati janjiku saat itu.
"Segera akhiri hubunganmu dengan wanita itu, sebelum semuanya tambah rumit dan keluarga Laila tahu kelakuanmu selama ini," ucap ibu lirih saat mobil sudah memasuki tempat parkir rumah sakit.
Aku tidak menjawab kalimat ibu, karena berpisah dengan Sania, itu sesuatu yang mustahil untuk kulakukan.
***Aku bernapas lega, setelah dokter berkata kalau Hanna hanya demam biasa. Namun dia harus kembali datang ke rumah sakit lagi jika panasnya belum turun setelah diberi obat."Dia hanya sedikit syok atau kaget. Hal itu biasa terjadi pada anak-anak ketika orang terdekatnya pergi meninggalkannya. Istilah yang sering dipakai, dia kangen. Dan emosinya masih sangat labil untuk anak seusianya untuk menerima kenyataan kalau ibunya sudah tiada. Kalau bisa, luangkan sedikit waktu untuknya agar dia tidak begitu kesepian," ucap dokter Nabila, yang kebetulan juga teman kuliah dulu. Nabila pasti sudah mengetahui tentang kematian Laila, sehingga dia bisa berkata seperti itu.
"Andra, aku ikut berduka cita atas kepergian Laila. Maaf, waktu itu aku tidak bisa datang karena sedang berada di luar kota," ucapnya lagi.
"Terima kasih Nabila atas ucapan bela sungkawanya. Aku juga akan meluangkan waktu lebih untuk Hanna, seperti saranmu," ucapku.
"Andra, tunggu!" Panggil Nabila saat aku hendak keluar. Aku menolak, menunggu Nabila mendekat.
"Apa kamu sudah bertemu dengan dokter Leo?" tanyanya.
Sa
Aku mengernyit, tidak mengerti dengan apa yang Nabila katakan.
"Kemarin aku bertemu dengan dokter Leo, kalau ada berkas milik Laila. Mungkin rekam medis miliknya yang tertinggal saat dia ke sini," lanjut Nabila menjelaskan.
"Rekam medis ...."
"Iya. Milik Laila yang tertinggal. Aku ingat karena saat itu kebetulan aku piket dan bertemu dengan Laila saat dia terakhir melakukan check up dan meninggalkan map biru miliknya di atas meja resepsionis." Nabila memotong kalimatku sambil kembali memberikan penjelasan.
Kutinggalkan Nabila dengan perasaan campur aduk. Ingin sekali tadi aku menanyakan kepadanya tentang penyakit yang diderita Laila, namun aku tidak ingin terlihat buruk di depannya. Karena hal itu bisa membuatnya tahu kalau selama ini akan begitu abai terhadap Laila, bahkan dia sakit pun aku tidak tahu.
"Apa yang dikatakan dokter Nabila tadi, Ndra? kok kalian bicara serius dan cukup lama?" Selidik ibu.
Kutarik napas dalam. Haruskah aku memberi tahu ibu kalau selama ini Laila sakit dan rutin berobat ke rumah sakit?
"Dia bilang ikut berduka cita atas meninggalnya Laila dan tidak bisa datang saat itu karena sedang berada di luar kota," jawabku.
"Kamu lihatkan, teman-temanmu? Mereka semua tahu dan kenal Laila, bahka saat dia meninggal, juga banyak yang mengetahuinya. Bagaimana denganmu, Ndra? Apa yang kamu ketahui tentang istrimu?" Tanya ibu penuh penekanan.
Aku hanya bisa menarik napas dalam, sambil menatap wajah ibu dari kaca spion.
Apakah aku seburuk itu, yang begitu abai dan tidak pernah memperdulikan istriku, Laila, hingga dia sakit pun aku tidak pernah tahu? Bahkan ibu kandungku sendiri sampai begitu sinis dan dingin memberi isyarat karena selalu mengabaikan Laila. Entahlah.
***Kutinggalkan kamar Hanna saat melihat bocah itu sudah tertidur pulas setelah ibu memberinya obat. Ibu yang menemani Hanna, juga sudah terlelap di sebelah Hanna.Kutinggalkan kamar Hanna dengan perlahan, berjalan menyusuri lorong dan ruang demi ruang di rumah ini, membuat hatiku tiba-tiba merasa begitu hampa hingga membuatku berdiri termangu di ruang tengah. Menatap meja besar yang dikelilingi beberapa kursi di mana Laila sering duduk di sana bersama anak-anak.
Laila dengan sabar dan telaten menyuapi Haikal, sementara Hanna duduk sambil menyusun mainannya. Tidak lama kemudian, Laila akan berlari tergopoh-gopoh saat mendengar aku memanggil namanya.
“Laila….” panggilku sambil berusaha mendekati sosoknya yang berlari menjauh.
****All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa