Saat keluarga Laila membawa Haikal, aku sengaja tidak ingin melihat kepergiannya. Entah kenapa, hatiku begitu sakit ketika melihat mereka membawa Haikal keluar dari rumah. Begitu sakitnya hingga aku memilih untuk menyandarkan tubuh ke dinding dan membiarkannya melorot ke lantai.
Aku tidak pernah dekat dengan anak-anak, namun saat aku tidak melihat keberadaan mereka di rumah saat aku pulang kerja, hal itu membuat sesuatu terasa ada yang kurang. Lalu kini, Haikal harus meninggalkan rumah ini karena dia butuh kasih sayang seorang ibu.
Ingin sekali aku protes pada keluarga Laila agar tidak membawa anakku bersama mereka, namun kata-kataku hanya sampai sebatas angan-angan saja. Bagiamana bisa, Haikal menganggap Alya sebagai pengganti ibunya, sementara dia sendiri masih seorang pelajar SMA, yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama teman-temannya.
Aku menarik napas, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua yang terjadi di rumah ini begitu cepat da tiba-tiba.
"Papa ... Hanna mau mandi di bathtub pake bisa," ucap Hanna mengagetkan.
Hanna menarik tanganku dan membawaku ke kamar mandi. Aku menurut dan mengikuti langkah kecilnya. Lalu kuperharikan bocah itu sibuk mencari sesuatu dari dalam laci, entah apa yang dia cari.
"Papa, bubble bubble ...." ucapnya sambil menunjuk lemari bagian atas.
"Bubble, Hanna mau apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Bubble Pa, Mama selalu kasih Hanna bubble kalau mandi di bathtub," ucapnya lagi.
Aku membuka lemari yang ditunjukny, mencoba mencari sesuatu yang dimaksud oleh Hanna. Setelah sekian lama, aku tidak menemukan apa-apa. Aku bahkan belum tahu apa maksud Hanna dengan bubble.
Aku mengambil ponsel yang sudah beberapa lama kubiarkan tergeletak di atas meja, dan mulai mencari nomor Sania. Karena hanya Sania yang terlintas di pikiran.
"Mas Andra, kamu kemana saja beberapa hari ini? Aku telepon dan kirim pesan, tapi tidak satupun yang kamu balas. Mas, aku ingin bertemu denganmu. Apa perlu aku datang ke kantormu sekarang?" Oceh Sania begitu telepon terhubung.
"Sania, dengarkan aku dulu. Saat ini aku tidak bisa bertemu denganmu, karena ... Laila baru saja meninggal dunia. Dan aku sangat sibuk mengurus anak-anak. Jadi aku harap, kamu memberiku waktu," ucapku setelah Sania berhenti berbicara.
"Wah ... kenapa kamu baru memberitahuku Sekaran, Mas? Ini berita bagus lho," jawabnya.
Kutarik napas dalam sebelum berbicara, "Sania, haruskah kamu mengatakan hal itu?" kataku dengan penuh penekanan. Sania terdiam, aku bahkan tidak lagi mendengar desah napasnya. Dia telah menutup telepon.
Suara kran air membuatku spontan menoleh, kulihat Hanna berdiri di tepi bathtub sambil mengaduk sesuatu di bawah kran yang mengalir. Air dalam bathtub dipenuhi bisa dan gelembung, Hanna tertawa riang melihat usahanya berhasil. Kuperhatikan anakku itu dengan mata nanar. Begitu busa memenuhi hampir seluruh bak mandi, dia lalu memberikan kran dan masuk berendam di dalamnya.
"Hanna, apakah Mama yang mengajarimu?" tanyaku sambil berjongkok di sisi bathtub.
"Iya. Lihat Pa, banyak bubble nya," ucapnya dengan mata berbinar, sambil meraih gelembung busa.
Ah ... ternyata yang dimaksud dengan bubble adalah busa buat berendem dalam bathtub. Laila sering menyiapkan untukku setiap kali aku pulang malam. Laila bilang, berendam di dalam air hangat, bisa membuat pikiranku rileks, dan dia juga mencampur sabun aroma terapi di dalam bathtub.
"Kamu menyukainya, Hanna?" tanyaku. Dan dia menjawab dengan menganggukkan kepala.
Kutarik napas dalam, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kamar mandi. Semuanya masih seperti semula, sama seperti ketika Laila masih ada di rumah. Letak handuk, sikat gigi dan pasta gigi. Hanya saja, letaknya tidak lagi rapi, namun berantakan.
Kutatap handuk berwarna merah muda, namun aku tidak melihat handuk milikku. Biasanya hanya meletakkan bersebelahan dengan handuknya. Ah, ke mana dia menyimpan handukku?
Aku berdiri sambil berteriak, "Laila, ke mana kamu menyimpan handukku?!
Tidak ada sahutan, lalu aku melongokkan kepala ke luar, kulihat handuk berwarna biru tua tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
"Mas Andra, bisa enggak sih, kalau habis mandi handuknya di taruh di sana," ucap Laila sambil mengambil handuk yang Kuletakkan begitu saja di atas tempat tidur.
"Kalau handuknya basah, sepertinya ikut basah," omelnya dari dalam kamar mandi.
"Papa ... Papa ....!"
Aku tersentak, bayangan Laila tiba-tiba lenyap berganti dengan Hanna dengan tubuh penuh busa menarik ujung bajuku.
"A--ada apa, Nak?" tanyaku tergagap.
"Hanna sudah selesai," ucapnya.
"Tunggu, biar papa ambilkan handuk dulu."
"Hanna belum dibilas pake air shower," ucapny. Dan lagi-lagi aku dibuat bengong. Bahkan untuk sekedar memandikan Hanna saja, aku tidak tahu caranya, tapi aku selalu memarahi Laila --- bahkan untuk urusan remeh temeh.
***
Hanna sudah selesai mandi, dan drama mencari baju kembali terulang.
"Pa, Hanna dingin," ucap Hanna sambil menggigil. Dia memegang handuk yang kulilitkan di tubuhnya dengan gemetar.
"Tunggu sebentar, Papa sedang mencari baju gantimu, Nak," ucapku sambil memeriksa isi lemari. Namun hanya baju milikku yang memenuhi lemari pakaian di dalam kamar, dan beberapa helai baju milik Laila.
"Bukan di situ Pak, bajunya, tapi di sini." Hanna menunjuk laci yang ada di bawah tempat tidur.
"Kamu yakin?" tanyaku ragu. Karena aku bahkan baru mengetahui kalau tempat tidurku memiliki beberapa laci di bawahnya. Hanna mengangguk.
Perlahan kutarik salah satu laci. Benar, baju Hanna dan juga baju Haikal ada di dalamnya. Hal itu membuatku heran, kenapa Laila menyimpan baju anak-anak di dalam kamar kami, padahal mereka memliki kamar sendiri dan juga lemari. Apakah karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarku? Entahlah.
"Hanna, biasanya setelah mandi, Mama ngapain?" tanyaku hati-hati sembari membantu Hanna berganti baju.
"Mama akan membuatkan susu, setelah itu Mama memasak."
"Setelah memasak?" tanyaku lagi.
"Mama akan menyuapi adik Haikal makan, setelah adik tidur Mama seterika baju sambil nemenin Hanna bermain."
Aku menarik napas dalam, membayangkan betapa repotnya Laila ketika mengurus anak-anak. Dan apa yang diceritakan Hanna, hanyalah sebagian kecil kesibukan Laila ketika aku tidak di rumah. Sementara yang kutahu, dia sudah mulai menyibukkan diri begitu selesai salat subuh. Laila sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dan bekal untuk kubawa ke kantor, juga menyiapkan baju yang kupakai setiap hari.
Drrtt ...
Ponsel yang ada di atas meja bergetar, sebuah panggilan masuk. Sania.
"Mas, aku sudah tidak tahan lagi. Kita harus ketemu," ucap Sania.
"Sekarang?" tanyaku lesu. Kulihat Hanna yang duduk di atas tempat tidur sambil memeluk boneka kesayangannya.
"Iya, sekarang," jawab Sania ketus.
"Baiklah, aku akan ke sana sekarang," ucapku sambil mengakhiri panggilan. Aku menggendong Hanna keluar kamar dan membawanya pada ibu yang saat itu sedang merapikan kamar anak-anak.
"Bu ... aku akan keluar sebentar, titip Hanna, ya?" pintaku.
"Kamu akan ke mana?" selidiknya.
-----
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa