 LOGIN
LOGIN“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.
“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara. Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya. Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya. “Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas. “Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya segera mengecek lemari masing-masing. Ada yang mengucap syukur, ada juga yang menggerutu setelah mengetahui ada beberapa barang yang telah mereka sembunyikan dan disita. Clara mengamati hal itu. Meskipun kini ia harus mendapatkan hukuman jubah merah, setidaknya kini ia tahu bahwa lemari bukanlah tempat yang aman, dan bahwa di pesantren juga terdapat razia. Pandangannya tertuju ke arah lain. Tiba-tiba saja, ia tersenyum. Sepertinya ia baru saja mendapatkan ide baru. *** “Astaga ... lo kena hukuman jubah merah, Ra? Berani juga si Halimah itu.” Sore ini, Clara kembali berkumpul bersama beberapa temannya. Ada tiga orang santriwati lain yang sejak awal memang terkenal dengan kenakalannya, dan keberadaan Clara seolah melengkapi mereka. “Tau, nih! Nyebelin banget tuh anak. Hampir aja gue tonjok dia tadi! Ditambah tadi dia sok jual mahal banget. Gue nawarin setengah juta buat sogokan, malah dia tolak. Emang dia udah kaya, hah?” geram Clara. Ketiga temannya terkekeh pelan. “Udah, santai aja. Gue, Anggun, sama Nala aja udah pernah ngalamin hukuman jubah merah itu. Makanya sekarang kita bertiga kompak banget.” Salah satu santriwati yang bernama Lisa mengusap punggung Clara, mencoba memberinya dukungan. Mau tidak mau, Clara pun tersenyum. “Lisa bener, tuh. Seminggu sebelum lo masuk, gue habis kena hukuman jubah merah karena ketahuan bawa HP.” Anggun ikut menimpali. Clara mengangguk sejenak, sebelum ia menyadari sesuatu. “Lo ... bawa HP?” tanyanya memastikan, dan Anggun mengangguk. Clara tersenyum lebar. Ia jadi semakin yakin akan idenya. “Emangnya kenapa? Lo mau bawa HP juga?” tanya Nala. Clara mengangguk. “Bisa aja, tapi make sure HP lo nanti pakai mode silent. Gue ketahuan gara-gara lupa pasang mode silent.” Anggun menghela napas. “Parahnya lagi, HP Anggun langsung dihancurin di depan Anggun sendiri, pakai martil.” Lisa ikut menimpali. Mata Clara membelalak. “Gila! Emang si Halimah mau ganti rugi?” serunya kesal. Ketiga temannya menggeleng. Clara terdiam sejenak. Ia mencoba memikirkan ulang mengenai idenya. Berdasarkan penjelasan ketiga temannya, menyelundupkan ponsel tentunya merupakan hal yang amat berisiko. Ia memejamkan mata sejenak, mencari jalan keluar. Kemudian, ia membuka matanya. “Gue tau!” Ia tersenyum lebar setelah berhasil mendapatkan sebuah ide. “Anggun, di mana lo ngumpetin HP waktu itu?” “Di bawah bantal, sih .... “ Ia mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa emang?” Clara memberi isyarat agar ketiganya mendekat. Ia juga melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Setelahnya, ia membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia bisikkan, namun ekspresi ketiga temannya tampak sumringah. “Coba aja gue kepikiran dari awal ... nggak mungkin si Halimah sialan itu bisa nemuin HP gue. Yah, selain emang gue yang ceroboh, lupa pasang mode silent.” Anggun tersenyum kecut. Ia masih teringat dengan nasib ponselnya yang harus dihancurkan. Clara mengusap bahunya. “Nanti kalian bisa pake HP gue juga. Itu bisa jadi HP kita bersama. Kapan kita pakai, di mana lokasi yang aman, nanti kita atur.” Mendengar ucapan Clara, ketiga santriwati itu seolah menemukan sekutu baru. Mereka berempat saling berangkulan, tertawa bersama atas ide yang menurut mereka sangat jenius. *** “Ma, aku tiba-tiba pengen mangga, deh.” Clara berkata pada ibunya. Pekan itu, sang ibu kembali menjenguknya. Sama seperti kunjungan sebelumnya, sang ayah tidak ikut. Sang ibu mengangkat alis tatkala mendengar permintaan putrinya. Sebenarnya itu bukan sesuatu yang aneh. Clara suka mangga, meskipun itu bukan buah favoritnya. Tapi, tetap saja permintaan putrinya itu sedikit berbeda dari kebiasaannya. “Boleh aja, sayang. Tapi ... nanti gimana kamu makan mangganya? Mangga itu kan harus dikupas dulu. Emangnya kamu boleh bawa pisau, meskipun untuk ngupas buah?” Sang ibu balas bertanya. Clara tersenyum. Ia sudah mengantisipasi pertanyaan tersebut. “Kalau pisau emang nggak boleh, tapi kalau cutter boleh. Beberapa santri ada yang bawa cutter juga.” Clara berusaha meyakinkan ibunya. Karena merasa tidak ada yang aneh, tentunya sang ibu mengiyakan, dan meminta sang sopir membelikan apa yang diinginkan putrinya. "Ada lagi yang kamu mau? Biar dibeliin sekalian." Sang ibu menyerahkan uang pada sopir. Clara menggeleng pelan dan tersenyum senang. Rencananya sejauh ini berjalan mulus. "Nggak. Itu aja. Aku tunggu, ya. Pastikan juga cutter yang dibeli itu yang tajam, ya. Soalnya buat ngupas mangga." ***
“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se
“Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter
"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim
“Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu
"Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.
"Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia








