Share

Jubah Merah

last update Last Updated: 2025-10-19 12:22:11

“Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat.

“Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi.

“Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya.

Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok.

Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ternama, hingga MP3 yang biasa digunakan untuk mendengarkan musik. Ia hanya bisa beristigfar, sebelum memasuki kamar nomor empat. Kamar yang sama yang ditempati Clara. Clara sendiri tengah mengikuti kelas pagi, karena kebetulan hari ini ada mata pelajaran favoritnya.

“Eh, ini bukannya kamar Clara?” tanya temannya yang tengah membuka lemari santri lain. Halimah mengangguk. Seingatnya begitu.

“Kalau nggak salah, iya. Coba aku cari.” Halimah menelusuri satu demi satu lemari santri. Tak lupa pula ia memeriksa tiap lemari yang dilewatinya dengan seksama.

Lagi-lagi, ia menemukan salah satu majalah di lemari milik salah satu santri. Ia mengucap istigfar untuk yang kesekian kalinya, sebelum menyerahkannya pada temannya. Terdengar pula temannya ikut beristigfar, atau justru terkekeh.

“Sebenarnya aku ngerti, sih. Namanya anak muda, pasti lagi suka banget beli komik atau majalah yang isinya artis-artis ganteng gini,” celetuk temannya sambil memasukkan majalah tersebut ke dalam kantong yang ia bawa.

“Mau bagaimana lagi? Ini aturan pesantren .... “ Halimah mengangkat bahunya. Tangannya sempat terhenti saat ia melihat lemari milik Clara. Sesuatu dalam dirinya seolah mengatakan agar ia membuka lemari tersebut. Halimah mengambil napas dalam, sebelum membuka lemari Clara dengan perlahan.

“Astaghfirullah ... apa-apaan ini?!” serunya.

Sementara itu, Clara sendiri berada di kelasnya, dan ia tengah mendengarkan penjelasan guru. Hari itu sang guru membahas mengenai kandungan berbahaya yang ada dalam sebatang rokok. Mata Clara melebar saat ia menyadari, bahwa ia belum sempat menyembunyikan rokoknya, dan hanya menyimpannya dengan asal di lemari. Ia segera meminta izin pada guru yang saat itu tengah memberikan penjelasan, beralasan bahwa ia ingin ke toilet, dan sang guru mengizinkan.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, ia berjalan cepat menuju ke kamarnya. Napasnya sedikit terengah, namun dia tidak peduli. Ia mempercepat langkahnya menuju gedung asrama Ar-Rahman, tapi sepertinya ia terlambat. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat Halimah dan temannya keluar dari kamarnya. Ia juga bisa melihat bahwa di tangan Halimah terdapat sesuatu yang ia gagal sembunyikan.

“Sialan ... dasar Halimah anak sialan ...! “ Clara berdesis, dan tepat saat itu, Halimah menoleh ke arahnya.

“Clara!” teriak Halimah. Clara tetap berdiri di tempatnya. Perlahan, ia tersenyum.

Bahkan saat Halimah dan temannya mendekat, ia tidak bergerak sama sekali. Ia tetap diam, menunggu kedua orang itu menghampirinya. Begitu Halimah dan temannya sudah berdiri di dekatnya, Clara maju selangkah. Ia mengambil bungkus rokok itu dari tangan Halimah, mengambil sebatang rokok, menyalakannya dengan pemantik api yang juga ia rebut dari tangan Halimah, dan menghisapnya. Tidak hanya itu, ia mengembuskan asapnya ke wajah dua orang itu.

“Iya, gue ngerokok. Nih, sita lagi aja.” Ia kembali menghisap rokok, mengembuskan asapnya lagi. Teman Halimah bahkan sampai terbatuk.

Halimah hanya menatap Clara, tanpa mengatakan apapun. Ia seolah sudah kehilangan kesabaran menghadapi putri sang walikota ini. Ia menoleh ke temannya, memberinya isyarat agar sang teman pergi lebih dulu. Setelah hanya ada mereka berdua, Halimah mendekati Clara.

“Kamu tau, kan? Kalau merokok termasuk dalam pelanggaran berat di pesantren ini? Kenakalan kamu kali ini harusnya bisa bikin kamu dikeluarkan dari pesantren ini.” Ia berbicara dengan suara rendah. Clara justru tersenyum. Memang itu yang ia inginkan.

“Tapi ... aku juga paham, kalau mengeluarkan kamu dari pesantren, sama aja dengan aku menuruti keinginan kamu,” ucap Halimah, seolah ia bisa membaca pikiran Clara. Detik itu juga, senyumnya luntur.

“Maksud lo?” tanya Clara. Halimah tersenyum.

“Kamu nggak akan dikeluarkan. Tapi, selama sebulan, kamu akan pakai jubah merah.”

***

Jubah merah. Sebuah kain sepanjang satu meter yang berwarna merah, dan memiliki tali untuk diikat di leher. Persis seperti jubah yang biasa dikenakan orang-orang zaman dulu seperti yang digambarkan di film. Tapi, ini bukan sembarang jubah merah. Hanya para santri yang melakukan pelanggaran berat yang pernah mengenakan jubah ini. Kali ini, Clara yang akan mengenakannya.

Ia hanya bisa menahan kekesalannya saat Halimah mengikatkan jubah merah itu di lehernya. Siapapun yang mengenakannya seolah diberi cap yang jelas sebagai seorang pelanggar aturan. Ia bahkan mengepalkan kedua tangannya, dan menatap Halimah dengan penuh kebencian.

“Kenapa sih lo nggak ngeluarin gue aja dari pesantren ini? Kan gue udah melanggar!” protes Clara. Ia masih tak terima dengan hukuman ini.

“Karena ayahmu mau kamu dididik di sini. Kalau kami sampai mengeluarkan kamu, itu artinya pihak pesantren gagal mendidik kamu.” Halimah menepuk bahu Clara. Gadis itu masih menatapnya dengan penuh amarah. Kemudian, ia teringat sesuatu.

Perlahan, ia merogoh sakunya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Jumlahnya mungkin mencapai setengah juta rupiah. Lagi-lagi, uang bukanlah masalah bagi Clara. Ia menyodorkan lima lembar uang seratus ribu ke tangan Halimah.

“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa? Setengah juta cukup?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Apa Lagi Yang Clara Rencanakan?

    “Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Jubah Merah

    “Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Munculnya Pemberontakan

    "Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Putri VS Malaikat

    “Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Karena Semuanya Munafik

    "Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Mengenai Peraturan

    "Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status