Share

Mengenai Peraturan

last update Last Updated: 2025-10-11 17:53:39

"Ah, yang ini aku taruh di sini .... "

Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.

“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.

“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah.

Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia hanya duduk, mengecek kitab-kitab milik santri lain, atau sekedar menggambar sesuatu di papan tulis, sebelum ia menghapusnya lagi.

Sementara itu, Halimah yang siang itu bertugas mengecek daftar para santri yang salat berjemaah, menyadari ada yang tidak beres. Ke mana Clara? Kenapa dia tidak ikut salat? Apa mungkin dia sedang datang bulan? Halimah berpikir sejenak. Mungkin sebaiknya ia menanyakan hal ini pada Clara, sekaligus menjelaskan peraturan pesantren ini. Ia segera meminta salah satu temannya menggantikan tugasnya, sementara ia sendiri keluar dari masjid untuk mencari Clara.

***

“Di sini kamu rupanya.” Clara yang sedang membaca salah satu kitab di kelas itu langsung menoleh. Ia memperhatikan Halimah yang berjalan mendekatinya.

“Iya. Kenapa?” tanyanya dengan ketus. Sepertinya ia masih menyimpan kekesalan akibat perbuatan Halimah yang menegurnya saat ia baru datang. Halimah menyadari itu, dan tersenyum.

“Maaf kalau ucapanku tadi pagi bikin kamu marah.” Ia maju selangkah. Clara sendiri tetap berada di tempatnya. “Oh, iya. Kalau boleh tahu, kamu sedang halangan?”

Clara mengangkat sebelah alisnya. Sepertinya ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Ia mengangkat bahu, tersenyum miring, dan menggeleng.

“Nggak. Gue emang males aja salat berjemaah. Kenapa? Mau marah? Silakan.” Ia merentangkan tangannya, menunjukkan sikap menantang. Kalau saja Halimah tidak ingat Clara merupakan santri baru, ia mungkin sudah akan menghukumnya. Ia menarik napas, beristigfar dalam hati.

“Aku nggak marah,” ucapnya lembut, “aku ngerti, kamu anak baru. Masih dalam proses adaptasi. Jadi, untuk saat ini nggak ada hukuman.”

Ia berjalan mendekati sebuah kursi, duduk di atasnya, dan memberi Clara isyarat untuk ikut duduk di sebelahnya. Clara yang masih waspada, memperhatikannya dengan saksama, mencoba menebak apa yang sedang direncanakan Halimah padanya. Entahlah, sepertinya insiden tadi pagi membuat alam bawah sadarnya menandai Halimah sebagai ancamannya di pesantren ini.

“Aku yakin kamu tau, di lingkungan mana pun selalu ada yang namanya aturan, baik aturan tertulis, ataupun tak tertulis.” Halimah memulai pembicaraan lagi. “Termasuk di pesantren ini. Ada beberapa aturan. Aku cuma bakal jelasin yang tertulis. Kalau aturan tak tertulis, aku rasa lebih baik kamu tau sendiri setelah beberapa lama di sini.”

“Dan apa menurut lo, gue bakal taat?” Clara tertawa sinis. Halimah kembali menghela napas.

“Kalau seseorang melanggar, pastinya ada hukumannya, kan? Aku yakin kamu orang yang bijak, Clara.”

Clara menggeser kursi yang ia duduki agar lebih dekat dengan kursi yang diduduki Halimah. Ia memperhatikan Halimah cukup lama, sebelum menggeleng geli dan tersenyum miring. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi sepertinya Clara tertarik mendengarkan dan mengetahui aturan-aturan apa saja yang ada di pesantren ini. Ia mengangguk pelan, memberi Halimah isyarat untuk melanjutkan. Halimah tersenyum lega melihatnya.

“Oke. Jadi, di pesantren ini, salat lima waktu berjemaah itu wajib. Bagi yang tidak memiliki uzur atau sengaja melewatkan salat berjemaah akan mendapatkan hukuman. Selain itu, wajib menggunakan bahasa yang sopan selama berada di lingkungan pesantren. Mengumpat atau berkata kasar termasuk pelanggaran sedang dan bisa dihukum juga tentunya. Pelanggaran berat sendiri ialah berkelahi, membawa ponsel, berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada keperluan, dan kabur dari pesantren. Apa sejauh ini bisa dimengerti?” tanya Halimah.

Cukup lama Clara terdiam. Sepertinya ia tengah mempertimbangkan semua aturan tersebut. “Itu aja? Soal outfit? Terus kalau gue mau keluar dari pesantren sejenak buat refreshing?” tanyanya.

“Soal pakaian, di sini kamu boleh pakai rok dan kemeja, ataupun gamis. Celana panjang hanya boleh dipakai saat berolahraga. Terus, kalau kamu ada keperluan, kamu boleh keluar tiap hari Jumat, dari jam 11 siang sampai jam 1 siang. Tapi kamu harus izin dulu ke bagian keamanan. Kebetulan, aku termasuk bagian keamanan di pesantren ini.” Halimah kembali menjelaskan.

“Oh, dan satu lagi, Clara, ‘gue-lo’ itu dilarang keras di sini. Mungkin kamu bisa belajar pakai ‘aku-kamu’, atau ‘ana-antum’, terserah. Asalkan bukan yang dilarang tadi. Bahasa daerah yang bermakna kasar juga dilarang,” jelasnya menambahkan. Clara menatapnya tak percaya.

"Yang benar aja ...! "

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Clara VS Qarin Halimah

    “Kenapa, Ra?” tanya ketiga temannya. Clara masih menunjukkan ekspresi ketakutan, dan menunjuk santriwati yang sebelumnya membawakan piring-piring mereka, yang kali ini menatap dengan wajah bingung.“LO INI SIAPA, HAH? LO UDAH GILA, YA? NGASIH GUE TANAH SAMA DEDAUNAN GITU?” bentak Clara. Santriwati tersebut menatap bingung.“Maksudnya apa, ya? Aku ngambilin nasi sama lauk, kok.” Ia membela dirinya. Clara menatap piring yang sebelumnya ia lempar. Memang, terlihat nasi dan lauk-pauk yang berserakan. Ia menggeleng seraya mengusap wajahnya.“Nggak bisa, nggak bisa. Ini udah keterlaluan. Gue harus izin pulang besok,” gumamnya. Tanpa mengucapkan maaf ataupun memungut piringnya, ia bangkit dan berjalan menuju kamarnya.Sesampainya di kamar, ia segera membaringkan tubuhnya. Ia bahkan tak perlu repot melepas kerudungnya. Saat tatapannya tertuju pada langit-langit, ia merasa rileks untuk sejenak.“Kenapa hidup gue jadi kacau begini, ya ...? “Ia mengembuskan napas perlahan. Suasana kamar yang sep

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Teror Yang Semakin Jelas

    “AAAAAAAAA!” Teriakan Clara membuat beberapa teman sekamarnya terbangun. Mereka menoleh ke arah Clara, dan menanyakan ada apa. Clara masih mengatur napasnya. Sesuatu yang sebelumnya ia lihat sudah tidak ada.“Nggak apa-apa. Maaf, aku tadi mimpi buruk.” Ia tersenyum, mencoba meyakinkan. Untungnya mereka yang terbangun karena teriakannya bisa memaklumi.“Coba baca doa dulu sebelum tidur, Ra.” Salah seorang dari mereka mengingatkan, dan Clara mengangguk, seraya berterima kasih. Ia memastikan terlebih dahulu bahwa semuanya sudah aman. Dan mungkin saja, ia memang lupa berdoa sebelumnya, sehingga ia mengalami halusinasi. Bahkan hingga detik ini, ia masih menganggap semuanya hanyalah halusinasi. “Benar juga, sih. Si cewek sialan itu dah mati. Gue halu aja tadi, karena kesel sama dia,” gumamnya, sebelum ia mulai berdoa dan akhirnya tertidur.***“Lo yakin? Tapi gue rasa itu bukan sekadar halusinasi, deh. Gimana kalau emang arwahnya berkeliaran?” Clara memijat pelipisnya, dan menggeleng tegas

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Masih Terus Menyangkal

    “Tadi itu beneran suara Halimah?” tanya Anggun memastikan. Keempatnya kini sudah berada di kelas yang kosong. Namun suasananya sedikit lebih menenangkan, dengan penerangan yang sangat cukup.“Nggak mungkin. Cewek sialan itu udah mati. Kita mungkin halu karena kebanyakan ngomongin dia.” Clara menggeleng tidak setuju. Ia masih menyangkal bahwa semua yang terjadi sulit dijelaskan oleh akal manusia.“Tapi tadi itu suaranya jelas banget!” seru Nala. Ia masih merinding meskipun kini mereka telah berada di kelas. Kali ini, Lisa yang angkat bicara.“Gue setuju sama Clara. Kita lagi halu aja. Mendingan mulai sekarang kita gak usah ngomongin cewek itu lagi. Udah bener dia mati. Kita ngomongin dia sama aja dengan kita menghidupkan kenangan tentang dia. Gue sih nggak sudi. Najis!” umpat Lisa seraya menunjukkan gestur jijik. Kali ini, Clara dan dua temannya setuju. Setelah lebih tenang, barulah mereka kembali mengobrol, dan kembali ke kamar masing-masing.***“Kamu kelihatan agak kurus, Nak .... “

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Gangguan Dari Yang Tak Terlihat

    Sebulan telah berlalu sejak wafatnya Halimah. Suasana pesantren juga sudah kembali seperti semula. Peraturan masih berjalan seperti biasanya, dan Clara juga sudah tidak serajin sebelumnya. Seperti sekarang ini. Ia memilih untuk tidak ikut salat Asar berjemaah. Namun kali ini, ia hanya sendirian di tempat jemuran. Ia duduk di salah satu ember kosong yang dibalik dan dijadikan tempat duduk, dan menikmati angin sore yang menerpa wajahnya seraya memejamkan mata.“Clara .... “ Ia membuka matanya saat telinganya mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Namun itu lebih terdengar seperti bisikan. Ia menoleh ke sekeliling.“Siapa?” tanyanya ketus. Hening. Tak ada jawaban. Clara yang kesal pun berdiri dan berniat mendekati sumber suara. Namun, baru beberapa langkah, ember yang sebelumnya ia duduki tiba-tiba saja terpental.“Bangsat!” umpatnya saat ember tersebut membentur dinding pembatas tempat jemuran. Ia kembali memperhatikan sekeliling dengan saksama. Tidak ada siapapun di sini se

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Masih Dengan Perasaan Tidak Bersalah

    “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un ... telah berpulang ke rahmatullah, saudari kita tercinta, Halimah As-Sa’diyah binti Ahmad Muzakki. Sekali lagi, innalillahi wa inna ilaihi raji’un .... “ Suara pengumuman menggema di seantero pesantren. Isak tangis terdengar dari beberapa santriwati yang merupakan teman terdekat Halimah, saat keranda yang membawa jasad Halimah diletakkan di bagian depan di dalam masjid. Terlihat pula rombongan santriwan, dipimpin oleh Alvin, berjalan memasuki masjid. Di hari yang sama, tepat pada malam harinya, salat jenazah akan dilakukan. Para santri sudah berkumpul, dan saf telah disusun. Tidak ada seorang pun yang terlihat bercanda, atau sekadar mengobrol dengan teman di sebelah. Clara sendiri ikut diam, namun bukan karena ia tengah bersedih atau menyesali perbuatannya. Melainkan karena ia masih harus memainkan perannya sebagai gadis yang tidak tahu apa pun. Usai salat jenazah dilakukan, beberapa santriwan dan ustaz, termasuk Alvin, turut mengangkat keranda

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Malaikat Yang Menyerah

    "Puas kamu bikin malu Umi dan Abi?"Teriakan Nyai terdengar oleh beberapa santri yang memang sedang mengaji di rumah Halimah. Mereka terdiam dan hanya bisa saling tatap. Halimah sendiri memeluk lengan ibunya. Wajahnya sudah basah oleh air mata."Umi ... tolong jangan lapor Abi. Aku mohon .... " Ia terus mengiba, namun Nyai tak peduli."Biarin aja! Biar Abi tau kalau kamu hamil akibat perbuatan kamu itu!" hardik Nyai. Tentunya suara Nyai yang keras terdengar pula oleh para santri. Mereka menutup mulut, dan mengucap istigfar dengan suara lirih. Tepat di saat itu pula, Kiai Ahmad datang. Nyai langsung menarik tangan suaminya. Halimah sendiri ditinggalkan di tempatnya berdiri, sementara beberapa santriwati yang ada tampak berbisik dengan orang di sebelah mereka."Aku nggak nyangka! Halimah hamil? Terus itu anak siapa, dong?""Ya jelas anak dari cowok yang dia temuin malam itu, lah. Anak siapa lagi?" Mereka semua tertawa, bahkan tak takut untuk membicarakan Halimah tepat di depannya. Bagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status