 LOGIN
LOGIN"Ah, yang ini aku taruh di sini .... "
Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya. “Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas. “Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia hanya duduk, mengecek kitab-kitab milik santri lain, atau sekedar menggambar sesuatu di papan tulis, sebelum ia menghapusnya lagi. Sementara itu, Halimah yang siang itu bertugas mengecek daftar para santri yang salat berjemaah, menyadari ada yang tidak beres. Ke mana Clara? Kenapa dia tidak ikut salat? Apa mungkin dia sedang datang bulan? Halimah berpikir sejenak. Mungkin sebaiknya ia menanyakan hal ini pada Clara, sekaligus menjelaskan peraturan pesantren ini. Ia segera meminta salah satu temannya menggantikan tugasnya, sementara ia sendiri keluar dari masjid untuk mencari Clara. *** “Di sini kamu rupanya.” Clara yang sedang membaca salah satu kitab di kelas itu langsung menoleh. Ia memperhatikan Halimah yang berjalan mendekatinya. “Iya. Kenapa?” tanyanya dengan ketus. Sepertinya ia masih menyimpan kekesalan akibat perbuatan Halimah yang menegurnya saat ia baru datang. Halimah menyadari itu, dan tersenyum. “Maaf kalau ucapanku tadi pagi bikin kamu marah.” Ia maju selangkah. Clara sendiri tetap berada di tempatnya. “Oh, iya. Kalau boleh tahu, kamu sedang halangan?” Clara mengangkat sebelah alisnya. Sepertinya ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Ia mengangkat bahu, tersenyum miring, dan menggeleng. “Nggak. Gue emang males aja salat berjemaah. Kenapa? Mau marah? Silakan.” Ia merentangkan tangannya, menunjukkan sikap menantang. Kalau saja Halimah tidak ingat Clara merupakan santri baru, ia mungkin sudah akan menghukumnya. Ia menarik napas, beristigfar dalam hati. “Aku nggak marah,” ucapnya lembut, “aku ngerti, kamu anak baru. Masih dalam proses adaptasi. Jadi, untuk saat ini nggak ada hukuman.” Ia berjalan mendekati sebuah kursi, duduk di atasnya, dan memberi Clara isyarat untuk ikut duduk di sebelahnya. Clara yang masih waspada, memperhatikannya dengan saksama, mencoba menebak apa yang sedang direncanakan Halimah padanya. Entahlah, sepertinya insiden tadi pagi membuat alam bawah sadarnya menandai Halimah sebagai ancamannya di pesantren ini. “Aku yakin kamu tau, di lingkungan mana pun selalu ada yang namanya aturan, baik aturan tertulis, ataupun tak tertulis.” Halimah memulai pembicaraan lagi. “Termasuk di pesantren ini. Ada beberapa aturan. Aku cuma bakal jelasin yang tertulis. Kalau aturan tak tertulis, aku rasa lebih baik kamu tau sendiri setelah beberapa lama di sini.” “Dan apa menurut lo, gue bakal taat?” Clara tertawa sinis. Halimah kembali menghela napas. “Kalau seseorang melanggar, pastinya ada hukumannya, kan? Aku yakin kamu orang yang bijak, Clara.” Clara menggeser kursi yang ia duduki agar lebih dekat dengan kursi yang diduduki Halimah. Ia memperhatikan Halimah cukup lama, sebelum menggeleng geli dan tersenyum miring. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi sepertinya Clara tertarik mendengarkan dan mengetahui aturan-aturan apa saja yang ada di pesantren ini. Ia mengangguk pelan, memberi Halimah isyarat untuk melanjutkan. Halimah tersenyum lega melihatnya. “Oke. Jadi, di pesantren ini, salat lima waktu berjemaah itu wajib. Bagi yang tidak memiliki uzur atau sengaja melewatkan salat berjemaah akan mendapatkan hukuman. Selain itu, wajib menggunakan bahasa yang sopan selama berada di lingkungan pesantren. Mengumpat atau berkata kasar termasuk pelanggaran sedang dan bisa dihukum juga tentunya. Pelanggaran berat sendiri ialah berkelahi, membawa ponsel, berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada keperluan, dan kabur dari pesantren. Apa sejauh ini bisa dimengerti?” tanya Halimah. Cukup lama Clara terdiam. Sepertinya ia tengah mempertimbangkan semua aturan tersebut. “Itu aja? Soal outfit? Terus kalau gue mau keluar dari pesantren sejenak buat refreshing?” tanyanya. “Soal pakaian, di sini kamu boleh pakai rok dan kemeja, ataupun gamis. Celana panjang hanya boleh dipakai saat berolahraga. Terus, kalau kamu ada keperluan, kamu boleh keluar tiap hari Jumat, dari jam 11 siang sampai jam 1 siang. Tapi kamu harus izin dulu ke bagian keamanan. Kebetulan, aku termasuk bagian keamanan di pesantren ini.” Halimah kembali menjelaskan. “Oh, dan satu lagi, Clara, ‘gue-lo’ itu dilarang keras di sini. Mungkin kamu bisa belajar pakai ‘aku-kamu’, atau ‘ana-antum’, terserah. Asalkan bukan yang dilarang tadi. Bahasa daerah yang bermakna kasar juga dilarang,” jelasnya menambahkan. Clara menatapnya tak percaya. "Yang benar aja ...! " ***
“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se
“Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter
"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim
“Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu
"Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.
"Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia








