 LOGIN
LOGIN
"Papa udah gila!”
Teriakan itu membuat beberapa santriwati yang baru saja menyelesaikan salat Subuh berjemaah, menengok ke arah sumber suara. Tampak seorang gadis yang mengenakan gamis biru tua dan kerudung yang dikenakan secara asal-asalan. Di depan sang gadis, tampak sepasang suami istri yang sepertinya merupakan orangtua dari gadis tersebut. “Clara,” ucap sang pria yang sepertinya merupakan ayah sang gadis. “Ini untuk kebaikan kamu.” “Kebaikan? Kebaikan apanya? Papa mau masukin aku ke sini supaya nggak ada beban lagi di rumah, kan? Supaya nggak ada lagi anak gadis yang kerjanya cuma bisa rebahan aja. Iya? Papa emang udah gila!” Ucapan sang gadis tentu saja membuat beberapa santriwati yang menonton beristigfar. Keributan kecil itu semakin menarik atensi, hingga seorang pria paruh baya yang mengenakan gamis putih dan serban mendekat. Terlihat beberapa santriwati memberi jalan untuk pria paruh baya yang sepertinya merupakan pemilik pesantren ini. “Assalamu’alaikum,” ucapnya dengan suara pelan. Baik Clara maupun kedua orangtuanya terdiam sejenak. “Wa’alaikumsalam, Kiai Ahmad.” Ayah Clara tersenyum, menjabat tangan pria paruh baya tersebut dengan hormat. Kiai Ahmad ikut tersenyum, dan memperhatikan Clara. “Jadi, ini putri Pak Hakim yang akan menjadi santriwati di sini?” “Benar, Kiai.” Ayah Clara mengangguk. Clara sendiri hanya memutar bola mata. Percuma juga ia menyangkal, nasibnya sudah ditentukan. Setelah percakapan singkat, Kiai Ahmad akhirnya meminta beberapa santriwati untuk membantu membawakan barang-barang Clara. Clara sendiri hanya berpamitan dengan ibunya. Wanita paruh baya itu beberapa kali mengusap air matanya, sebelum memeluk putri semata wayangnya. Namun saat sang ayah akan memeluknya, Clara justru menolak. “Bajingan!” umpatnya. “Astagfirullah ... jaga ucapanmu, Mbak! Beliau itu ayahmu!” tegur salah seorang santriwati. Clara melirik, menatap sinis. Eh, lo nggak diajak, ya! Mendingan lo diam!” bentaknya. Santriwati itu tampak akan membalas ucapan Clara, kalau saja Kiai Ahmad tidak segera menengahi keduanya. Ia mengusap bahu santriwati itu, menenangkannya. Ayah Clara sendiri juga tampak menenangkan putrinya, meskipun Clara langsung menepis dengan kasar. “Nak Clara, ini putri saya, Halimah. Dia memang cukup blak-blakan. Mohon dimaklumi, ya?” Kiai Ahmad tersenyum sopan dan mengangguk sedikit. Halimah sebenarnya ingin protes. Ia tidak terima melihat ayahnya sampai harus meminta maaf pada gadis yang menurutnya tidak tahu adab. Namun melihat isyarat yang diberikan sang ayah, akhirnya ia hanya diam. Beberapa santriwati mulai mendekat, membawa barang-barang Clara. Orangtua Clara sendiri sudah masuk ke mobil, bersiap untuk pergi. Clara masih berdiri di tempatnya, mengamati bangunan pesantren yang tampak sederhana. Ia menghela napas, sebelum akhirnya berjalan mengikuti para santriwati yang membawa barang-barangnya. *** “Jadi, santriwati baru itu putrinya Firman Hakim, walikota Bandung saat ini? Keren, dong. Pesantren ini akhirnya punya murid anak pejabat.” Alvin terkekeh sambil membantu Kiai Ahmad dan Halimah membereskan dokumen para santri di ruang tata usaha. “Keren dari mana? Anaknya nggak sopan. Sama ayahnya sendiri dia berani mengumpat.” Halimah menggerutu. Kiai Ahmad hanya menggeleng seraya menghela napas. “Clara itu santri baru, Halimah. Dia masih terbawa pergaulan kota. Kamu yang seharusnya lebih sabar saat menghadapinya. Ingat, Rasulullah sendiri berlaku lemah lembut terhadap para mualaf.” Kiai Ahmad menyusun dokumen di lemari arsip, dan Alvin berinisiatif membantu menyusun di lemari yang lebih tinggi. “Posisi Clara di pesantren ini sama halnya seperti mualaf. Perbuatannya yang mengumpat pada ayahnya memang tidak benar, tapi menegurnya dengan keras juga bukan tindakan yang tepat, Halimah.” Mendengar ucapan sang ayah, Halimah terdiam. “Maaf, Abi ..., ” lirihnya, “aku terlalu emosi. Baru kali ini aku melihat anak yang berani sama orangtuanya seperti Clara .... ” Ia mengembuskan napas, melirik ke luar melalui jendela kaca transparan. Kiai Ahmad dan Alvin juga ikut menatap ke luar. Dari ruang tata usaha, ia bisa melihat para santriwati yang berjalan menuju kelas. Ada Clara di sana, dan gadis itu melirik ke ruang tata usaha. Selama sepersekian detik, ia beradu tatap dengan Alvin, Halimah, dan Kiai Ahmad,sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangan, dan terus berjalan menuju kelas. Sementara itu, dari balik jendela, Alvin tersenyum. “Jadi itu yang namanya Clara?” gumamnya. Kiai Ahmad dan Halimah melirik. Menyadari bahwa ia bergumam terlalu keras, Alvin buru-buru meralatnya. Ia menggeleng, memasukkan dokumen di tangannya ke dalam lemari. “Saya hanya penasaran. Sungguh.” Ia kembali mengambil setumpuk dokumen yang telah disusun di atas meja, memasukkannya ke dalam lemari arsip, dan menguncinya. Setelah memastikan semua dokumen telah tersusun rapi di lemari arsip, Halimah keluar lebih dulu, dan segera pergi ke kelasnya. Alvin keluar paling akhir, karena ia yang bertugas mengunci ruang tata usaha. Sebelum ia kembali ke gedung asrama putra, ia sempat melirik ke arah ruang kelas yang Clara masuki sebelumnya. Cukup lama ia menatap ke arah yang sama, sebelum akhirnya ia tersadar dan pergi. "Clara, ya? Menarik. Aku penasaran, akan seperti apa dia beradaptasi di lingkungan pesantren ini ..., " gumam Alvin seraya berjalan kembali ke tempatnya. ***
“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se
“Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter
"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim
“Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu
"Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.
"Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia








