Home / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 1. Nama Yang Sama

Share

Kutunggu Jandamu
Kutunggu Jandamu
Author: PopuJia

Bab. 1. Nama Yang Sama

Author: PopuJia
last update Last Updated: 2022-10-08 03:32:52

"Maaf, Dok, panggilan darurat, ada pasien kecelakaan, harus segera dioperasi!" seru Dokter Andi, residen yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun terakhir, di rumah sakit terbesar di Makassar.

"Ya, persiapkan semuanya, aku menuju ke sana." Aku segera menutup sambungan telepon, lalu bersegera ke tempat tujuan. Padahal, rencananya ingin istirahat sebentar, mengingat jadwal operasi untuk nanti malam sudah menanti.

Aku sangat lelah, sejak subuh hingga jam dua siang, pasien sedang antri untuk masuk di ruang operasi. Tapi, apa daya, keselamatan pasien di atas segalanya, menunda istirahat untuk saat ini adalah pilihan yang tepat.

Kulajukan mobil dengan kecepatan di atas standar, sungguh beruntung kondisi jalan kota Makassar sedikit lengang setelah diguyur hujan deras, tidak ada drama macet di jalan selama berjam-jam, hingga akhirnya bisa tiba di tujuan hanya hitungan menit saja.

Dengan langkah cepat kususuri koridor rumah sakit, lalu menuju kamar operasi. Tiga dokter spesialis lainnya sudah hadir, dan nampak di atas bed laki-laki bersimbah darah hampir di seluruh area kepala, dan juga badannya. Ia terbujur tak berdaya. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali, dilumuri darah segar. Innalillahi.

"Cek saturasi, denyut nadi, irama jantung!" seruku cepat.

Aku yang berprofesi sebagai dokter spesialis anestesi harus benar-benar jeli melihat kondisi pasien, sebelum dokter spesialis lainnya memulai tindakan operasi apalagi untuk kasus darurat seperti sekarang, mendadak dan mendesak. Nyawa sudah diambang pintu. Aku dan tim akan memaksimalkan usaha sampai di titik 'takdir berkata lain'

Selama enam jam, tindakan operasi berhasil dilalui, aku mengusap wajah lega, dan tak henti memuji Tuhan, nyawa pasien berhasil diselamatkan. Inilah momen yang paling menggembirakan bagi kami paramedis, membantu pasien melewati masa kritisnya.

Seperti biasa, aku memeriksa data pasien, juga data keluarganya. Jika kasus kecelakaan, kuperiksa setelah tindakan selesai. Gawat darurat, harus disegerakan dibanding membaca biodata pasien.

"Siapa yang mengantar pasien ini ke rumah sakit?" tanyaku kepada perawat setelah keluar dari kamar operasi.

"Tadi pihak kepolisian yang mengantarnya, Dok."

"Keluarganya? Ada?"

"Sudah menunggu di depan, sesaat setelah pasien datang, istri bapak itu juga datang, dan langsung mengurus administrasi."

"Coba, aku liat berkasnya."

"Ini, Dok." Perawat menyerahkan lembaran kertas yang dijepit dalam map warna kuning

Aku memeriksa identitas pasien dengan saksama, juga keluarga yang menandatangani persetujuan operasi dilakukan.

Aku tercengang, setelah membaca nama wanita yang berstatus istri dari bapak itu. Bulan Berlian namanya. Kuulangi sekali lagi dengan mengeja pelan. 'Bu-lan Ber-lian.' Nama itu sangat mirip dengan nama wanitaku, yang telah membuat aku jatuh cinta untuk pertama kali dan memutuskan memilih hidup menyendiri hingga kini.

Tapi, soal nama, bisa saja sama. Begitu halnya dengan namaku, Hasyim. Mungkin ada ribuan atau jutaan lelaki di jagad ini yang memakai nama Hasyim, bisa jadi, kan. Bulan Berlian pun begitu adanya. Siapa tahu mereka adalah orang yang berbeda, hanya perkara kebetulan namanya seratus persen sama.

Aku terus membatin, menduga-duga, antara ya atau tidak, apakah dia wanitaku atau bukan.

"Kenapa, Dok?" tanya perawat membuyarkan lamunanku.

"Oh, tidak ada apa-apa."

"Atau aku yang bacakan, Dok. Sepertinya Pak dokter susah fokus." Perawat di sebelahku mengambil lembaran kertas itu sembari cekikikan.

"Pasien atas nama Ichwan Noor, usia 45 tahun, pekerjaan PNS, alamat Pulau Tanakeke. Keluarga yang bertanda tangan atas nama Bulan Berlian Makkatutu."

Aku langsung terbatuk, mendengar nama bapaknya di belakang nama Bulan Berlian disebut, dugaanku tiba-tiba membulat yakin, kalau dia, wanita yang sudah bertahun-tahun kucari. Hanya dia yang memiliki nama Bulan Berlian Makkatutu. Ya, hanya dia saja.

Irama jantungku tiba-tiba berubah menjadi tak normal, lebih ramai dari biasanya. Rasa aneh yang sampai hari ini sulit dijabarkan dan tak pernah luntur walau tahun sudah berganti.

Pesona yang dia miliki memang kuat seperti magnet, walau hanya mendengar namanya saja, aku sudah ketar-ketir dibuatnya, semakin lama bukannya melupa justru ia bertambah kuat dalam ingatan.

"Ehm, cukup. Aku mau istirahat di ruangan." Aku langsung pamit meninggalkan rekan kerjaku itu.

Kuhempaskan badan di atas kursi lalu menggoyang-goyangkannya ke kiri dan kanan, berusaha mengatur debaran dada. Aku mengusap rambut, lalu tertunduk, kemudian mengangkat wajah lagi.

Ini maknanya apa? Aku tak tahu. Dia sudah jadi istri orang, rasanya kurang pantas jika memupuk rasa yang masih sama seperti dulu, saat aku dan dia masih berstatus pelajar putih abu-abu.

Dosa wahai Pak Dokter! Naluri manusiaku berkata lantang. Menantang rasa yang jelas-jelas salah tempat. Dia istri orang. Haram. Titik!

Kubuang napas dengan berat, segelas air putih hangat menjadi andalanku di saat pikiran lagi kalut begini. Iya, jika soal pekerjaan, air minum dapat menjadi penyejuk pikiran. Lah, ini soal asmara. Air hangat satu tangki pun rasanya hanya sia-sia saja.

Seketika ide terlintas, mungkin sebaiknya aku melihat dia dari kejauhan. Kata perawat tadi, dia sedang menunggu di luar, ada baiknya aku cek, sebelum suaminya dipindahkan ke kamar perawatan, pasti akan sulit bagiku untuk melihatnya lagi.

Kupasang masker, kacamata, dan jas agar dia tak mengenaliku, atau mungkin ia benar-benar tak mengingatku lagi. Aku berjalan dengan gaya biasa, sealami mungkin dengan menyembunyikan rasa grogi hebat ke tempat yang dimaksud oleh perawat tadi. Jarak yang semakin dekat dan tatapanku tak lepas pada sederet orang yang duduk di kursi itu.

Ada beberapa perempuan yang duduk di sana dengan masker yang terpasang di wajah, kecuali satu orang. Bukan memakai masker tapi lebih tepatnya penutup wajah seperti cadar. Sangat sulit mengenali wajah mereka.

Aku melambatkan langkah sembari terus memerhatikan dengan curi-curi pandang. Ini adalah aksi konyol pertama yang aku lakukan sejak menjadi dokter. Siapa lagi yang membuatku seperti ini jika bukan Bulan Berlian. Ia memang wanita spesial.

Sontak seorang perempuan menoleh ke arahku, ia langsung berdiri dan berjalan mendekat. Wanita berjilbab panjang dengan kain yang menutup wajahnya.

Mungkin ia sudah gelisah menunggu info, sehingga ketika melihat dokter dari jarak dekat, tak disia-siakannya untuk bertanya.

"Maaf, Dok. Mau nanya, pasien atas nama pak Ichwan Noor, kapan dipindahkan ke ruang perawatan?" tanya wanita itu dengan nada khawatir. Aku tak lantas menjawab. Terdiam sekian detik, suaranya masih kuingat dengan jelas, cempreng seperti piring pecah. Persis. Aku yakin belum pikun.

"Insya Allah sebentar lagi. Maaf, Ibu ini keluarga pasien?" tanyaku penasaran

"Iya. Aku istrinya, Dok," jawabnya spontan.

Dan aku diam berdiri tanpa kata. Mulutku seolah tergembok dengan rantai besi berlapis-lapis. Hatiku jangan ditanya. Seperti kerikil yang dilempar ke tengah lautan. Tenggelam, dan tak akan pernah ditemukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status