Share

Kutunggu Jandamu
Kutunggu Jandamu
Author: PopuJia

Bab. 1. Nama Yang Sama

"Maaf, Dok, panggilan darurat, ada pasien kecelakaan, harus segera dioperasi!" seru Dokter Andi, residen yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun terakhir, di rumah sakit terbesar di Makassar.

"Ya, persiapkan semuanya, aku menuju ke sana." Aku segera menutup sambungan telepon, lalu bersegera ke tempat tujuan. Padahal, rencananya ingin istirahat sebentar, mengingat jadwal operasi untuk nanti malam sudah menanti.

Aku sangat lelah, sejak subuh hingga jam dua siang, pasien sedang antri untuk masuk di ruang operasi. Tapi, apa daya, keselamatan pasien di atas segalanya, menunda istirahat untuk saat ini adalah pilihan yang tepat.

Kulajukan mobil dengan kecepatan di atas standar, sungguh beruntung kondisi jalan kota Makassar sedikit lengang setelah diguyur hujan deras, tidak ada drama macet di jalan selama berjam-jam, hingga akhirnya bisa tiba di tujuan hanya hitungan menit saja.

Dengan langkah cepat kususuri koridor rumah sakit, lalu menuju kamar operasi. Tiga dokter spesialis lainnya sudah hadir, dan nampak di atas bed laki-laki bersimbah darah hampir di seluruh area kepala, dan juga badannya. Ia terbujur tak berdaya. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali, dilumuri darah segar. Innalillahi.

"Cek saturasi, denyut nadi, irama jantung!" seruku cepat.

Aku yang berprofesi sebagai dokter spesialis anestesi harus benar-benar jeli melihat kondisi pasien, sebelum dokter spesialis lainnya memulai tindakan operasi apalagi untuk kasus darurat seperti sekarang, mendadak dan mendesak. Nyawa sudah diambang pintu. Aku dan tim akan memaksimalkan usaha sampai di titik 'takdir berkata lain'

Selama enam jam, tindakan operasi berhasil dilalui, aku mengusap wajah lega, dan tak henti memuji Tuhan, nyawa pasien berhasil diselamatkan. Inilah momen yang paling menggembirakan bagi kami paramedis, membantu pasien melewati masa kritisnya.

Seperti biasa, aku memeriksa data pasien, juga data keluarganya. Jika kasus kecelakaan, kuperiksa setelah tindakan selesai. Gawat darurat, harus disegerakan dibanding membaca biodata pasien.

"Siapa yang mengantar pasien ini ke rumah sakit?" tanyaku kepada perawat setelah keluar dari kamar operasi.

"Tadi pihak kepolisian yang mengantarnya, Dok."

"Keluarganya? Ada?"

"Sudah menunggu di depan, sesaat setelah pasien datang, istri bapak itu juga datang, dan langsung mengurus administrasi."

"Coba, aku liat berkasnya."

"Ini, Dok." Perawat menyerahkan lembaran kertas yang dijepit dalam map warna kuning

Aku memeriksa identitas pasien dengan saksama, juga keluarga yang menandatangani persetujuan operasi dilakukan.

Aku tercengang, setelah membaca nama wanita yang berstatus istri dari bapak itu. Bulan Berlian namanya. Kuulangi sekali lagi dengan mengeja pelan. 'Bu-lan Ber-lian.' Nama itu sangat mirip dengan nama wanitaku, yang telah membuat aku jatuh cinta untuk pertama kali dan memutuskan memilih hidup menyendiri hingga kini.

Tapi, soal nama, bisa saja sama. Begitu halnya dengan namaku, Hasyim. Mungkin ada ribuan atau jutaan lelaki di jagad ini yang memakai nama Hasyim, bisa jadi, kan. Bulan Berlian pun begitu adanya. Siapa tahu mereka adalah orang yang berbeda, hanya perkara kebetulan namanya seratus persen sama.

Aku terus membatin, menduga-duga, antara ya atau tidak, apakah dia wanitaku atau bukan.

"Kenapa, Dok?" tanya perawat membuyarkan lamunanku.

"Oh, tidak ada apa-apa."

"Atau aku yang bacakan, Dok. Sepertinya Pak dokter susah fokus." Perawat di sebelahku mengambil lembaran kertas itu sembari cekikikan.

"Pasien atas nama Ichwan Noor, usia 45 tahun, pekerjaan PNS, alamat Pulau Tanakeke. Keluarga yang bertanda tangan atas nama Bulan Berlian Makkatutu."

Aku langsung terbatuk, mendengar nama bapaknya di belakang nama Bulan Berlian disebut, dugaanku tiba-tiba membulat yakin, kalau dia, wanita yang sudah bertahun-tahun kucari. Hanya dia yang memiliki nama Bulan Berlian Makkatutu. Ya, hanya dia saja.

Irama jantungku tiba-tiba berubah menjadi tak normal, lebih ramai dari biasanya. Rasa aneh yang sampai hari ini sulit dijabarkan dan tak pernah luntur walau tahun sudah berganti.

Pesona yang dia miliki memang kuat seperti magnet, walau hanya mendengar namanya saja, aku sudah ketar-ketir dibuatnya, semakin lama bukannya melupa justru ia bertambah kuat dalam ingatan.

"Ehm, cukup. Aku mau istirahat di ruangan." Aku langsung pamit meninggalkan rekan kerjaku itu.

Kuhempaskan badan di atas kursi lalu menggoyang-goyangkannya ke kiri dan kanan, berusaha mengatur debaran dada. Aku mengusap rambut, lalu tertunduk, kemudian mengangkat wajah lagi.

Ini maknanya apa? Aku tak tahu. Dia sudah jadi istri orang, rasanya kurang pantas jika memupuk rasa yang masih sama seperti dulu, saat aku dan dia masih berstatus pelajar putih abu-abu.

Dosa wahai Pak Dokter! Naluri manusiaku berkata lantang. Menantang rasa yang jelas-jelas salah tempat. Dia istri orang. Haram. Titik!

Kubuang napas dengan berat, segelas air putih hangat menjadi andalanku di saat pikiran lagi kalut begini. Iya, jika soal pekerjaan, air minum dapat menjadi penyejuk pikiran. Lah, ini soal asmara. Air hangat satu tangki pun rasanya hanya sia-sia saja.

Seketika ide terlintas, mungkin sebaiknya aku melihat dia dari kejauhan. Kata perawat tadi, dia sedang menunggu di luar, ada baiknya aku cek, sebelum suaminya dipindahkan ke kamar perawatan, pasti akan sulit bagiku untuk melihatnya lagi.

Kupasang masker, kacamata, dan jas agar dia tak mengenaliku, atau mungkin ia benar-benar tak mengingatku lagi. Aku berjalan dengan gaya biasa, sealami mungkin dengan menyembunyikan rasa grogi hebat ke tempat yang dimaksud oleh perawat tadi. Jarak yang semakin dekat dan tatapanku tak lepas pada sederet orang yang duduk di kursi itu.

Ada beberapa perempuan yang duduk di sana dengan masker yang terpasang di wajah, kecuali satu orang. Bukan memakai masker tapi lebih tepatnya penutup wajah seperti cadar. Sangat sulit mengenali wajah mereka.

Aku melambatkan langkah sembari terus memerhatikan dengan curi-curi pandang. Ini adalah aksi konyol pertama yang aku lakukan sejak menjadi dokter. Siapa lagi yang membuatku seperti ini jika bukan Bulan Berlian. Ia memang wanita spesial.

Sontak seorang perempuan menoleh ke arahku, ia langsung berdiri dan berjalan mendekat. Wanita berjilbab panjang dengan kain yang menutup wajahnya.

Mungkin ia sudah gelisah menunggu info, sehingga ketika melihat dokter dari jarak dekat, tak disia-siakannya untuk bertanya.

"Maaf, Dok. Mau nanya, pasien atas nama pak Ichwan Noor, kapan dipindahkan ke ruang perawatan?" tanya wanita itu dengan nada khawatir. Aku tak lantas menjawab. Terdiam sekian detik, suaranya masih kuingat dengan jelas, cempreng seperti piring pecah. Persis. Aku yakin belum pikun.

"Insya Allah sebentar lagi. Maaf, Ibu ini keluarga pasien?" tanyaku penasaran

"Iya. Aku istrinya, Dok," jawabnya spontan.

Dan aku diam berdiri tanpa kata. Mulutku seolah tergembok dengan rantai besi berlapis-lapis. Hatiku jangan ditanya. Seperti kerikil yang dilempar ke tengah lautan. Tenggelam, dan tak akan pernah ditemukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status