Home / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 2. Patah Hati Sebelum Memiliki

Share

Bab. 2. Patah Hati Sebelum Memiliki

Author: PopuJia
last update Huling Na-update: 2022-10-08 03:34:38

Wanita itu segera kembali ke kursinya, ia menunduk dalam sembari mengatup kedua telapak tangan dengan erat di atas pangkuan, lalu jemarinya bergerak menyapu kelopak mata yang sudah berair. Bahunya sedikit berguncang. Ia menangis dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Cukup lama aku terdiam, mengamati wanita yang entah benar atau tidak, ia yang selama ini kucari. Wajahnya tertutup rapat oleh kain, jilbabnya menjulur  panjang. Aku tak bisa menerka rupanya, tapi ada sesuatu yang membuatku yakin, jika dia adalah Bulan Berlianku. Rasa yang mendadak aneh setelah mengetahui namanya, ditambah lagi saat mendengar suaranya barusan. 

Bukankah ini ganjil. Merasa gembira sekaligus patah dalam waktu bersamaan. Rasanya campur aduk.

"Dok, ada yang bisa dibantu?" Suster Yani sedikit membuatku terlonjak.

"Ehm, tidak ada. Makasih." Refleks kumenjawab, lalu berlalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangan. Sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi khawatir ada yang curiga. 

Kembali aku terduduk dengan gelisah, kupejamkan mata sejenak, sungguh ini ajaib. Di saat usiaku sudah menyentuh angka empat, doa-doa untuknya selalu kencang kupanjatkan, dan ternyata Allah mengabulkan dalam kondisi seperti sekarang. Dia sudah jadi istri lelaki lain. Rasanya tak bisa dijabarkan. Tak ada yang bisa paham sakitnya kecuali diriku sendiri. Puluhan tahun menyimpan namanya dalam hati, tapi ternyata ... Ah, sudahlah.

Apa aku harus menemuinya dan membuka identitas sebagai Hasyim? Atau … tetap mengamatinya saja? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan diri? Lalu, keadaan menjadi kacau, bukankah itu memalukan?

Beragam tanya berkerumun di kepala, antara ingin menemuinya atau tidak. Antara ingin membuka jati diri atau tidak dengan menimbang berbagai kemungkinan. Ya, mungkin dia lupa denganku, mungkin juga tidak. Aduh, kenapa jadi ribet begini.

Suara ketukan pintu membuatku menoleh sesaat.

"Masuk!" 

"Selamat petang, Dok," sapa Farid, dokter sejawat yang usianya sedikit lebih muda denganku, beda setahun saja.

"Iya, met petang juga," jawabku dengan suara khas kalem, wajah berwibawa kembali kupasang, agar tidak ada yang menerka bahwa aku sedang tersandung kasus … asmara.

"Ini ada undangan buat Dokter Hasyim, Bidan Nurul mau menikah."

"Oowh. Alhamdulillah, syukurlah dia sudah ketemu jodoh."

"Habis, nungguin Dokter Hasyim datang melamar, gak jadi-jadi melulu."

"Lho?"

"Iya, semua orang bilang Dokter Hasyim dan Bidan Nurul pasangan serasi, eh malah si cewek digaet sama orang lain."

"Ah, kalian ada-ada aja, aku dan Nurul cuma berteman, tidak lebih. Sama seperti yang lainnya juga."

"Terus, kapan menyusul?"

Pertanyaan serupa yang terus berulang, baik di tempat kerja atau pun di lingkup keluarga. Menyebalkan.

"Kalau jodohnya sudah ketemu." Jawaban pamungkas terbaik kulontarkan. Habis mau jawab apalagi.

"Gak ada jawaban lain apa?"

"Nunggu bidadari turun dari kayangan dulu. Puas!"

Dokter Farid tergelak puas.

"Mungkin jodohnya belum lahir atau tersesat dulu di hati orang lain." Tawa dokter Farid semakin pecah. Sial! Aku selalu di posisi ini, setiap kali bicara jodoh, bingung mau jawab apa.

"Jangan lama-lama, Dok, biar nanti kalau punya anak, gak disangka sedang  gendong cucu, tuh, rambut sudah mulai ubanan." Lagi, dokter Farid menertawakanku, dan aku reflek meninju bahunya dengan keras.

"Ya, udah. Aku pamit pulang. Masakan istri di rumah sudah tercium aromanya sampai ke sini." Ia tertawa menyeringai seolah mengejek.

"Ok, Dok. Hati-hati di jalan," jawabku sambil menunjuk ke arah pintu.

Dokter Farid meninggalkan ruanganku dengan ekspresi puas menertawakan. Kami sudah berteman cukup lama ketika masih sama-sama di bangku kuliah, jadi cuma dia yang berani bicara blak-blakan pasal jodoh denganku, teman yang lain merasa segan, mungkin mereka khawatir aku akan tersinggung. 

Hanya dua menit berselang, pintu ruanganku kembali terbuka, eh, Dokter Farid lagi.

"Jangan lupa bawa gandengan kalau ke acaranya Bidan Nurul, biar gak disangka jomlo expired!" Wajah penuh candaan itu menengok hanya sebentar lalu kembali menutup pintu.

Aku melempar pulpen ke arahnya tapi terpantul dan mengenai mukaku sendiri sebab pintunya sudah tertutup. Awas kau, Farid!

Sebenarnya apa yang ia bilang tidak ada yang salah, usiaku sudah menyentuh angka empat puluh, jangankan anak, istri pun tak punya. Sungguh mengenaskan.

Karir gemilang, penghasilan lebih dari cukup, punya hunian dan kendaraan yang nyaman, sebenarnya tinggal nunjuk perempuan, pasti banyak yang bersedia dijadikan isteri.

Begitu yang sering dokter Farid ucapkan di saat memanas-manasiku untuk menikah.

Padahal, andaikan temanku itu tahu, bukan tak mau berumah tangga, hanya saja hatiku tidak terbuka untuk perempuan selain Bulan Berlian. 

Andaikan pun temanku itu tahu, seberapa istimewanya Bunga Berlian di hatiku, pasti dia akan turut mendoakan, atau paling tidak menyuruhku untuk bersabar atas rasa yang belum terjawab hingga kini. Tetapi, cerita tentang wanita istimewa itu hanya menjadi rahasiaku. Rahasia antara aku dan Tuhan yang tersimpan rapi di dasar hati. 

Bahkan, si pemilik nama juga tidak pernah tahu, jika Hasyim teman sekelasnya menyimpan rasa yang teramat dalam. Lebih dari sekadar teman ataupun sahabat, dan tak terungkapkan hingga kini.

Aku berkemas pulang, hari ini sungguh berbeda, kepala terasa berat, sepertinya badanku butuh istirahat, ehm, bukan hanya badanku, tetapi pikiranku juga, mengingat jadwal operasi selanjutnya masih ada beberapa jam lagi, dan lanjut lagi sampai dini hari.

Aku meninggalkan ruangan dengan bahasa tubuh seperti hilang gairah, semangat meredup. Aku menelan ludah berkali-kali, pahit sekali rasanya mendapati kenyataan seperti ini.  

Saat langkahku tiba di lobi rumah sakit, kudapati wanita berjilbab panjang itu tengah berdiri, seperti sedang menunggu seseorang dengan gelisah, dan sesekali pandangannya melihat ke layar ponsel.

Aku pun menghentikan langkah, lalu mengambil posisi berdiri sekitar empat meter darinya. Pura-pura aku memainkan ponsel di tangan untuk mengurangi rasa gugup, hatiku diserang rasa penasaran dan berkecamuk tiada tara, padahal baru se persekian detik aku di sini. 

Setelah memeriksa ponsel, dengan tergesa ia berjalan melewati pintu utama. Aku pun menyusul beberapa langkah di belakangnya, dan mengambil jarak seperti semula, sekitar empat meter di dekat pot bunga besar seukuran gentong air. Aku berdiri mengamati tanpa kedip, siapa gerangan yang ditunggunya?

Lalu, aku terperanjat saat wanita itu menyambut seorang lelaki tua yang baru datang dan memeluknya erat. Sosok yang sangat kuhapal walau sudah bertahun-tahun berlalu, wajahnya tetap sama, hanya fisiknya yang terlihat lebih kurus dan menua. Lelaki yang dengan kehadirannya sekarang membuatku benar-benar yakin, jika wanita itu adalah Bulan Berlianku. Lelaki itu adalah ayahnya, Pak Makkatutu.

Mendadak aku berkeringat dingin, kurasakan bola mataku menghangat dan berair, ada yang terasa perih di dalam sini, mungkin ini yang dimaksud patah hati sebelum memiliki.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status