Share

Bab. 2. Patah Hati Sebelum Memiliki

Wanita itu segera kembali ke kursinya, ia menunduk dalam sembari mengatup kedua telapak tangan dengan erat di atas pangkuan, lalu jemarinya bergerak menyapu kelopak mata yang sudah berair. Bahunya sedikit berguncang. Ia menangis dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Cukup lama aku terdiam, mengamati wanita yang entah benar atau tidak, ia yang selama ini kucari. Wajahnya tertutup rapat oleh kain, jilbabnya menjulur  panjang. Aku tak bisa menerka rupanya, tapi ada sesuatu yang membuatku yakin, jika dia adalah Bulan Berlianku. Rasa yang mendadak aneh setelah mengetahui namanya, ditambah lagi saat mendengar suaranya barusan. 

Bukankah ini ganjil. Merasa gembira sekaligus patah dalam waktu bersamaan. Rasanya campur aduk.

"Dok, ada yang bisa dibantu?" Suster Yani sedikit membuatku terlonjak.

"Ehm, tidak ada. Makasih." Refleks kumenjawab, lalu berlalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangan. Sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi khawatir ada yang curiga. 

Kembali aku terduduk dengan gelisah, kupejamkan mata sejenak, sungguh ini ajaib. Di saat usiaku sudah menyentuh angka empat, doa-doa untuknya selalu kencang kupanjatkan, dan ternyata Allah mengabulkan dalam kondisi seperti sekarang. Dia sudah jadi istri lelaki lain. Rasanya tak bisa dijabarkan. Tak ada yang bisa paham sakitnya kecuali diriku sendiri. Puluhan tahun menyimpan namanya dalam hati, tapi ternyata ... Ah, sudahlah.

Apa aku harus menemuinya dan membuka identitas sebagai Hasyim? Atau … tetap mengamatinya saja? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan diri? Lalu, keadaan menjadi kacau, bukankah itu memalukan?

Beragam tanya berkerumun di kepala, antara ingin menemuinya atau tidak. Antara ingin membuka jati diri atau tidak dengan menimbang berbagai kemungkinan. Ya, mungkin dia lupa denganku, mungkin juga tidak. Aduh, kenapa jadi ribet begini.

Suara ketukan pintu membuatku menoleh sesaat.

"Masuk!" 

"Selamat petang, Dok," sapa Farid, dokter sejawat yang usianya sedikit lebih muda denganku, beda setahun saja.

"Iya, met petang juga," jawabku dengan suara khas kalem, wajah berwibawa kembali kupasang, agar tidak ada yang menerka bahwa aku sedang tersandung kasus … asmara.

"Ini ada undangan buat Dokter Hasyim, Bidan Nurul mau menikah."

"Oowh. Alhamdulillah, syukurlah dia sudah ketemu jodoh."

"Habis, nungguin Dokter Hasyim datang melamar, gak jadi-jadi melulu."

"Lho?"

"Iya, semua orang bilang Dokter Hasyim dan Bidan Nurul pasangan serasi, eh malah si cewek digaet sama orang lain."

"Ah, kalian ada-ada aja, aku dan Nurul cuma berteman, tidak lebih. Sama seperti yang lainnya juga."

"Terus, kapan menyusul?"

Pertanyaan serupa yang terus berulang, baik di tempat kerja atau pun di lingkup keluarga. Menyebalkan.

"Kalau jodohnya sudah ketemu." Jawaban pamungkas terbaik kulontarkan. Habis mau jawab apalagi.

"Gak ada jawaban lain apa?"

"Nunggu bidadari turun dari kayangan dulu. Puas!"

Dokter Farid tergelak puas.

"Mungkin jodohnya belum lahir atau tersesat dulu di hati orang lain." Tawa dokter Farid semakin pecah. Sial! Aku selalu di posisi ini, setiap kali bicara jodoh, bingung mau jawab apa.

"Jangan lama-lama, Dok, biar nanti kalau punya anak, gak disangka sedang  gendong cucu, tuh, rambut sudah mulai ubanan." Lagi, dokter Farid menertawakanku, dan aku reflek meninju bahunya dengan keras.

"Ya, udah. Aku pamit pulang. Masakan istri di rumah sudah tercium aromanya sampai ke sini." Ia tertawa menyeringai seolah mengejek.

"Ok, Dok. Hati-hati di jalan," jawabku sambil menunjuk ke arah pintu.

Dokter Farid meninggalkan ruanganku dengan ekspresi puas menertawakan. Kami sudah berteman cukup lama ketika masih sama-sama di bangku kuliah, jadi cuma dia yang berani bicara blak-blakan pasal jodoh denganku, teman yang lain merasa segan, mungkin mereka khawatir aku akan tersinggung. 

Hanya dua menit berselang, pintu ruanganku kembali terbuka, eh, Dokter Farid lagi.

"Jangan lupa bawa gandengan kalau ke acaranya Bidan Nurul, biar gak disangka jomlo expired!" Wajah penuh candaan itu menengok hanya sebentar lalu kembali menutup pintu.

Aku melempar pulpen ke arahnya tapi terpantul dan mengenai mukaku sendiri sebab pintunya sudah tertutup. Awas kau, Farid!

Sebenarnya apa yang ia bilang tidak ada yang salah, usiaku sudah menyentuh angka empat puluh, jangankan anak, istri pun tak punya. Sungguh mengenaskan.

Karir gemilang, penghasilan lebih dari cukup, punya hunian dan kendaraan yang nyaman, sebenarnya tinggal nunjuk perempuan, pasti banyak yang bersedia dijadikan isteri.

Begitu yang sering dokter Farid ucapkan di saat memanas-manasiku untuk menikah.

Padahal, andaikan temanku itu tahu, bukan tak mau berumah tangga, hanya saja hatiku tidak terbuka untuk perempuan selain Bulan Berlian. 

Andaikan pun temanku itu tahu, seberapa istimewanya Bunga Berlian di hatiku, pasti dia akan turut mendoakan, atau paling tidak menyuruhku untuk bersabar atas rasa yang belum terjawab hingga kini. Tetapi, cerita tentang wanita istimewa itu hanya menjadi rahasiaku. Rahasia antara aku dan Tuhan yang tersimpan rapi di dasar hati. 

Bahkan, si pemilik nama juga tidak pernah tahu, jika Hasyim teman sekelasnya menyimpan rasa yang teramat dalam. Lebih dari sekadar teman ataupun sahabat, dan tak terungkapkan hingga kini.

Aku berkemas pulang, hari ini sungguh berbeda, kepala terasa berat, sepertinya badanku butuh istirahat, ehm, bukan hanya badanku, tetapi pikiranku juga, mengingat jadwal operasi selanjutnya masih ada beberapa jam lagi, dan lanjut lagi sampai dini hari.

Aku meninggalkan ruangan dengan bahasa tubuh seperti hilang gairah, semangat meredup. Aku menelan ludah berkali-kali, pahit sekali rasanya mendapati kenyataan seperti ini.  

Saat langkahku tiba di lobi rumah sakit, kudapati wanita berjilbab panjang itu tengah berdiri, seperti sedang menunggu seseorang dengan gelisah, dan sesekali pandangannya melihat ke layar ponsel.

Aku pun menghentikan langkah, lalu mengambil posisi berdiri sekitar empat meter darinya. Pura-pura aku memainkan ponsel di tangan untuk mengurangi rasa gugup, hatiku diserang rasa penasaran dan berkecamuk tiada tara, padahal baru se persekian detik aku di sini. 

Setelah memeriksa ponsel, dengan tergesa ia berjalan melewati pintu utama. Aku pun menyusul beberapa langkah di belakangnya, dan mengambil jarak seperti semula, sekitar empat meter di dekat pot bunga besar seukuran gentong air. Aku berdiri mengamati tanpa kedip, siapa gerangan yang ditunggunya?

Lalu, aku terperanjat saat wanita itu menyambut seorang lelaki tua yang baru datang dan memeluknya erat. Sosok yang sangat kuhapal walau sudah bertahun-tahun berlalu, wajahnya tetap sama, hanya fisiknya yang terlihat lebih kurus dan menua. Lelaki yang dengan kehadirannya sekarang membuatku benar-benar yakin, jika wanita itu adalah Bulan Berlianku. Lelaki itu adalah ayahnya, Pak Makkatutu.

Mendadak aku berkeringat dingin, kurasakan bola mataku menghangat dan berair, ada yang terasa perih di dalam sini, mungkin ini yang dimaksud patah hati sebelum memiliki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status