Share

Api Abadi

Angin semilir menarikan rambut panjang anak gadis Mak Ram. Sesekali mengganggu lamunan. Ia menyibakkan rambut yang terlepas dari ikatan dan mencoba bergelayutan manja di wajahnya. Ia duduk di teras rumah. Menikmati suasana sore yang indah. Di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Mak Ram terdapat taman bambu yang menyejukkan suasana. Suara kemeratak dari bambu yang saling bergesekan karena angin menarikan batangnya menambah syahdu suasana. Setiap sore, gadis itu menikmati pemberian Tuhan.

            Sesekali gadis itu tersenyum. Mata indah milik Asih menerawang jauh ke awang-awang. Kakinya menari, maju mundur di angkul-angkul kursi panjang. Tangannya meremas-remas rok panjang yang ia kenakan.

            “Nduk, sudah selesai ngepack ledrenya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Asih sedikit kecewa. Ingatan sewaktu ia dan Harun bermain di sebuah tempat buyar seketika.

            “Sampun, Mak.” Ia sedikit melangkah masuk ke dalam rumah. Di lihat emak sedang meneliti hasil kerjanya. Asih tersenyum dan kembali duduk di kursi. Namun, tak senyaman tadi. Angin semilir pun sudah mulai membuyarkan diri. Ia berusaha duduk senyaman mungkin di kursi itu, meski tanpa di temani angin yang berhembus mesra seperti sewaktu tadi.

            “Nduk, besok setorkan ke Pak Kardi yo.” Emak tiba-tiba sudah ngampping di daun pintu. Asih  kaget di buatnya. Ia mengangguk dan di ikuti suara lirih “Enggih, Mak.” Setelah membuang napasnya dengan berat.

            Emak segera berlalu, Asih pun meninggalkan teras. Alam sudah menunjukkan pertanda perubahan waktu. Hari sudah mulai gelap. Ia masuk rumah dan persiapan sembahyang di surau di sebelah rumah. Tempat ibadah yang tidak cukup besar, hanya bisa menampung beberapa jamaah. Tempat itu masih milik keluarga Asih, tepatnya, imam surau itu adalah pamannya. Surau itu pun tidak mewah seperti di kota-kota. Beralaskan kayu yang di jejer rapi sehingga berbentuk lantai. Di surau itulah Asih selalu mempasrahkan hubungannya dengan sang kekasih.

            Jam berlalu dengan cepat. Jam beker di meja sebelah tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun matanya masih saja bersinar terang. Tak seperti biasanya. Di jam-jam seperti sekarang ini sudah mulai terasa berat. Matanya menerawang jauh. Di tatapnya plafon kamar yang juga terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai di penuhi dengan kukus gantung. Ternyata, ingatan Asih belum puas dengan kejadian tadi sore. Mungkin malam ini ia akan membayar tuntas perihal ingatan tersebut. Tanpa sadar, bibir mungilnya kembali tersenyum. Matanya semakin memancarkan kebahagian yang tersembunyi begitu dalam. Ia bangun dari rebahan. Mengambil sesuatu yang ia simpan rapi di bawah kasur. Sebuah foto ketika ia jalan-jalan mengunjungi kawasan wisata Kahyangan Api. Di sana tampak dirinya sedang duduk bersama pemuda tampan di bebatuan. Di belakang mereka ada sebuah candi kecil dengan empat pilar, di depannya ada api yang muncul dari bebatuan yang di batasi lingkaran beton.  Empat bangunan candi kecil itu mengelilingi api tersebut. Berjarak sekitar lima puluh meter dari api, terdapat sumur Blekutuk. Sumur itu berisi air yang tampak mendidik terus menerus dan menimbulkan suara seperti air mendidih. Dari sumur tercium aroma belerang yang sangat kuat. Secara ilmiah api itu dari gas alam yang tersulut api sehingga terus menyala karena di kawasan tersebut mengandung gas dan minyak bumi yang cukup banyak.

            Asih senyam-senyum mengingat bagaimana perjuangan mengambil foto itu. Ia harus dengan berani meminta tolong orang lain untuk mengambilkan fotonya bersama Harun. Klise foto itu juga masih ada. Di simpannya rapi hingga kini.

Seandainya saja ia bisa seperti Sukasrana yang bisa memindahkan taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasegara ke Maespati dalam waktu semalam, Asih ingin memindahkan Kahyangan Api ke pelataran rumahnya, agar bisa mengenang kebersamaannya dengan Harun, sang kekasih, setiap saat.

***

Mata itu tak memancarkan sinar bahagia seperti sediakala. Sinar itu kini redup. Juga dengan senyumnya. Ketika ia ingat bagaimana mitos yang beredar kala itu. Jangan datang ke Kahyangan Api bersama pasangan, nanti bisa putus.

Asih memandang lamat-lamat foto di tangannya. Apakah hubungannya dengan Harun akan kandas di tengah jalan. Kekhawatiran itu sering kali menghantui hari-hari Asih. Seperti malam ini. Jam sudah menunjukkan setengah dua belas malam. Namun mata indah itu masih bersinar terang dan mulutnya tak sekalipun menguap. Ini bahkan bukan malam pertamanya seperti sekarang ini, sudah malam yang entah keberapa kali. Malam seperti ini sering ia alamai semenjak Harun memutuskan pergi ke luar kota.

Ia benar-benar ingin tidur. Ia telah lelah. Melewati hari-hari yang terasa berat dan juga dengan perasaannya yang semakin membuatnya sekarat. Malam, tenangkan aku. Bawa aku kedalam mimpi bersamanya. Tunjukkan padaku meski hanya melalui mimpi, di manakah dia dan apa kabarnya. Asih memejamkan mata. Angin semilir berhembus melalui dinding-dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Seoalah alam menyambut dan akan mengantarkan doanya pada sang pencipta.

Jam beker yang dibeli beberapa tahun lalu membangunkan dari buaian tidurnya. Sudah menunjukkan pukul lima pagi. Hari ini ia libur absen pada Tuhan, jadi bisa menebus tidurnya yang kurang sejak semalam.

Ia bergegas memulai hari seperti hari biasa. Tidak ada waktu untuk bersantai sejenak. Pekerjaan rumah telah menunggunya. Belum lagi ia harus ke stasiun. Harapan akan kepulangan Harun masih tumbuh subur di hatinya. Dan ia selalu membayangkan, jika hari ini Harun akan pulang dan menunggunya di stasiun.

Ia memutar badannya entah sudah berapa kali di depan cermin yang ada di kamar. Sesekali ia melebarkan rok bermotif bunga. Ia senyam-senyum sendiri di depan cermin. Hatinya bergemuruh. Bayangan akan bertemu harun memenuhi otak. Ia berfikir, apa yang akan di ucapkan jika nanti bertemu Harun di stasiun. Wajahnya merah padam. Malu. Membayangkan nanti, meski Harun blum tentu datang seperti hari biasa.

Emak membuka tirai yang warnanya sudah mulai kumal. Ia mendapati anak gadisnya sedang sibuk di depan cermin. Mematut-matut diri. Perasaan getir muncul di hati perempuan yang sudah berusia empat puluh tahun. Yang di tatap tersenyum getir. Ada seribu makna yang tak bisa ia ucapakn. Gadis itu lalu berpamitan. Mencium tangan perempuan yang di panggil emak. Tangan itu tampak mulai keriput. Ingin sekali wanita itu menarik tangan anak gadis itu. Tak memberi ijin kepergiannya.

Matahari sudah mulai meninggi. Tak ada gumpalan awan hitam disana. Namun tak menyurutkan sedikit pun langkah Asih. Ia mengayuh sepeda dengan penuh semangat. Sepanjang jalan ia berdoa, semoga Harun hari ini pulang dan mereka betemu di stasiun. Semakin menggebu doa itu dalam hati ketika ingat penuturan emak semalam. Lupakan Harun, sudah lama ia pergi namun tak juga kembali untuk menepati janjinya, menemuimu.

Begitu jelas tembok pembatas di antara mereka. Namun tak menghentikan Asih untuk tetap setia menunggu kepulangan Harun. Begitu besar perasaan gadis desa itu untuk seorang Harun, pemuda desa yang menggugah cintanya dan berjanji akan datang untuk melamar setelah sukses seperti permintaan Mak Ram, emak Asih.

Sepeda ontel warna biru itu berhenti di bawah pohon rindang depan stasiun tua tengah kota. Hari ini ia tidak akan masuk kesana. Cukup menatap dari jauh. Ia masih ingat betul bagaimana wajah kekasihnya. Terutama tatapan mata yang tajam dan senyuman khas dengan dagu lancipnya.

Suara kendaraan wira-wiri di jalanan. Menyamarkan suara lagu Pinarak Bojonegoro sebagai lagu pengiring kereta penumpang datang. Namun ia tetap sabar menunggu di sana. Keringat mulai membuat penampilannya awut-awutan. Tak secantik ketika ia masih di kamar. Dan debu-debu jalanan juga sudah mengotori wajah ayunya. Ia menyeka peluh yang menetes di alisnya. Suara samar-samar lagu Bengawan Solo yang di populerkan Mbah Gesang sayu-sayu ia dengar. Ia melirik, mencari asal suara lagu yang menambah buyar lagu khas stasiun ketika ada kereta penumpang datang.

Namun, bukan kecewa atau kemarahan yang akan di berikan untuk tukang becak yang ada di sebelahnya. Justeru ia tesenyum. Ia semakin teringat Harun. Pemuda yang namanya ia simpan rapat di hati, dari sanalah ia tinggal, di bantaran sungai bengawan Solo. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status