Hari demi hari dilalui Asih seperti biasa. Setiap pagi, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendatangi stasiun. Masih dengan penuh harap, Harun kembali untuknya. Orang-orang di sekeliling mulai mengatakan, ia mulai tak waras. Namun, hanya karena mengharapkan kehadiran seseorang yang telah lama pergi padahal ia berjanji akan kembali di katakan tak waras? Rasanya sungguh aneh. Pikirnya.
Gadis itu mengabaikan kasak-kusuk tetangga dan saudaranya. Mengapa ia tak kunjung menikah? Apa yang ia tunggu? Harun yang jelas-jelas tak kunjung pulang atau bahkan sudah mengingkari janjinya. Tapi dengan kesungguhan hati ia percaya bahwa Harun akan menepati janji. Meski entah kapan waktu itu tiba.
“Nduk, ambilkan pisang Raja di rumah Bu Carik, ya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Ia mengangguk lalu beranjak dari duduk. Tak banyak bicara. Namun masih bersikap wajar. Diambil sepeda ontel kesayangan di teras rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Dikayuhnya menuju selatan. Arah ke rumah Bu Carik. Jalanan kesana tidaklah mulus, hanya bebatuan yang ditata rapi oleh pekerja bangunan, tak jarang oleh orang-orang yang bergotong royong. Kesadaran warga dimana Asih tinggal masih terbilang tinggi untuk urusan kerja bakti. Selalu gotong royong dalam urusan perbiakan jalan, atau memindahkan rumah warga. Kekeluargaan yang teramat kental masih terasa di desa yang lumayan jauh dari kota.
“Mau kemana, Nduk?” Perempuan tua yang berjalan dengan bantuan tongkat mengehentikan kayuhan Asih. Ia turun dari sepeda. Rasa hormat terhadap orang yang lebih tua masih tertanam dengan baik pada diri gadis polos itu.
“Mau ke rumahnya Bu Carik, Mbah.” Asih menuntun sepedanya sembari tersenyum dan menjawab tanya.
“Owh ya sudah, hati-hati, batunya lancip-lancip.” Yang biasa di panggil Mbah Djah memberi pesan dan melanjutkan jalannya yang sudah tak secepat dulu.
Gadis itu hanya mengangguk dan menjawab “Iya, Mbah.” Lalu pergi dan menaiki sepeda ontelnya lagi. Perjalanan ke rumah bu Carik tinggal beberapa kayuhan lagi. Sesekali ia menjumpai warga yang hilir mudik. Beberapa orang yang ia temui adalah bapak-bapak dengan cangkul yang menggantung di pundak, pertanda baru pulang dari sawah, atau ibu-ibu yang baru pulang menjajakan dagangannya di pasar.
Rumah yang di tuju tampak di depan mata. Rumah Joglo berpagar biru. Di teras, seorang ibu-ibu yang setengah baya namun masih tetap anggun sedang duduk santai. Wanita itu tersenyum melihat kedatangan gadis yang telah lama ditunggu. Asih menuntun sepeda ontelnya memasuki halaman rumah yang luas.
“Lho kenapa kok di tuntun to, Mbak?” Suara perempuan dengan sanggul besar itu terdengar begitu lembut.
“Ndak papa, Bu.” Asih menjawab dengan logat bahasa jawa kromo yang baik sembari membungkukkan badannya.
“Ayo masuk, Mbak.” Bu Carik mengajak Asih memasuki rumah yang besar miliknya. Asih membungkuk dan mengikuti dari belakang.
Di lepasnya sandal jepit yang di pakai. Tubuh kurus Asih membungkuk hormat. Setapak demi setapak ia melangkah menyusuri lantai kotak-kotak yang licin. Terdengar nyaring benturan sandal selop Bu Carik dengan lantai licin yang di injaknya. Rumah besar itu berdinding kayu jati berwarna coklat tua mengkilap dengan ketebalan kayu sekitar lima sensimeter.
Bu Carik berdiri di dekat pintu. Matanya mengarah pada setundun pisang raja besar-besar. Tehitung sekitar ada lima belas cengkeh. Bu Carik mengambilkan karung untuk memasukkan pisang tersebut. Diangkatnya pisang raja kepunggung gadis desa nan lugu itu. Dengan sedikit terseok, ia membawa keluar dari rumah bu Carik yang terdiri dari beberapa baris. Napasnya ngos-ngosan setelah melewati rumah tengah dan rumah depan yang tebilang besar-besar.
Di letakkan pisang itu di bagian jok belakang sepeda ontelnya. Setelah mengucapkan maturnuwun, ia kembali menuntun sepeda dan keluar dari rumah pagar biru dan baru mulai mengayuh sepeda. Sepanjang jalan yang berbatu kerikil, ia mengayuh sepeda dengan senyum mengembang. Sesekali menyambut sapaan orang yang bertemu dengannya. Juga membayangkan sesuatu yang dianggap indah. Salah satunya adalah bayangan kehidupan yang akan datang bersama Harun.
Rumah dari anyaman bambu tempat di mana Asih dan emaknya tinggal tampak di depan mata. Gadis desa nan lugu dengan napas terengah-engah segera membelokkan sepedanya menuju halaman rumah yang tak begitu luas. Di sana, emak sudah menunggu di teras. Terpampang jelas dari raut wajahnya, emak sudah menunggu lama.
“Kok lama banget to, cah ayu?” Emak membantu menurunkan pisang dari jok belakang sepeda.
“Tadi di ajak ngobrol dulu, Mak, sama bu Carik. Asih mau buru-buru ya ndak enak to, Mak.” Gadis desa itu menjelaskan dengan sebenarnya. Ia memang tak pernah di latih untuk berbohong kepada siapapun, apalagi dengan emaknya sendiri. Itu terbukti dari beberapa kali ia berbohong ketika awal-awal pergi ke stasiun tanpa sepengetahuan wanita yang membesarkan dia seorang diri. Jelas sekali ia tak pandai berbohong. Hari itu, dia mengatakan akan pergi ke kota membeli kebutuhan yang ia butuhkan. Tapi lama tak juga kembali. Ia pulang dengan raut wajah yang tak seperti sedia kala ketika pergi. Tanpa aba-aba emak tahu bahwa anak gadisnya telah berbohong.
***
Emak sibuk dengan segala perlengkapan yang di butuhkan. Mulai dari tepung beras, tepung tapioka, gula, dan santan. Sedangkan bahan utamanya sedang di kupas satu persatu oleh Asih, pisang raja. Asih dan emaknya membuat makanan khas Bojonegoro, Ledre. Dari hasil itulah mereka melanjutkan kehidupan selain bertani di sawah yang tak begitu luas.
Sejak perpisahan orang tuanya, Asih memilih tinggal bersama emaknya di desa yang di juluki Jegonglan Sewu. Berbekal keahliannya membuat Ledre dari Padangan, sewaktu ia masih tinggal sama bapaknya. Dari situlah Ledre dulu berasal. Jajanan yang populer pada tahun 1930’an itu pertama kali sebagai produk industri rumah tangga di wilayah kecamatan Padangan. Berbentuk seperti gulungan surat pada jaman kerajaan dengan ukuran yang lebih kecil. Jajan yang memiliki rasa manis dan aroma khas pisang raja yang menyengat ini lahir di sebuah rumah berplang nama Ny.Seger, tepat berada di depan gereja Padangan. Di daerah Pecinan, di mana dulu mayoritas berpenduduk Tionghoa. Waktu itu pembuatan Ledre menggunakan Gaplek yang sudah di keringkan lalu di campur dengan beras, namun tetap menggunakan pisang raja sebagai bahan utamanya.
“Nduk, ambilkan wajannya.” Asih segera bangkit. Mengambil wajan baja yang tebal sebagai alat pembuatan Ledre. Tak lupa, ia sekalian menenteng arang dalam keresek berwarna hitam.
Asih mendekati emaknya yang menyiapkan bahan sebagai adonan. Di depan emaknya ada da tepung beras, tepung pati atau yang biasa disebut dengan tepung tapioka, gula merah, santan, dan suwiran pisang raja. Sembari mengaduk adonan, wajan baja yang berada di atas tungku yang di bawahnya ada bara api dari arang kini sudah mengeluarkan asap panas, pertanda wajan baja itu telah siap di gunakan. Dengan perlahan, emak menuangkan adonan yang telah ia buat tadi kecuali suwiran pisang ke dalam wajan. Kemudian di elet-elet dan di edre-edre untuk meratakannya. Dari situlah muncul nama, Ledre. Setelah adonan merata dengan sempurna, kemudian di beri suwiran pisang raja yang di ratakan di atas permukaan adonan yang sudah rata di atas wajan. Fungsi dari suwiran pisang raja adalah sebagai pelemas Ledre. Setelah kering, diangkatlah adonan tersebut kemudian di gulung dengan tangan dalam keadaan panas. Hingga berbentuk silindris atau menyerupai surat gulungan jaman kerajaan.
Asih dan emaknya menghabiskan hari-harinya dengan kegiatan tersebut, karena itu adalah mata pencaharian mereka. Asih bertugas menyortir dan mamsukkan ke dalam plastik. Ia pastikan tak ada satupun Ledre yang hancur ketika di packing. Apabila di setorkan ke pengepul Ledre, jika ada yang hancur sudah pasti Ledre itu akan kembali dan tak laku untuk di jual.
Mentari tampak sudah condong di sebelah barat. Pertanda hari sebentar lagi mulai petang. Dan pekerjaannya bergulat di dapur belum juga selesai. Hari ini mereka sengaja membuat banyak, agar mendapat uang yang lebih banyak lagi. Bukan tanpa alasan mereka bekerja sebegitu keras. Tagihan listrik yang sudah memasuki tanggalnya. Dan yang lebih penting adalah persediaan beras yang sudah mulai menipis.
Hari sudah benar-benar gelap. Lampu dengan sinar warna putih menerangi ruangan. Meski tak seterang lampu milik orang-orang. Asih melirik jam yang menempel di dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah menunjukkan sembilan puluh derajat. Asih harus segera menyelesaikan pekerjaanya. Agar besok pagi bisa setor ke pengepul. Sesekali ia menguap. Matanya sudah mulai dirasa berat. Namun, lagi-lagi teringat beras yang sudah menipis mengalahkan kantuk yang menyerangnya. Hanya perasaan hampa yang selama ini belum sanggup ia usir. Kerinduan akan Harun belum terjawab. Meski sudah berusaha sebisa mungkin untuk menepiskan perasaan rindunya. Sedangkan rindu selalu datang tak pernah memberi aba-aba. Sesekali ia hanya tersenyum namun tak jarang tiba-tiba ia menangis. Sebegitu sabar akan sakitnya ia menahan rindu tehadap Harun.
Kang, cepatlah pulang. Aku sudah rindu.
Air mata itu tak terasa menetes. Emaknya hanya bisa terdiam melihat anak gadisnya sebegitu sedih meski tetap bersikap biasanya saja seperti hari-hari biasa.
Mak Ram tidak dapat di katakan sebagai sosok yang menyerupai Dewi Gangga. Perempuan yang begitu tega tehadap anak kandungnya sendiri hingga membunuh anak-anaknya. Di katakan sebagai perempuan yang bertipe kejam, karena dia telah tega membiarkan anak semata wayangnya harus menunggu Harun selama dua tahun dengan mengunjungi stasiun setiap hari. Di katakan penyayang, buktinya dia selama ini mengasuh dan membesarkan Asih sendirian dengan penuh cinta kasih.
Angin semilir menarikan rambut panjang anak gadis Mak Ram. Sesekali mengganggu lamunan. Ia menyibakkan rambut yang terlepas dari ikatan dan mencoba bergelayutan manja di wajahnya. Ia duduk di teras rumah. Menikmati suasana sore yang indah. Di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Mak Ram terdapat taman bambu yang menyejukkan suasana. Suara kemeratak dari bambu yang saling bergesekan karena angin menarikan batangnya menambah syahdu suasana. Setiap sore, gadis itu menikmati pemberian Tuhan. Sesekali gadis itu tersenyum. Mata indah milik Asih menerawang jauh ke awang-awang. Kakinya menari, maju mundur di angkul-angkul kursi panjang. Tangannya meremas-remas rok panjang yang ia kenakan. “Nduk, sudah selesai ngepack ledrenya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Asih sedikit kece
Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil mem
Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.“Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan naman
Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga