Share

Bengawan Solo

Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.

“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.

“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil memetik daun ketela rambat milik tetangga. Rupanya, Harun tahu apa rencana yang akan di masak emaknya. Sayur asem daun ketela dan terong. Terong miliknya yang ia tanam di pekarangan rumah dan daun ketela rambat dari tetangga.

“Run, sarapannya bapakmu jangan lupa dibawa lho.” Suara emak dari seberang jalan tetap terdengar nyaring.

enggeh.” Yang di panggil tak mau kalah meneriakkan suaranya agar sampai di telinga emak yang ada di seberang jalan sana.

“Mak, Harun pamit,” Ia mengambil sepeda yang sudah ia siapkan. Di sana, di jok sepeda bagian belakang ada sekop sebagai alat perang, ada bekal untuk makan siang dan sarapannya bapak. Setelah mendapat jawaban dari wanita yang kini masih asyik ngerumpi di belakang rumah pemilik daun ketela rambat yang tadi di minta, Harun mulai mendorong dan mengayuh sepedanya. Dengan sejuta doa dan harapan, ia menuju tempat dimana akan membanting tulang. Sekeras mungkin ia banting tulangnya agar segera memenuhi keinginan calon emak mertua, Mak Ram. Menjadi orang sukses supaya bisa membahagiakan Asih, sang kekasih. Namun, jika teringat pekerjaannya sekarang, begitu menciut harapan Harun untuk meminang sang gadis pujaan. Penolakan hari lalu masih teringat jelas di kepalanya. Seolah baru saja ia terima. Masih teramat jelas bagaimana ucapan Mak Ram disertai sorotan matanya yang melotot tajam.

Suara berisik diesel bersaut-sautan. Tampak berjajar beberapa diesel di setiap petak tanah. Penambangan pasir illegal. Disanalah Harun akan mengais rupiah ketika tak ada kerjaan sebagai kuli bangunan.  Di tepiskan tatapan mata yang memandangnya dari penumpang perahu yang hilir mudik menyeberangkan penumpang. Entah apa yang mereka pikirkan. Harun tak pernah memikirkan sekalipun. Tak peduli pikiran pujian ataukan hinaan tehadapnya. Yang ia pikirkan hanya satu, tetap bertahan hidup agar tidak membebani orang tua terus-menerus dan menabung untuk segera menghalalkan sang kekasih.

“Pak, sarapan dulu.” Ia mengacungkan sebungkus sarapan yang ia bawa dari rumah. Yang di panggil mendekat. Meninggalkan pekerjan untuk sementara. Di letakkan sekop di bawah pohon besar di tepi bengawan. Lalu duduk di sampingnya. Mengisi perut yang sedari tadi menyanyikan lagu keroncongan.

Harun melangkah meninggalkan bapaknya yang sedang menyantap makanan yang ia bawa. Ia mengambil alih pekerjaan bapaknya yang sempat tetunda. Suara diesel bersaut-sautan semakin jelas terdengar. Berisik. Begitulah kesannnya. Namun tidak bagi pemuda desa yang bertubuh tinggi dengan kulit hitam yang sudah terbiasa di setiap harinya.

***

Beberapa perempuan berparas ayu tampak sedang berbincang bersama temannya. Sesekali mereka tertawa bersama. Salah satu dari mereka tampak sering mencuri pandang pada pemuda yang tengah membanting tulang bersama bapaknya. Wajah tampan Harun memang tidak berkurang sedikitpun meski kulitnya hitam lebam.

Harun bersama bapaknya tengah sibuk menggali pasir. Menampakkan punggungnya yang hitam dan mengkilap karena keringat. Kepalanya di ikat oleh kaos yang ia lepaskan. Keringat membasahi dimana-mana.

Perempuan itu berkerudung merah. Sedang duduk-duduk menikmati sore di atas cadas bebatuan pinggiran bengawan Solo. Suara gemericik air menambah eloknya suasana. Namun bagi pemuda desa itu, tempat itu adalah ladang uangnya. Bukan tempat bersantai seperti mereka.

Semakin sore, langit semakin menampakkan kecantikannya. Merah jingga yang memanjakan setiap netra yang memandang, juga semilir angin yang berhembus menambah sejuknya suasana. Di sanalah Harun dan Asih pernah duduk bersama. Menikmati sore seperti mereka-mereka.

Di ujung sana, tampak segerombol pemuda sedang memandangi air yang menggenang dengan tenang. Air itu tampak begitu hitam. Sesekali riuh rendah menampilkan gelombang kecil. Air menarikan gelombang, tak jarang ikan-ikan kecil berlompatan. Umpan pancing mengelilingi. Sesekali pemuda menarik tali pancing yang terbuat dari belahan bambu. Cukup sederhana. Hanya bilahan bambu yang di ikat dengan tali dan diberi umpan. Yang lainnya bersorak turut bahagia. Si pemilik kail segera melepas ikan dan memasukkan ke dalam wadah yang telah ia persiapkan.

Hari berganti. Langit semakin gelap. Tempat yang semula ramai kini berangsur menjadi sepi. Harun pun ikut meninggalkan tempat yang biasa disebut Kracakan. Gemericik air semakin jelas. Menemani para pemancing menghabiskan malam. Niagara musiman ini tak pernah tidur. Selalu menemani bagi mereka yang siap bergadang menghabiskan malam.

Berbeda dengan Harun, meski ia harus menelan waktu yang di rasa begitu lama agar bisa menikmati suasana di Kracakan, di sanalah ia bisa mengenang hari dimana ia pernah duduk dan bercanda dengan Asih. Dan sejak hari itu, ketika Mak Ram mengatakan maksudnya, ia tak lagi bertemu Asih. Perasaan rindu yang membuncah bak hujan di bulan November, ditahannya.

Entah mengapa malam ini terasa begitu panjang. Tak seperti malam-malam biasanya. Harun melewati setiap malam dengan baik, tanpa beban. Di atas sana langit tampak bersih. Tak ada satupun bintang yang nampakan diri. Namun, angin masih semilir. Mencoba menghibur perasan Harun yang kacau. Di pandanginya sekeliling. Baik-baik saja. Tetapi, perasaan pemuda itu benar-benar tak tenang. Wajahnya sungguh menampakkan kegusaran. Meski raganya tampak berusaha menenangkan diri. Napas panjang pun telah ia buang beberapa kali. Masih tetap tak ada satupun jawaban. Pikiran dan perasaannya benar-benar berantakan.

Ia melangkah meninggalkan tempat dimana ia bersemedi. Di halaman rumah di bawah pohon mangga depan rumah. Lalu merebahkan diri di atas kasur yang kini tak lagi empuk. Sorot matanya menatap jauh ke awang-awang. Sunyi, sepi. Bahkan ia mampu mendengarkan deru napasnya yang tak stabil. Tiba-tiba saja wajah ayu Asih muncul disana. Bibir itu sedikit menyunggingkan senyuman khas gadis desa. Tak lama, hanya sebentar. Selama itu pulalah senyuman itu memudar. “Ada apa denganmu cah ayu?” Perlahan, ia menemukan titik kegusaran hatinya.

Pemuda desa itu terus berusaha memejam mata. Namun selama itu pula ia harus gagal. Bayangan demi bayangan datang silih berganti. Senyuman Asih yang lembut dengan kedua lesung pipit, rambut panjangnya yang hitam di ikat ke belakang, tutur katanya yang lembut dan manja, lentiknya bulu mata Asih, semua datang membayang. Namun, bayangan itu secepat kilat memudar ketika Asih menceritakan keinginan emaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status