Dia dibayar untuk melindunginya. Tapi siapa yang akan melindungi Aira dari dirinya sendiri? Aira Mahesa hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta pada orang yang tak bisa kau kendalikan. Tapi semua itu berubah saat Dante Evrard datang—mantan tentara dengan sorot mata tajam dan masa lalu yang gelap. Dante hanya punya satu misi: menjaga Aira tetap hidup. Tapi Aira membuatnya kehilangan kendali. Sementara rahasia, cemburu, dan hasrat kian membakar batas-batas di antara mereka, satu pertanyaan terus menghantui: Apa yang terjadi saat pelindung menjadi ancaman terbesarmu?
View MoreLangit Jakarta malam itu seolah dilapisi kaca hitam. Gemerlap kota di luar jendela hanya pantulan semu, redup di mata seorang perempuan muda yang duduk menyilangkan kaki di atas sofa kulit. Di tangan kirinya, segelas anggur merah melingkar di antara jari-jarinya, sementara tangan kanannya menekan tombol volume remote, menaikkan suara musik jazz yang mengalun malas di ruangan beraroma mawar dan cedar.
Aira Mahesa. Dua puluh lima tahun. Pewaris tunggal Mahesa Group. Rambutnya hitam pekat, panjang dan selalu disisir rapi ke belakang dengan efek kilau seperti lembaran sutra Jepang. Bibirnya merah seperti luka yang disengaja. Ia tampak seperti wanita yang tahu apa yang ia inginkan. Dan lebih dari itu, ia tahu bagaimana mendapatkannya. “Aku bilang jam delapan malam. Sekarang sudah lewat tiga puluh menit.” Suaranya datar, tapi nadanya menusuk seperti pecahan kaca. “Dia sudah datang, Nona,” jawab seorang pelayan perempuan, menunduk sambil membuka pintu. Langkah-langkah berat terdengar dari lorong. Pelan, seperti milik pria yang tidak terburu-buru oleh siapa pun. Aira tidak menoleh. Ia hanya mengangkat alisnya sambil menyesap anggur, lalu berbalik perlahan, matanya menelusuri siluet pria yang kini berdiri tegap di ambang pintu. Tubuhnya seperti pilar. Bahunya lebar, jaket kulit hitam membalutnya rapat, dan di bawahnya celana panjang tactical berwarna senada mempertegas otot paha yang padat. Wajahnya datar, mata abu-abu gelap yang sulit ditebak. Bukan tampan dalam definisi biasa, tapi memiliki daya tarik mentah yang memaksa mata siapa pun untuk menatap dua kali. “Dante Evrard.” Suaranya dalam, datar, dan tidak menawarkan senyum apa pun. “Saya ditugaskan mulai malam ini.” Aira memiringkan kepala, ekspresinya seolah mengejek. “Seorang bodyguard baru. Aku harap kau lebih berguna daripada yang terakhir.” Dante tidak menanggapi. Aira berdiri, melangkah perlahan mendekat. Tingginya jauh di bawah pria itu, tapi aura yang dipancarkannya tidak mengenal inferioritas. Dengan jari telunjuk yang lentik, ia menelusuri dada Dante, menyentuh ujung jaket kulitnya lalu berhenti di tengah. Sentuhan itu bukan untuk menyapa. Tapi untuk menguji. “Kau mantan tentara?” tanyanya seraya menatap tajam. “Iya.” “Pernah membunuh orang?” Dante mengerjapkan mata sekali. “Bukan pertanyaan yang relevan untuk klien.” Aira tersenyum, senyum kecil yang tidak menghangatkan siapa pun. “Aku suka pria yang tahu bagaimana membunuh. Lebih aman tidur di sebelah mereka.” “Dan aku tidak tidur di sebelah siapa pun, Nona Mahesa.” Ucapan itu membuatnya diam sejenak. Matanya berkedip pelan, tapi bibirnya tidak menghapus senyumnya. Sebaliknya, ia tampak semakin tertarik. “Begitu dingin. Seperti es batu di minumanku,” gumamnya pelan. Dante mengalihkan pandangan ke arah jendela besar. Ia tidak menyukai tempat ini. Terlalu terbuka. Terlalu mewah. Dan terlalu banyak bayangan yang tidak terlihat. “Boleh saya mulai mengecek perimeter rumah ini?” “Kau tak perlu ijin dariku untuk melakukan tugasmu.” Aira kembali ke sofa, meneguk sisa anggur, lalu menatap pria itu dari sudut matanya. “Tapi kalau kau ingin tahu batas ruang pribadiku… kamar tidur di lantai dua. Jangan masuk tanpa undangan.” Dante tidak menanggapi. Ia melangkah menjauh, langkahnya tanpa suara, meninggalkan Aira yang duduk seorang diri namun terlihat sepenuhnya menguasai ruang. ** Pukul sebelas malam. Aira berdiri di balkon, mengenakan gaun tidur satin tipis berwarna perak pucat. Angin malam mengibarkan helai rambutnya, dan dari atas, kota masih berdenyut seperti nadi yang tak mau tenang. “Jangan berdiri terlalu dekat pagar balkon,” suara Dante tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Ia tidak terkejut. “Apakah kau selalu mengawasi setiap pergerakan klienmu?” “Ya.” Aira menoleh, menatapnya dari atas ke bawah. Dante mengenakan kaus hitam polos dan celana yang sama. Bahkan dalam pencahayaan redup, tubuhnya tetap terlihat seperti ukiran pahatan. Aira menyukai lelaki kuat. Lelaki yang bisa membuatnya merasa kecil—dalam arti yang ia inginkan. “Kalau begitu... kau pasti sudah melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.” Ia mendekat, membiarkan bahunya hampir menyentuh milik Dante. “Kau tahu, Dante. Banyak pria membayar mahal hanya untuk diizinkan berdiri sedekat ini denganku.” “Saya dibayar untuk menjauhkan mereka dari Anda.” “Kau tidak menjawab.” Dante menatap lurus ke depan. “Saya tidak tertarik.” Aira terkekeh kecil. “Menarik sekali. Seorang pria yang tidak tertarik padaku. Aku mulai curiga... mungkin kau gay.” “Aku tidak tidur dengan klien.” Nada suaranya tegas, tapi tidak marah. Seperti palu yang memukul meja—pasti, dingin, dan tak bisa dibantah. Aira menyandarkan tubuhnya ke pagar, satu tangan melingkar ke tiangnya. “Lalu kalau klienmu yang tidur denganmu?” Dante tidak menjawab. Tapi rahangnya menegang, dan Aira melihatnya. “Bukan berarti aku mau, tentu saja,” lanjutnya. “Tapi kalau aku mau… apakah kau akan menolakku juga?” Dante melangkah maju, hanya satu langkah, tapi cukup membuat napas Aira berhenti sejenak. Ia membungkuk sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Aira. “Jangan bermain api dengan seseorang yang tahu bagaimana cara membakar,” bisiknya. “Karena kalau aku menyentuhmu, Nona Mahesa, kau tidak akan bisa melepaskanku.” Aira menelan ludah. Dadanya naik turun. Untuk pertama kalinya dalam malam itu, ia tidak tahu harus berkata apa. ** Pukul dua pagi, Aira terbangun oleh suara gaduh. Alarm rumah berbunyi, lampu darurat berkedip. Dalam sekejap, Dante sudah di kamarnya. Ia tidak menunggu izin. Hanya satu tendangan keras ke pintu kayu mahal itu, dan ia masuk dengan pistol di tangan. “Kita harus pergi.” Aira masih setengah mengantuk. “Apa yang terjadi—” “Turun.” Ia menarik pergelangan tangannya, keras, dingin, penuh otoritas. “Ada pelanggaran keamanan. Aku tidak akan mengulanginya dua kali.” Mereka berlari menuruni tangga. Aira tanpa alas kaki, Dante menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Di tengah kekacauan, suara tembakan terdengar. Aira menjerit pelan, dan Dante langsung mendorong tubuhnya ke tembok, melindungi kepala Aira dengan dadanya. “Nafasmu cepat. Tenang. Dengarkan aku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.” Untuk pertama kalinya, suaranya tidak terdengar datar. Tapi dalam, dan nyaris... penuh ancaman. Bukan kepada Aira. Tapi kepada siapa pun yang mencoba menyentuhnya. Ketika polisi tiba lima belas menit kemudian, penyusup sudah kabur. Tidak ada yang terluka. Tapi seluruh rumah kini dipenuhi petugas, cahaya, dan kekacauan. Di balik pintu, Aira duduk di lantai dengan tubuh masih gemetar. Dante berdiri di depannya, tangan masih menggenggam pistol, tubuhnya menutupi seluruh pandangan ke luar. “Kau masih gemetar,” katanya. “Normal, bukan?” jawab Aira lemah. Dante berlutut. Ia mengangkat dagu Aira perlahan dengan dua jari. “Mereka tidak akan bisa menyentuhmu.” Aira mengangguk kecil, tapi pandangannya mengeras. “Aku ingin kau tinggal di sini. Satu atap. 24 jam. Sampai semua ini selesai.” Dante menatapnya lekat. “Itu akan melanggar seluruh batas profesional yang tersisa.” Aira tersenyum miring. “Kau sudah menghancurkan batas itu sejak menendang masuk kamarku.” Dante tidak menjawab. Tapi saat itu juga, ia tahu—ini bukan lagi pekerjaan. Ini adalah permainan. Berbahaya. Tidak suci. Dan dia baru saja membiarkan dirinya ikut masuk ke dalamnya. > Dan ketika Aira meraih tangannya, menggenggamnya erat—tidak dalam ketakutan, tapi dalam penguasaan—Dante sadar satu hal: Bayangan yang mengintai malam ini... bukan musuh. Tapi dirinya sendiri.Camille.Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela.Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya.“Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar.Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja.“Kenapa kau—”“Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi.Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?”Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa
Aira masih merasakan denyut halus di pergelangan tangannya—sisa dari cengkeraman Dante semalam. Ia menatap kulitnya yang kini sedikit merah muda, nyaris memar, lalu menoleh ke kaca besar di kamar mandi suite pribadinya. Matanya belum sepenuhnya jernih, seperti belum siap kembali ke kenyataan.Ia telah mencium Dante.Bukan dalam lamunan, bukan karena dorongan iseng—tapi sungguh-sungguh. Nyata. Terjadi.Dan pria itu membalasnya. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan bisikan cinta, tapi dengan tatapan yang mengunci, tangan yang menggenggam terlalu erat, dan ciuman yang seolah menelan habis seluruh keberaniannya.Aira menyentuh bibirnya pelan.“Aku sudah gila…” gumamnya lirih.**Di lantai bawah, Dante berdiri di dekat jendela kaca. Kopi hitam di tangannya sudah dingin. Tatapannya terpaku pada pohon palem di kejauhan, tapi pikirannya terjebak di kamar atas, pada aroma tubuh Aira, pada desahan samar yang nyaris membuatnya keh
Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara.Dan Aira juga tidak bertanya.Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal."Setelah ini ke mana?" suara Dante datar."Aku janji ketemu seseorang. Teman lama.""Siapa?"Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda."Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam.Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik ya
Aira tahu dirinya tak akan pernah melihat apartemen itu dengan cara yang sama lagi.Sudah lewat dua hari sejak malam saat Dante—dingin, kasar, dan tak bisa dilupakan—menjatuhkan batas di antara mereka. Dan kini, setiap sudut ruangan seolah menyimpan napasnya, setiap pantulan bayangan di jendela seakan menampakkan sosok tinggi tegap pria itu.Ia duduk di meja makan kecilnya dengan secangkir kopi yang sudah dingin, menatap kosong ke arah pintu balkon yang tertutup rapat. Di luar, kota masih berdenyut, tapi Aira hanya bisa memikirkan satu hal—Dante, dan bagaimana pria itu meninggalkan bekas di tubuh dan pikirannya seperti luka yang tak terlihat, namun terasa menyiksa.Brisik ketukan di pintu memecah lamunannya."Miss Aira?" suara berat itu lagi. Rasanya seperti déjà vu, tapi kini, Aira tidak berlari atau bersembunyi.Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Dante, lebih rapi dari malam itu, mengenakan kaus hitam yang menempel pas di dadanya dan celana jeans gelap. Hanya sorot matanya yang t
Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di marmer rumah keluarga Novandra, menandakan kemunculan Aira yang baru saja kembali dari pemotretan brand parfumnya. Gaun tipis satin berwarna gading melekat ketat di tubuhnya, sebagian besar punggungnya terbuka. Ia tampak bagai seorang dewi yang jatuh dari langit. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Dante berdiri di depan ruang kerjanya, seperti patung hitam tak bernyawa.“Menungguku?” tanyanya genit, mencondongkan kepala sedikit, rambut panjangnya tergerai liar, masih lembap karena semprotan parfum.Dante tidak menjawab. Matanya tajam, memindai tubuh Aira dari atas ke bawah. Ada bara di sana—disembunyikan di balik kemeja hitam dan wajah datar yang ia pertahankan dengan sempurna."Jam sembilan malam. Kau seharusnya kembali pukul tujuh," ujarnya singkat.Aira memutar bola matanya, mengangkat alis seolah tak bersalah. “Syuting molor, masalah pencahayaan. Aku bukan anak kecil yang harus dimarahi soal jam malam, Dan.”Ia melangkah pelan ke ar
Mobil itu meluncur perlahan menyusuri kawasan perbukitan menuju vila pribadi keluarga Mahesa. Jalanan sunyi, dan hanya deru mesin yang mengisi kekosongan di antara dua manusia yang duduk terpisah dunia.Dante memegang kemudi seperti seorang pria memegang senjata—erat, penuh kendali. Pandangannya fokus ke depan, tanpa satu pun gerakan yang tak perlu. Di balik setelan hitam kasualnya yang terlalu rapi untuk disebut santai, ia memancarkan aura yang tak bisa diabaikan: dingin, tenang, dan mematikan.Di kursi belakang, Aira Mahesa menyilangkan kaki, membuka layar ponselnya dan membacanya untuk kesekian kali. Pesan pendek dari kekasih yang baru saja memutuskan hubungan mereka, tepat sehari sebelum ulang tahunnya.Maaf. I have to choose my career. We’re not meant to be.Sederhana. Pengecut.Ia tertawa pendek, kosong.“Cowok zaman sekarang terlalu gampang takut pada bayang-bayangku,” katanya lirih. Tapi tidak cukup lirih untuk lolos dari pendengaran Dante.“Bukan bayang-bayangmu yang menakutk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments