Share

Stasiun Tua Tengah Kota

Asih, gadis desa "Wisata Jeglongan Sewu" itu masih saja setiap hari mendatangi stasiun tengah kota. Dari kejauhan yang selalu menjadi tempat langganannya, ia memandang sayu tempat bagi orang-orang yang melepas atau mengikat tali rindu di leher, seperti dia dan dengan sejuta harap, pemuda yang dicintai selama ini tiba-tiba datang dari kota setelah sekian lama menuntut penghidupan yang layak. Apa kamu tak ingat aku sekalipun, Kang? Pertanyaan yang selalu sama dan selalu sama pula, tak ada jawaban untuknya. Seperti hari-hari berat yang selama ini ia lalui, pulang dengan tangan kosong setelah puas memandangi stasiun tua tengah kota yang suhunya kian memanas setiap hari. Berbekal sepeda biru kesayangan, selalu setia menemani kemanapun langkahnya.

Langkah kian langkah membawa gadis desa itu semakin menjauh dari tempat langganan. Namun bukan Asih namanya jika ia patah semangat. Setatus perawan tua yang kini diberikan oleh tetangganya diterima dengan baik. Ia begitu percaya, Harun, kekasih hati yang selama ini terpatri dalam hati akan memenuhi janjinya. Menjemput dan melepaskan gelar perawan tua berubah menjadi wanita yang teramat setia dan berhak bahagia atas buah kesabaran yang ia tanam. Mimpi-mimpi indah itu menemaninya mengayuh sepeda yang melewati jalan berdebu dan berlubang. Mimpi-mimpi itu pulalah yang selalu memberi semangat agar ia tetap sabar dan setia pada Harun. Tak peduli apa kata tetangga, saudara, tentang gelar yang ia terima.

Bupatiku ayu, camatku ganteng, tapi dalanku elek. Kalimat itu sudah dibacanya entah keberapa kali. Kalimat itu juga yang membuat Asih lupa akan kata tanya Kapan kamu pulang, Kang? Atau sekedar Kang, aku rindu yang selalu saja menghantui hari-hari Asih. 

Ia melewati jeglongan demi jeglongan. Sepeda ontelnya masih dikayuh. Matanya menatap tajam jalanan yang penuh lubang. Sekali saja dia lengah, sudah pasti teperosok. Seperti beberapa orang yang bergorombol di depan sana. Tampak ada seseorang bersandar di bawah pohon dengan beberapa luka di wajah. Orang-orang bergerombol. Berkasak-kusuk mempertanyakan kejadian yang di alami laki-laki berbaju putih, seperti seorang pegawai kantor yang sering di kunjungi Asih. Wajah laki-laki itu pasrah. Darah mengalir dari pelipis. Tidak banyak, namun cukup membuat ngilu bagi yang melihat. 

“Masnya ini tadi kejeglong di sana lho,” Ibu-ibu yang tampaknya sebagai saksi mata mencoba menjawab kasak-kusuk orang bergerombol sembari menunjuk ke arah jeglongan yang tak sebegitu besar namun dalam hingga mampu menjatuhkan bagi yang melintas. Ada yang sibuk menanyakan identitas diri, ada yang sibuk mengelap darah di pelipis, ada yang mendorong sepeda mesinnya ke pinggir jalan, dan ada juga yang hanya sekedar menengok untuk berempati. Asih adalah salah satu dari orang-orag yang hanya sekedar berempati. Mendengarkan bisik-bisik orang berkerumun. Laki-laki yang di kerumuni bak sarang tawon itu menangkap tatapan gadis desa yang menatapnya sayu. Laki-laki itu menatap tajam. Seoalah mengenali gadis manis yang mengerumuninya. Asih beringsut perlahan. Meninggalkan kerumunan.

Sepeda pancal warna biru itu kembali di kayuhnya. Tak peduli seberapa banyak debu yang menempel atau mencoba masuk ke lubang hidung yang mungil milik gadis desa itu. Ketika musim hujan tiba lobang-lobang jalan itu menjadi lumpur bercampur air yang siap membatik baju si pemilik yang melintas, tak pandang hawa atau adam, kaya atau pun miskin seperti Harun kala itu. Hampir setiap hari Asih melintasi jalan ini dan membuat orang-orang di sekeliling menjadi hapal dari mana pergiannya.

"Kamu dari mana, Nduk?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan logat khas Jawa Timur paling barat. Tak ada jawaban. Hanya pandangan mata yang seperti biasa sebagai jawaban atas pertanyaan yang hampir setiap hari diberikan.

"Lupakan dia. Nyatanya dia tak kunjung datang memenuhi janjinya bukan?" Suara itu kian meninggi. Terdengar begitu kesal dan marah terhadap apa yang dilakukan anak kesayangannya. Percuma jika Asih menjawab karena yang ada hanyalah berujung pertengkaran. Dan Asih akan tetap salah di mata wanita yang dipanggil Emak. 

Kamar berdindingkan kayu itu masih begitu jelas untuk sekedar mendengarkan omelan emak. Cinta itu terkadang memang memuakkan. Waktu begitu lama menyita rasa. Tak jarang rasa lelah dan bosan menghinggapi. Sekuat apapun kita mengusir rasa itu, rasa hebat titipan sang illahi itu tetaplah ada. Asih membenamkan wajah pada bantal bersarung motif bunga. Membawa segala kegundahan dalam tidur. Biarlah mimpi indah yang merubah. Hingga mimpi itu tidak hanya mimpi, namun menjadi kenyataan yang akan datang.

Tak mendengar sautan apapun, emak membuka penutup pintu kamar Asih yang hanya terbuat dari kelambu. “Maafkan emak, Nduk,” perempuan yang tinggal satu atap dengan Asih itu mengelus rambut anak gadisnya dengan penuh cinta. Asih masih saja berpura-pura tidur. Tak sanggup jika harus membuka mata. Air matanya sudah berusaha mendobrak dinding yang berusaha sekuat tenaga ditutup. Emak pergi meninggalkan kamar.

Kang, apa kamu benar-benar sudah melupakanku?

Kelopak mata itu tak mampu membendung air mata Asih. Air mata itu kini membanjiri bantal yang berwarna putih bermotifkan bunga. Ingatan ketika ia mengantarkan Harun di stasiun tua tengah kota kembali terngiang di kepala.

Hari itu, dia menyusul Harun ke stasiun. Dengan sekuat tenaga ia menggenjot sepeda ontelnya agar segera sampai ke stasiun lebih awal. Agar tak tertinggal kereta yang akan membawa Harun pergi. Peluh bercucuran. Debu bertebaran di mana-mana. Rambut yang tadi telah di kepang dengan rapi kini mulai berantakan, keluar dari ikatan satu persatu. Namun, tak mengurangi keayuannya sebagai gadis desa. Dua puluh menit, ia tiba di stasiun. Terbilang lumayan cepat dari hari biasanya.

“Kang, kamu benar-benar mau pergi?” Napasnya yang ngos-ngosan karena buru-buru mengejar Harun di stasiun bisa berkompromi dengan baik. Wajah penuh tanya dan penuh harapan “kata tidak pergi” dari pemuda yang kini di hadapannya dengan tas besar yang di gendongan.

“Asih, suatu hari kamu akan mengerti mengapa aku harus pergi. Bersabarlah, dan doakan agar semua baik-baik saja ...”

“Agar aku bisa segera pulang dan datang ke rumahmu lagi.” Suara itu tersendak di tenggorokan. Begitu sakit untuk di tahan dan di keluarkan. Wajah ayu itu masih terlihat datar. Begitu jelas tampak kesedihan disana. Kesedihan yang tak bisa ia keluarkan atau dijelaskan.

Di stasiun yang penuh orang berlalu-lalang, ia mematung. Tak tampak orang-orang di sekitar. Yang di lihat hanya Harun pergi meninggalkannya. Hendak ia mengejar Harun, namun petugas kereta menghalangi. Mereka di tempat yang sama, namun dipisahkan dengan dinding gerbong kereta. Terdengar suara merdu petugas kereta mengumumkan akan keberangkatan kereta. Ingin sekali ia masuk ke gerbong itu, mengejar kekasihnya namun apalah dia yang hanya perempuan ringkih. Suara gaungan kereta menambah luka di hati. Suara peluit panjang dengan semboyan 41 yang di berikan kondektor dan di balas dengan semboyan 35 yang di berikan oleh masinis. Suara gaungan kereta itu menandakan akan berangkatnya kereta penumpang. Orang-orang di sekeliling berhamburan. Ada yang yang berlari mengejar ular besi berjalan. Ada yang melambaikan tangan. Ada yang meraung-raung menangisi kepergian seseorang. Juga ada yang hanya mamtung menerima kepergian seseorang. Di tempat itulah, sebuah kehidupan baru akan di mulai. Baik bagi orang-orang atau pun bagi Asih. 

***

Beberapa orang memasuki kawasan stasiun bareng dengannya. Namun, diantara mereka, hanya dia yang tak mempunyai tujuan. Mengantar atau menjemput. Meski jauh di lubuk hati, ingin sekali ia menjawab pertanyan orang-orang yang duduk di sebalahnya, “menjemput kekasih saya” namun apalah daya. Selama ini tak ada yang datang menghampiri.

Petugas hilir mudik di depannya. Mulai dari satpam, yang sesekali tampak sibuk membantu para pendatang yang membutuhkan beberapa informasi atau sekedar ngobrol dengan petugas yang lain sembari berjaga. Lalu, petugas dengan baju kemeja putih berlengan pendek dengan topi khas di kepala dan menggendong tas besar, menunjukkan identitasnya sebagai seorang masinis. Atau petugas kebersihan yang membersihkan beberapa sampah yang baik di sengaja atau tidak ditinggal oleh penumpang atau ketika musim hujan mengepel lantai yang selalu kotor dengan bercak-bercak kaki.

Asih duduk di kursi tunggu layaknya seseorang yang akan pergi atau menjemput. Dikatakan orang yang mau pergi, ia tak membawa apa-apa atau tas-tas besar seperti para calon penumpang lain. Jika menjemput seseorang, sudah tiga kali lagu khas Pinarak Bojonegoro di putar sebagai pertanda datangnya kereta penumpang telah memasuki kawasan stasiun tapi ia tetap saja duduk disana.

Stasiun yang beroperasi pada tanggal 1 Maret 1902 semakin siang semakin ramai dengan pengunjung. Dengan jumlah tujuh jalur, para penumpang naik turun. Dari jarak terpendek hingga jarak terjauh. Tampak kereta penumpang memasuki jalur tiga di barengi dengan lagu khas Bojonegoro, jalur yang dikhusukan untuk arah kota Atlas. Sama seperti kekasihnya waktu itu, Harun menaiki kereta asap pada jalur tiga. Ingin sekali ia berlari menuju gerbong yang berjubel antara penumpang dan pedagang. Ingin sekali ia terobos orang-orang bergerombol yang menghalanginya. Namun ia hanyalah gadis desa yang tak memiliki dan mengetahui apa-apa. Yang ia tahu hanya menunggu dengan setia kepulangan kekasih hatinya.

Sudah hampir tiga jam dia duduk di ruang tunggu bersama penumpang yang selalu berganti. Sesekali ia berdiri ketika lagu khas itu di putar untuk kesekian kali. Namun, kesekian kali pula ia harus kembali duduk.  Sebulan sekali ia memasuki wilayah stasiun. Tepat di tanggal ketika Harun pergi. Seperti hari ini.

Beberapa petugas yang setiap bulan melihat pemandnagan tersebut merasa iba karenanya. Siapa pemuda yang beruntung itu. Mendapatkan kecantikan dan kesetiaaan yang teramat ia jaga. Asih berniat pergi meninggalkan tempat itu. Tempat dimana orang-orang melepas dan mengikat tali rindu di leher. Namun, justru ia berbalik. Lagu khas itu sudah di putar untuk ke enam kali. Namun tetap saja ia tak menemukan Harun diantara gerombolan para penumpang yang turun.

Hari sudah beranjak. Asih harus segera pulang. Emaknya bisa marah jika ia berlama-lama di sini. Di ambil sepeda ontel  tuanya. Memberikan salam dan ucapan terimakasih pada petugas parkir. Yang menerima hanya mengangguk dan tersenyum. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk perempuan yang selalu menjadi langganan parkir di tempat itu.

Dikayuhnya sepeda tua itu menyusuri jalanan kota. Asih sudah kebal dengan perasaan yang setiap hari ia terima. Kecewa. Namun, dia gadis yang tak mengenal kata lelah. Ia tetap yakin dan percaya, suatu hari, Harun akan kembali untuknya. Karena Harun sudah berjanji, jika pulang nanti akan turun di stasiun tua tengah kota ini.

Debu jalanan dan asap kendaraan adalah teman kesehariannya. Tetap dengan semangat dan senyum yang selalu mengembang di bibir manisnya, ia melewati hari demi hari di jalanan yang penuh dengan jeglongan. Jarak antara rumah dan stasiun cukuplah jauh, sekitar dua puluh kilometer. Ia mengayuh sepeda selama dua jam untuk menempuh pulang pergi, namun hasil yang ia terima selama ini hanyalah kekosongan dan kehampaan semata. Harun, sang kekasih hati tak jua kembali. Namun, masih ada hari esok. Begitulah kegigihan gadis desa itu

Gadis itu layaknya Drupadi, yang harus menjalani hukum buang di sebuah hutan selama 12 tahun bersama Pandawa dan dalam hidup penderitaan. Namun, ia tetap setia mendampingi kekasihnya, Yudistira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status