Malam itu Zoelva dan Latifah tidak mengobrol hingga larut malam seperti biasanya, karena besok pagi mereka harus bangun dalam keadaan kondisi bugar. Lagi pula rasa penat akibat kegiatan seharian membuat kami sepakat untuk rehat lebih cepat dari biasanya.
Keesokan paginya, seperti yang sudah mereka sepakati, pukul 09.00 WIB keduanya sudah OTW. Latifah menunggu Zoelva di trotoar di depan ruko yang sudah Zoelva beli. Dari situ keduanya langsung menuju Museum Mesjid Agung Demak.
Sekitar dua jam mereka berkeliling dalam ruangan museum tersebut, setelah itu mereka menuju arah selatan. Zoelva mampir di sebuah rumah restoran yang khusus menyiapkan menu seafood, menikmati makan siang, sekalipun saat itu baru menunjukkan pukul sebelas siang. Karena kebetulan juga ia memang belum sempat sarapan di hotel. Tadi sebelum berangkat
Zoelva menatap wajah Latifah. Di situ tak tampak kesedihan yang berarti, apalagi cairan bening yang menggenangi sepasang bola matanya yang indah. Dia tampak begitu tegar. "Lantas hak asuhnya Syifa gimana, Mbak?” "Dia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada saya, Akhi. Faktor itu juga yang membuat saya tak lagi terlalu bersedih, karena buah hati saya tetap bersama saya." "Ya, syukurlah kalau begitu. Akhi percaya Mbak Ifah mampu mendidik dan membesarkan mereka dengan baik." "Insha Allah, Akhi.." Sebulan kemudian Zoelva diberitahu oleh Latifah, bahwa ia telah menerima surat vonis cerai dari Pengadilan Agama. Hal itu dika
Latifah pun lagi-lagi menyembunyikan tawanya di balik bagian hijabnya. "Iya, Akhi, saya tahu. Saya cuma bercanda, kok," ucapnya "Iya, saya akan mengajak mungkin dua teman saya, Akhi." "Sip! Dua teman lebih bagus!" "Lalu kami ke Jogja naik kereta atau bis, Akhi?" "Bagusnya naik kereta karena aman, nyaman, dan cepat. Siapa tau Syifa menginginkannya. Untuk pulang lagi ke Demak, sama saya saja, pakai mobil," saran Zoelva. "Oh iya, benar, Akhi. Syifa memang pernah menanyakan enaknya naik kereta kepada saya," sahut Latifah. "Nah, itu!" ujar Zoelva. "Dia pasti sangat senang sekali, tentunya."&nb
Semua terdiam dan memandang ke arah Zoelva. Mungkin mereka bingung tak tau harus jawab apa, karena mereka tak tahu tempat-tempat wisata di DIY dan sekitarnya. “Okey,”ucap Zoelva lagi, “ saya kasih dua pilihan tempat, ya? Tempat yang pertama adalah: Pantai Nglambor di Gunung Kidul atau ke…Candi Borobudur!” Semua sesaat terdiam sebelum seperti dikomando, Arumi, Nisa, dan Syifa, menjawab dengan setengah berteriak: “Borobudur…!” Zoelva menoleh kepada Latifah, sebab dia yang belum menjawab. Latifah menangkap isyarat itu dan menjawab, “Ikut suara terbanyak.” “Baiklah,”
Keesokan hari, seperti janjinya semalam, Zoelva membawa Latifah dan rombongan kecilnya ke kawasan wisata Candi Borobudur. Menurut mereka, sekalipun mereka orang Jawa, Jawa Tengah bahkan, tetapi baru baru kali pertama mereka menyaksikan langsung kemegahan bangunan kuno yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu. Mereka mengabadikan momen itu berswafoto bareng maupun sendiri-sendiri dengan kamera hapenya masing-masing. Saat di stupa utama candi, Latifah bertanya ke Zoelva, “Akhi pernah dengan soal mitos yang berkenaan dengan merogoh patung Budha dalam stupa ininggak?” “Oh itu namanya Kunto Bimo,” jawab Zoelva. “Kunto Bimo itu sebutan untuk arca Budha dalam stupa di dalam ini. Menurut sebuah mitos yang dipercaya masyarakat sekitar, bahwa siapa saja yang merogoh ke dalam sebuah stupa berongga ini dan dapat menyentuh bagian te
“Insha Allah, Akhi, besok akan saya sampaikan. Besok kegiatan apa saja di Demak.” “Oh, mungkin saya akan mampir untuk melihat persiapan pembukaan cabang utama, setelah itu saya akan lanjut ke dua cabangnya di dua mall. Sorenya saya baru balik ke Jogja, esok hari ke Jakarta.” “Lantas acara pembukaan cabangnya kapan, Akhi?” “Rencananya ya seminggu lagi. Tapi kayaknya Akhi tak bisa hadir dalam cara itu karena saya harus berkeliling dulu ke cabang-cabang bengkel di Bandung dan Sukabumi. Kira-kira Mbak Ifah bisanggakmembantu saya memesan makanan untuk kenduri sederhana? Dananya akan saya transfer beberapa hari lagi. Mbak Ifah atur saja sama Mirdas dan Haikal. Sudah saya bicarakan juga dengan mereka soal ini. Kalau bisa, libatkan juga A
Tentu Zoelva pun ikut merasa senang berada di desa kelahiran ayahnya itu. Karena di samping bisa menikmati suasana alam pedesaan Sumatra yang alami dan permai, aku juga bisa sempat mengenal keluarga besarku dari garis ayahku. Aku disambut dan diterima oleh keluarga besarku dengan baik dan ramah. Karena didasari oleh ikatan nasab, kami pun cepat akrab satu sama lain. Kebetulan juga ayahku merupakan salah satu tokoh dalam keluarga itu. Sentuhan tangan keluarganya dan mungkin akibat pengaruh suasana yang demikian akrab yang mempengaruhi suasana kebatinannya, menjadi obat pemulih sendiri bagi ayahnya Zoelva. Tak sampai satu Minggu berada di desanya kondisi ayahnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawi ayahnya yang sempat dicabutNya. Pada malam keempat Zoelva berada di desa kelahiran ayahnya, saat ia, ayah, dan ibunya d
Namun demikian, Zoelva menyadari, bahwa Zaenab sekali-sekali suka mencuri pandang ke arahnya. Tetapi entah mengapa, pada pandangan pertama itu ia belum merasakan ketertarikan sedikit pun terhadap wanita itu. Justru yang muncul saat itu adalah wajah Latifah. Bahkan saat itu hatinya masih sempat bertanya-tanya, sedang apa Latifah saat ini? Karena selama ia berada di Sumatra, ia belum sekalipun menatap lagi wajah cantik dan lembutnya di layar hapenya. Ia hanya mengabarkan padanya saat aku akan ke Jambi karena ayahnya sakit, itu saja. Semoga Latifah memahami situasi dan kondisiku saat ini, pikirnya pula. “Kapan Nak Zoel akan kembali ke Jawa?”tiba-tiba Paknga Rasyid bertanya dan agak mengagetkan Zoelva. “Insha Allah dalam satu dua hari lagi, Paknga.” “Kenapa cepat sekali pulangnya ke Jawa, Nak Zoe
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”