Share

Terjerat Sesat

Author: Filanditha
last update Last Updated: 2023-06-14 18:11:49

"Duh Gusti, semoga dia ndak menemukan aku," batin Mbah Karso. Terdengar lucu memang, dia sedang mencuri ayam tetangga, namun dia juga berdoa kepada Tuhan yang dia sekutukan agar kelakuannya tak ketahuan.

Kardi mulai mendekat ke arah kandang. Pasang matanya memicing saat mendapati pintu kandang ayamnya terbuka. "Janc*k! Maling pitik! (Maling ayam!)" umpat Kardi. Dia bergegas menutup kembali pintu kandangnya, kemudian segera mengedarkan pandang ke berbagai penjuru sekitar rumahnya. Giginya bergemulatuk menahan amarah. Wajar saja, dia pecinta ayam, peliharaan ayamnya juga tergolong ayam yang langka dan mahal. Sudah pasti dia menahan geram, tak ingin kehilangan seekorpun ayam kesayangannya.

Kardi berkeliling, mencari di semua sisi yang baginya tampak mencurigakan. Tempat terakhir yang akan dia periksa segera adalah kandang ayam petelur, dimana Mbah Karso bersembunyi di baliknya. Suara langkah diseret mendekat, keringat dingin membasahi kening keriput Mbah Karso.

**Tes.. Tes.. Tes..**

Kardi yang sudah berdiri tepat di depan kandang akhirnya mendongak ke atas setelah merasakan sesuatu menetes membasahi rambut dan juga keningnya. Dia meraba keningnya dan mendapati cairan merah berbau anyir disana. Kardi yang terkejut langsung mengarahkan senternya ke atas pohon mangga yang tumbuh besar di halaman belakang rumahnya.

**Brugh!!!**

"Huaaaaahhhhh!!! De-demit!!" seru Kardi. Dia jatuh terjengkang karena terkejut. Kardi beringsut mundur dengan tubuh gemetaran. Pandangannya entah kenapa tak bisa dia palingkan ke arah yang lain.

"Pingsankan aku, Gusti! Pingsankan aku," gumamnya memohon agar dibiarkan pingsan. Namun sepertinya, doanya tak terkabul karena bahkan saat sosok bergaun merah itu melayang turun dengan perlahan, Kardi masih 100% sadar.

Kardi bergidik ngeri saat sosok itu semakin dekat. Seekor ayam yang sudah buntung kepalanya tampak berada di genggaman tangan kanan sosok berkuku runcing itu. Pasang mata merahnya menyala, senada dengan warna gaun yang juga merah.

"Pakde..." lirih sosok itu parau. Mata Kardi semakin membelalak lebar. "Ma-mawar!" serunya. Sosok bermata merah itu melesat cepat dan berhenti tepat di depan Kardi. Jarak mereka berdua kini hanya sejengkal saja. Kardi bisa mencium aroma kembang melati bercampur bau anyir darah di saat yang bersamaan.

"Ma-maafkan aku, Mawar! Maaf," seru Kardi. "Su-sumpah! Aku ndak ikut-ikutan membuat rencana itu, sungguh!" serunya dengan dua tangan menangkup di atas kepala. Sosok Mawar menyeringai, dia menoleh ke arah Mbah Karso yang ternyata sedang mengintip. Dia memberi anggukan pelan seolah sedang memerintahkan Mbah Karso untuk segera pergi.

Mbah Karso paham itu, dia berlari tanpa suara, sembari menghapus tetes demi tetes air mata yang keluar dari netranya yang terasa memanas. "Kamukah itu, Nduk?" gumamnya di sela-sela nafasnya yang tersengal-sengal.

Mbah Karso sudah tiba di rumahnya. Dia segera masuk ke pawon, mengambil golok lalu menyembelih ayam cemani itu secepatnya. Sebuah kendi berukuran kecil sudah dia siapkan untuk menampung darah ayam yang dia sembelih.

**Crrrrrrr!**

Darah mengalir dari leher ayam cemani yang kini tampak menggelepar namun sekuat tenaga Mbah Karso pegang agar darahnya tak tumpah kemana-mana.

"Kembang wis siap, terus tanah makam juga wis siap. Sekarang tinggal belah dan ambil hati ayam cemani ini. Eh, hati opo jantung yo?" gumam Mbah Karso. "Opo perlu tanya lagi sama Nyai? Tapi gimana cara panggil Nyai?" imbuhnya. Mbah Karso tampak garuk-garuk kepala. Otak tuanya memang jadi lebih cepat melupakan sesuatu.

"Yo wis, ambil saja dua-duanya biar ndak ribet!" serunya. Dia mulai membelek dada ayam itu dengan sebuah belati kecil. Tak ada rasa jijik, yang dia ingat cuma satu, rasa sakit yang meminta penuntasan balas.

"Hati dan jantungnya perlu dicuci ndak yo? apa biar begini saja?" gumam Mbah Karso lagi. Ya, lagi berbicara sendiri. Satu-satunya teman bicaranya sudah tiada karena kekejaman para warga. Wajar saja hati lembutnya nyeri. Wajar saja dendam itu tumbuh bersemi dengan suburnya, karena mereka yang memupuknya sedemikian rupa.

Sebuah nampan dengan lilin di tengahnya Mbah Karso siapkan. Jantung dan hati ayam sudah dia tata sedemikian rupa bersandingan dengan bunga dan sekendi kecil darah segar ayam cemani. Tak lupa, segenggam tanah kuburan basah milik mendiang cucunya dia bungkus dengan kain putih dan diletakkan disana.

Mbah Karso membawa semua persiapan ritual sesat itu ke halaman belakang rumahnya, tempat dimana Mawar disemayamkan. Dia duduk bersila tepat di depan gundukan tanah yang masih basah nan merah. Suara binatang malam meramaikan malam yang sepi. Burung hantu terbang berseliweran kesana kemari, seolah tau akan ada hal besar yang terjadi.

**Jresh! Jresh!**

Mbah Karso menyalakan batang korek berbahan kayu kecil, lalu mulai menyalakan lilin. Satu lilin dia pegang, satu lilin diletakkan di tengah nampan. Nyala api meliuk-liuk ditiup angin malam. Mbah Karso mengambil buku peninggalan Ki Kartasakti, membukanya perlahan hingga pada halaman yang berjudul, **Membangkitkan Jiwa Yang Mati**

Dengan penerangan seadanya, mata tua Mbah Karso berusaha keras membaca tulisan aksara Jawa yang tercetak tebal di buku itu. Bibir kering nan pucatnya mulai bergetar, dia menggumam pelan membacakan mantra pembangkit. Ya, dia sudah bertekad, dia akan membangkitkan kembali cucunya. Tak peduli meski kali ini dia harus bersekutu dengan setan.

"Duhai jiwa kang wis lunga

Duhai raga kang wis mati

Jenengmu kupanggil

Tekamu kuharapke

Urusan kang ora tuntas, tuntaskan

Dendam kang ora terbalas, balaskan

Getih diwales getih

Nyawa diwales nyawa

Bareng Nyai Larapati

Ku gadaikan segenap raga lan jiwa

Ku abdikan dhiri nganti mengko ku kudu mati

Mawar Utami..

Mawar Utami..

Mawar Utami..

Namamu ku sebut tiga kali

Bangkitlah, Nduk

Bangkitlah.. Bangkitlah!"

Mbah Karso memejamkan mata, meresapi semilir angin yang datang membelai wajah keriputnya. Aroma kembang melati tercium samar-samar, namun beberapa saat kemudian semakin pekat mengaduk-aduk indra penciuman. Mbah Karso masih enggan membuka mata, meski dia tau, yang dipanggil telah hadir.

"Huhuhu, hiks hiks hiks!" suara tangisan pilu terdengar menyayat hati. Tangisannya juga aroma kembang melati terbawa angin hingga menyebar pada seluruh penjuru desa. Mereka yang masih belum terlelap kompak merapatkan selimutnya.

"Nduk, sampean sudah datang?" tanya Mbah Karso dengan mata berkaca-kaca. Sosok Mawar yang sedang duduk bersimpuh di samping tanah makamnya hanya menatap kosong. Matanya mengalirkan darah segar merah kehitaman.

~~Krincing Krincing Krincing~~

Suara kerincing dan tapak kuda terdengar dari jauh. Sesekali ringkikan kudapun terdengar. Mbah Karso berdiri, entah kenapa dia merasa yakin, ini adalah tanda kehadiran sosok yang baru-baru ini menawarkan bantuan. Sosok yang kepadanya Mbah Karso mengabdikan diri. Dia adalah, Nyai Larapati.

Mbah Karso membungkuk setelah melihat sebuah kereta kencana berhenti tepat di depannya. Dia memberikan salam hormat, tangannya menangkup di atas kepala. "Selamat datang, Nyai Ratu!" bisiknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Tamat

    "Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit (2)

    "Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit

    Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Pocong Muka Rusak

    Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Lambe Turah Bu Jamila

    Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Kematian Markus

    Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status