Home / Horor / LAWON ABANG (Kafan Merah) / Puncak Sakit Hati

Share

Puncak Sakit Hati

Author: Filanditha
last update Last Updated: 2023-06-13 00:38:32

Mbah Karso membuka mata, kala merasakan sengatan di kulitnya yang keriput. Benar, mentari telah meninggi, sinarnya terasa menyengat dan membakar kulit. Setelah malam yang begitu melelahkan, tanpa terasa Mbah Karso ketiduran di atas gundukan tanah makam cucunya.

"Ngapain disitu, Mbah? Anak itu ndak akan hidup lagi, wis percuma di tangisi! Mending pulang dan lanjut tidur," seru seorang wanita yang tampaknya akan pergi ke sawah mengantarkan kiriman nasi. Mbah Karso memilih diam, tak tertarik untuk sekedar menyahuti.

"Hah, sampean kok malah nangis sendirian? wis bagus dia mati, jadi warga desa ini bisa hidup dengan tentram, tanpa perlu takut ratu iblis itu bangkit melalui tubuh Mawar!" imbuh Bu Jamila tanpa peduli perasaan.

"Putuku bukan binatang! Seenaknya lambemu (mulutmu) ngomong mati! Aku ngerti, sampean benci Mawar, tapi ndak adakah sedikit saja simpati sampean buat dia yang sudah menyatu dengan tanah? Atau mungkin hati sampean memang wis mati?" umpat Mbah Karso dengan geramnya.

"Cih!!" Bu Jamila berdecih lantas melenggang pergi begitu saja tanpa ada rasa bersalah.

"Wadon (perempuan) kurang ajar!" Umpat Mbah Karso.

***

"Sudah dengar soal dia belum? kabarnya dia sudah mati," bisik-bisik mulai terdengar dari Ibu-ibu muda yang sedang menggerombol di depan rumah. Mereka asyik membicarakan orang lain sambil memanen telur kutu.

"Anak iblis itu to? aku wis dengar kabarnya dari Tuminah, istrinya si Kardi. Katanya, semalam Mbah Karso gedor-gedor rumahnya, minta Kardi buatin makamnya Mawar," ujar Mbak Yati, wanita bergincu tebal dengan rambut megarnya.

"Terus piye? Kardi mau ndak?" tanya Bu Tini

"Edan! Yo ndak mau lah! Siapa juga yang berani berurusan sama gadis itu, hiiyy!" sahut Mbak Yati.

"Lah terus siapa yang menggali makam?" tanya Indana.

"Tentu Mbah Karso sendiri. Tadi di belakang rumahnya, ada gundukan tanah merah. Mbah Karso ketiduran disana," sahut Mbak Yati lagi.

"Kasihan, yo?" desah Indana.

"Alah, ngapain kasian? Lebih kasian kita kalau paceklik ini ndak segera berakhir. Ingat, kata Eyang Putri, paceklik ini cuma sebagian kecil dari bala yang bisa dikirimkan si Ratu Iblis. Lah sedangkan kita sendiri tau toh, si Nyai menghilang tepat setelah Ki Kartasakti terbunuh!

Nyai ndak bakal bisa kirim bala lagi, kecuali ada seorang yang menghubungkan dia dengan desa ini. Aku yakin, si Mawar itu orangnya. Secara, matanya saja sama merahnya, iyo ndak?" celetuk Bu Mai, wanita yang usianya paling tua di antara mereka.

"Omong-omong soal Ki Kartasakti, kata si Mbahku, dulu dia punya anak kecil toh? Tapi anaknya itu menghilang dari rumah di hari pembantaian si Dukun bejat itu! untung dia ndak disini, bisa bahaya toh kalau dia meneruskan ajaran sesat Bapaknya," sambung Bu Tini.

"Eh, Yu Kasih! Anak sampean sering gangguin dia to? Hati-hati lho, semoga si Mawar ndak jadi demit!"

"Hushhh! ndak boleh asal ngomong begitu, kalau jadi demit beneran piye? Desa ini baru saja merasa tentram karena dia mati, masa mau dibikin sengsara lagi?" Orang yang memilik nama Kasih itu mencebik.

"Aku yakin, paceklik berkepanjangan ini juga karena ulahnya. Haduh, satu kampung ketiban sial! Padahal kan, dari dulu desa kita makmur yo, Yu? tapi sejak kelahiran Mawar, semuanya berubah, ada aja masalah baru," ujar Bu Mai.

"Beruntung, Eyang Putri dan petinggi desa cepat ambil tindakan!" seru Yu Kasih, perempuan yang suaminya bekerja di salah satu rumah petinggi desa sebagai tukang kebun.

"Maksud sampean opo?" tanya Mbak Yati.

"Ah, aku pulang dulu yo? aku dengar kabar kalau Pramono meninggal ulah si Mawar, jadi mau siap-siap melayat! Monggo," Yu Kasih berjalan tergesa-gesa melewati jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman putri malu.

"Pramono? anak angkate Mbok Jumi?" tanya Mbak Yati.

"Iyo, kata Yu Kasih meninggal karena ulah Mawar? Aku kok ndak paham maksudnya toh? Mawar kan juga wis ndak ada," sahut Indana.

"Omong-omong, Mawar meninggal kenapa to? kayake kemarin sehat-sehat saja! Apa ini ada kaitannya sama kematian Pramono?" gumam Mbak Yati lagi.

"Mana aku tau, aku yo ora peduli! Wis ayo siap-siap melayat! Aku mau ambil beras dulu," ujar Bu Tini.

Para Ibu-ibu itu bubar dan pulang ke rumah masing-masing setelah berjanjian akan bertemu di pos ronda sepuluh menit lagi. Mereka akan ke rumah Pramono bersama-sama.

***

"Nduk, nyatane benar ndak ada yang peduli sama kematian sampean. Apa cuma Si Mbah yang merasakan duka ini? Lihatlah dan dengarkan, Nduk. Mereka tertawa suka cita, menjadikan kematian sampean jadi bahan olokan. Mereka berbahagia, seolah kepergian sampean adalah hal yang mereka pinta," gumam Mbah Karso sembari mengintip dari celah lubang gedeknya.

Sejak tadi, banyak orang berlalu lalang di sekitar rumah Mbah Karso dengan membawa kantung beras. Tentu Mbah Karso tau, itu akan dibawa ke rumah Pramono, bukan ke rumahnya. "Lucu sekali kan, sampean dan Pramono meninggal di malam yang sama, tapi seorangpun ndak ada yang bertandang kemari buat sekedar mengucap belasungkawanya." Mbah Karso menghela nafas panjang. "Mereka memang sudah keterlaluan, Nduk. Terlepas dari tau atau ndaknya mereka atas tragedi semalam," imbuhnya.

Mbah Karso berlalu ke pawon, menggeser meja panjang yang biasa dia jadikan tempat lauk. Tangannya meraba-raba, namun dia segera menggeleng pelan.

"Wis tertimbun, harus digali," gumamnya. Dia berbalik, mengambil cangkul lalu mulai menggali tanah di pojokan pawonnya.

"Ndak bisa di pungkiri, akulah Kertawani," gumam Mbah Karso. "Maafkan si Mbah yo, Nduk. Sepertinya Mbah harus lakukan ini. Ini demi mendapatkan keadilan, sampean dihinakan mereka Nduk, Mbah ndak bisa terima!" imbuhnya lagi.

Mbah Karso segera menarik sebuah kotak kayu berukuran kecil yang terkubur di dalam tanah. Dia membersihkan tanah yang menempel di atasnya, kemudian membuka penutupnya dengan sekali sentak.

"Syukurlah, ini ndak rusak!" ujarnya lirih. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku usang itu. Mata rabunnya berusaha fokus membaca tulisan dengan aksara jawa di setiap lembarannya.

"Maafkan aku, Mbok! Aku ingkar janji buat ndak mengikuti jejak Bapak. Kali ini, hatiku sakit sekali, Mbok. Mereka membuat aku kehilangan, lagi..." lirihnya di iringi isak tangis. Derita lama yang kembali terkuak, menambah perih luka yang baru saja tercipta.

"Dimana ku simpan benda itu? sepertinya ada satu lagi yang Bapak titipkan sebelum kejadian itu. Duh Gusti, otak tuaku ini kenapa pikun sekali?"

Mbah Karso berpikir keras, dia memindai ke segala arah, hingga pasang matanya terpaku di satu titik. "Kendi itu!" Serunya kemudian berjalan tergopoh-gopoh ke arah lemari tua tanpa pintu. Dia menurunkan sebuah kendi kecil yang sudah lama tak terpakai. Dia membalik kendi itu hingga sesuatu menggelinding keluar dari dalamnya.

"Akhirnya kutemukan juga," gumamnya dengan mata berbinar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Tamat

    "Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit (2)

    "Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit

    Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Pocong Muka Rusak

    Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Lambe Turah Bu Jamila

    Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Kematian Markus

    Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status