Prakkk!!
Mbah Karso memecah celengan berbentuk kendi berbahan tanah liat miliknya hingga isinya tumpah. Dia mulai memunguti satu persatu uang yang berserakan. Air matanya tak henti mengalir dari mata rentanya. "Ndak cukup," lirihnya nyaris tak terdengar."Nduk, sekarang istirahatlah dulu yo Nduk. Tunggu disini, Mbah mau ke rumah Kardi." Mbah Karso berbicara pada jasad Mawar yang dia tidurkan di tikar ruang tamu.Mbah Karso keluar, dia menyeret langkahnya pelan menuju rumah Kardi yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Nafasnya terengah-engah, dia sudah cukup kepayahan malam ini. Duka dan kenyataan menghantam hati dan mentalnya telak. Tubuh rentanya dipaksa kuat menangani semua seorang diri.Mata Mbah Karso berbinar, rumah sederhana milik Kardi terlihat di kejauhan sana, membuatnya memaksa mempercepat kaki tuanya melangkah.**Dok Dok Dok Dok**"Assalamualaikum! Dii! Kardi!" Serunya dengan suara sengau."Dii!!" Serunya sekali lagi.Krieeeeettt... Suara derit pintu terdengar nyaring, kemudian si pemilik rumah menyembulkan kepala di sela pintu."Ono opo?" tanya Kardi malas. Memang sejak Mbah Karso menentang warga yang ingin meniadakan Mawar, pria renta itu juga ikut dijauhi. Tapi bila dipikirkan dengan akal sehat, Kakek mana yang tega membiarkan cucunya ditiadakan?"Tolong, Di. Tolong buatkan makam untuk Mawar. Putuku.. putuku ninggal, Di!" ujar Mbah Karso tergugu. Kardi tampak terkejut, namun beberapa detik kemudian ekspresinya berubah biasa saja."Jadi, mereka benar-benar menjalankan rencana?" gumam Kardi lirih."Opo Di?""Ndak, bukan apa-apa! Soal tanah makam, sampean cari saja orang lain yang mau menggali! Datangu saja rumah Parto atau Misbah, jangan rumahku! Percuma toh, aku ndak mau menggali liang buat putu (cucu) sampean, aku ndak mau ketularan sial!" serunya sambil mengibaskan tangan, mengusir."Astaghfirullah, Di. Sampai hati sampean ngomong begitu. Mawar putuku bukan pembawa sial, Di! Berapa kali toh, aku harus bilang soal ini!?" Mbah Karso naik pitam."Halah, semua warga desa wis ngerti, Mbah. Mawar itu anak kutukan, anak iblis! sampean ingat ndak, waktu Mardi gangguin Mawar dengan dorong dia ke sungai!? Mawar nyumpahin Mardi biar hanyut, eh hanyut beneran toh!? Wajar Mbah kalau kami takut, kami masih sayang nyawa!" Kardi masih berusaha melayangkan ucapan pembenaran."Tapi, Di.. Mawar sudah meninggal, bibirnya wis terkatup rapat, mata merah sing kalian takuti wis ndak bisa terbuka. Kenapa sampean masih bersikeras ndak mau membantu, Di? Aku nyuwun tulung, (minta tolong) sekali ini saja,""Aku ora peduli, Mbah! Sampean urus saja cucu sial sampean itu sendiri. Dan besok, jangan harap ada warga yang mau datang membantu. Asal sampean tau, kematian Mawar memang hal yang wis sejak lama kami nanti," bisik Kardi di telinga Mbah Karso.Mbah Karso menggeleng lemah dengan mata memerah menahan gejolak amarah. "Setan koe!! Yang Iblis bukan Mawar, tapi kalian!" umpat Mbah Karso kemudian berbalik dan menjauh pergi.Di tengah malam gulita, ditemani sinar bulan merah, Mbah Karso berkeliling mendatangi rumah-rumah para penggali kubur, namun jawaban yang sama dia terima. Terpaksa, dia pulang dengan hati yang remuk redam, dengan amarah yang tersulut dan berkobar besar.Dia membuka pintu rumahnya dengan lesu, mengambil cangkul dan membawanya ke halaman belakang.**Duk! Duk! Duk!**Mbah Karso mulai mencangkul tanah seorang diri, menggali tanah makam untuk Mawar sendirian. Rasa sesak kembali merajai hatinya yang gersang. Satu hal yang dia tau, kematian Mawar bukan terjadi begitu saja. Ini seperti sudah direncanakan!"Nduk.. setelah berkeliling meminta bantuan, baru Si Mbah tau kalau apa yang menimpa sampean itu sudah di rencanakan. Mereka keji, Nduk. Entah fitnah apa yang membuat mereka gelap mata. Bolehkah Mbah mendendam kali ini?" gumamnya.Tanah makam sudah selesai dia gali. Dia masuk ke dalam rumah, membuka lemari usangnya. "Nduk, maafkan Si Mbah. Sampean pakai saja kafan yang Mbah siapkan buat kalau Mbahe ninggal. Uange ndak cukup buat beli yang baru," gumamnya dengan sudut hati yang nyeri. Tangan keriput Mbah Karso meremas kain putih itu."Nduk, mandi yo? Mbah sing mandikan," bisiknya. Air matanya jatuh ke kening Mawar. "Mbah bersihkan getihe (darahnya), ndak opo-opo, ndak usah malu," imbuhnya.Mbah Karso membopong tubuh Mawar ke pawon, dimana sebuah gentong berisi air sudah Mbah Karso sediakan. Dia membaringkan Mawar di amben bambu. Tangannya gemetar kala membuka satu persatu pakaian koyak yang melekat di tubuh Mawar. Rahangnya mengeras, pasang matanya menatap nanar.Mbah Karso mulai meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa, mengambil air lalu menyiramkan perlahan. "Getihe ndak mau berhenti. Ini pasti sakit sekali yo, Nduk?" tanya Mbah Karso. Namun yang ditanya tetap bungkam.Setelah dirasa cukup, Mbah Karso mulai membebat tubuh Mawar dengan jarik, lantas membawanya kembali ke ruang depan. Tikar yang penuh darah sudah dia gulung, diganti dengan tikar lain yang tak kalah usang.Mbah Karso membentangkan kain kafan, lalu memindahkan Mawar ke atasnya. Dia membebat tubuh cucu semata wayangnya perlahan hingga usai. Selesai, Mbah Karso tampak kebingungan."Gimana cara Mbah mensholati sampean, Nduk? Sedangkan, Mbah cuma sendirian," lirihnya. Akhirnya, dia cuma bisa mendoakan sebisanya, semampunya.Pasang mata rentanya memicing, saat mendapati darah merembes dari lukanya yang menganga. "Duh Gusti, piye iki? Si Mbah ndak punya cadangan kain kafan," desahnya parau. Tak ada pilihan lain, dia harus segera memakamkan Mawar, tak peduli meski hanya seorang diri."Sabar yo, Nduk. Ayo, Mbah antarkan sampean ke rumah baru. Tenang, Mbah ndak akan jauh-jauh dari sampean. Setiap hari, Mbah bakal nengokin sampean," ujarnya berbisik seorang diri.Sampai di sebelah liang yang menganga, Mbah Karso kembali kebingungan. "Gimana cara Mbah turunkan sampean, Mawarku?" gumamnya. Setelah sekitar sepuluh menit menimbang-nimbang, "Brukhhh!"Jenazah Mawar dijatuhkan, tak ada pilihan lain, tega tak tega cuma itu caranya. "Maafkan Si Mbah, Nduk. Maaf," mohon Mbah Karso. Pria itu turun, membenarkan posisi Mawar yang jatuh dalam posisi tertelungkup. Lalu, dengan susah payah kembali naik ke permukaan."Mbah akan cari cara buat menghukum mereka yang sudah membuat kita seperti ini, Nduk. Sampean bukan perempuan iblis, merekalah yang iblis. Sampai hati mereka berbuat seperti ini, Mbah ndak bisa terima," rutuknya sembari menutup liang itu dengan tanah. Setelah berjam-jam lamanya melewati semua hal yang melelahkan, Mbah Karso bersimpuh di samping gundukan tanah merah, yang hanya diberi tanda batu tanpa nisan. Dia menatap nanar sambil menggumam sendirian."Sekarang Si Mbah sendirian, menanggung sakitnya sepi dan dendam yang sukar padam. Bagaimana Mbah melewati ini tanpa sampean, Nduk? sementara selama ini, sampeanlah satu-satunya alasan Si Mbah tetap kuat," lirihnya parau."Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b