Share

Menuju Sesat

Author: Filanditha
last update Last Updated: 2023-06-13 00:39:16

Mbah Karso mengangkat benda bulat kecil di tangannya, memindainya dengan mata renta berlingkar hitam di bawahnya. Sinar mentari menerobos masuk dari celah gedeknya yang berlubang, membuat benda itu makin tampak berkilau karena terbias cahaya.

"Permata merah ini," gumamnya sembari mengenang masa lalu. Mbah Karso memejamkan matanya rapat. "Bapak, ternyata jadi orang lemah itu menyakitkan, karena kelemahanku ini, aku gagal menjaga Cucuku sendiri." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Mawar.

"Balaskan..." Lirih suara terdengar menyapu gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso celingukan mencari sumber suara yang terdengar mendayu-dayu itu.

"Si-siapa?" serunya parau. Mbah Karso berdiri dari jongkoknya, sesekali tangan keriput miliknya mengusap-usap tengkuk.

"Kau melupakan aku, Bocah?" suaranya terdengar dekat, Mbah Karso kembali memindai sekitar, namun lagi-lagi tak dia temukan siapapun. Dia hanya sendirian saja.

"Akulah yang membersamai Kartasakti," suara itu terdengar semakin jelas. Pasang mata Mbah Karso terbelalak. "Nyai?" ujarnya dengan bibir bergetar. "Jadi disini selama ini engkau terlelap?" gumamnya lagi. Beberapa saat kemudian, sudut bibir Mbah Karso terangkat. Dia menyunggingkan sebuah senyum seringai.

"Maukah kau membantuku seperti Kau membantu Bapak, Nyai?" tanya Mbah Karso.

"Tentu, selama itu menguntungkanku. Apa yang kau inginkan?" Tanya wanita tak berwujud itu. Mbah Karso menatap nyalang, amarah tampak berkobar-kobar, begitu juga dengan bara dendam yang seakan menyala enggan padam.

"Aku ingin membalaskan rasa sakitku juga rasa sakit Mawar pada warga desa, Nyai. Mereka sudah banyak menorehkan luka, aku terima. Tapi mereka semakin menjadi sampai nekat menghilangkan nyawa. Aku ndak terima! Aku mau mereka mendapatkan sesuatu yang setimpal," ucap Mbah Karso menahan geram. Giginya bergemulatuk, rahangnya mengetat kuat

"Baiklah, tapi pertama-tama, oleskan darahmu pada batu permata ini! Dengan begitu, kita akan terikat dan aku akan terbebas!" Titah Sang Nyai.

"Sendiko dawuh, Nyai." Mbah Karso segera mengambil sebuah pisau kecil lantas menggores ujung jari telunjuknya hingga mengeluarkan darah segar. Dia lalu mengoleskan darah itu pada batu permata merah yang berada di tangannya.

Setelah menorehkan darah pada batu itu, Mbah Karso meletakkannya di depannya. Batu permata itu bergerak-gerak dan mengeluarkan sinar kemerahan. Mbah Karso mundur beberapa langkah ke belakang, hingga punggungnya menempel pada dinding gedeknya.

Pasang mata tuanya menatap tak lekang, menanti apa yang mungkin terjadi setelahnya. Asap merah mengepul keluar dari batu. Mbah Karso memejamkan mata, khawatir mata rentanya akan terasa pedih karenanya.

"Buka matamu, Bocah! Dan berikan hormatmu padaku," titah sang Nyai. Mbah Karso membuka mata, dia terbelalak kaget kala mendapati seorang wanita dengan paras jelita yang memakai pakaian ala kerajaan Jawa lengkap dengan selendang merah yang melilit pinggangnya. Sebuah mahkota bertahta di atas kepalanya. Rambutnya yang hitam legam tergerai panjang nan indah. Wanita itu melangkah maju dengan langkah yang gemulai.

Kelopak mata Mbah Karso seakan kaku hingga tak mampu berkedip. Dia hanya bisa terpaku melihat wanita yang memiliki permata merah di tengah keningnya itu mendekat. "Berlutut!" titahnya. Sepersekian detik kemudian, tubuh Mbah Karso seakan tak bisa dikendalikan. Dia berlutut dengan sendirinya, tak bisa bergerak bahkan untuk sekedar mengangkat kepalanya.

"Cukup, sekarang bangkit!" titah wanita itu lagi.

"Aku Nyai Larapati," imbuh wanita bermahkota dengan suara lembut namun tegas secara bersamaan. Mbah Karso mengangkat wajahnya, pandangannya bertemu dengan wanita bermata merah itu.

"Mata itu.." lirih Mbah Karso. Seakan tau isi hati Mbah Karso, wanita itu tersenyum. "Suatu saat, kau akan tau semuanya. Sekarang, fokus pada misi balas dendam ini terlebih dahulu. Malam nanti, siapkan seekor ayam cemani, sembelih dan simpan darahnya di kendi. Siapkan juga kembang telon (bunga tiga macam)." Nyai Larapati memberikan titah.

"Lalu apa selanjutnya, Nyai?" Tanya Mbah Karso. Dia gelap mata, imannya terkikis sedikit demi sedikit karena ketidak-adilan.

"Lalu ambil tanah makam Cucumu, letakkan di nampan bersama hati ayam cemani dan juga darahnya. Selanjutnya, biar jadi urusanku,"

"Apa yang harus aku baca, Nyai?" Mbah Karso kembali melempar kata tanya.

"Mantra pembangkit," sahut Nyai Larapati setengah berbisik. Suaranya yang bagai tersapu angin itu mampu membuat bulu roma berdiri.

"Tapi, aku bahkan ndak tau bacaannya," sahut Mbah Karso lagi.

"Jangan bodoh! Carilah di buku itu! Itulah sebabnya Kartapati menuliskan apa yang dia tau untukmu," titah Nyai Larapati tak terbantahkan. Mbah Karso menunduk, "Sendiko dawuh, Nyai," sahutnya lagi.

Nyai Larapati kembali mengubah wujudnya jadi serupa asap merah, kemudian dia masuk ke dalam batu permata. Batu permata itu memendarkan cahaya kemerahan, namun tak lama cahaya itu perlahan memudar dan hilang.

"Ayam cemani hitam, itu agak sulit. Aku harus cari dimana yo?" gumam Mbah Karso bermonolog.

"Ah, benar juga. Kardi punya dua ekor ayam cemani hitam, tapi aku ndak yakin ayam itu dia jual. Kalaupun aku beli ayamnya, selain uangku ndak akan cukup, Kardi juga pasti berpikir yang ndak-ndak soal aku." Mbah Karso kembali bergumam sambil mondar-mandir. Otaknya berpikir keras.

"Kalau ndak beli, ya ambil saja," gumamnya sembari mengukir senyum menyeringai. Baru saja mengikat diri dengan Nyai Larapati, otak Mbah Karso yang biasa bersih jadi rusak ternoda. Dia merencanakan hal yang dilarang agama, mencuri ayam cemani hitam untuk ritual pembangkitan Mawar, cucunya yang sudah tiada.

Waktu bergulir cepat, suara adzan Maghrib berkumandang di surau desa sebelah. Desa LEDOKOMBO memang memiliki surau sendiri, tapi sudah cukup lama surau itu tak digunakan dengan alasan tak layak karena bagian depan surau sudah nyaris ambruk. Meski begitu, warga desa itu tampaknya sama sekali tak tergerak untuk sekedar membenahi surau itu. Mereka bisa saja menarik sumbangan untuk membeli bahan dan mengerjakan dengan bergotong-royong. Mereka lebih senang menaruh sumbangan untuk mengundang para penari berbadan seksi juga mengadakan pertunjukan ludruk.

Suasana desa malam ini terbilang sepi, padahal waktu belum menunjukkan pukul 7 malam. Keadaan ini digunakan untuk melancarkan aksi oleh Mbah Karso. Dia berjalan dengan langkah seringan mungkin, menyatu dalam gelap malam tanpa membawa obor. Tujuannya adalah rumah Kardi, pria yang malam itu menolak membuatkan makam untuk Mawar.

Mbah Karso mulai mengendap-endap saat hampir mencapai kandang. Dia membuka pintu kandang itu pelan, lantas mulai mengambil ayam cemani milik Kardi.

"Kok Kok Kok!"

Ayam-ayam milik Kardi mulai menimbulkan suara berisik karena tak nyaman dengan kehadiran Mbah Karso. Mbah Karso gelagapan, tak mungkin dia menutup mulut-mulut berisik ayam itu dengan satu tangan.

"Sopo iku!? (Siapa itu!?)" seru Kardi dari dalam rumahnya. **Kriettt!** Suara pintu belakang terdengar berderit. Tak lama, Kardi keluar dengan membawa sebuah obor di tangan. Jantung Mbah Karso berdegup kencang. Dia bersembunyi di belakang kandang dengan tangan membekap mulutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Tamat

    "Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit (2)

    "Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit

    Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Pocong Muka Rusak

    Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Lambe Turah Bu Jamila

    Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Kematian Markus

    Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status