Share

Bab 7

Di ruangan kelas yang berbeda, hal yang sama juga terjadi. Nyaris sama, hanya saja Mahesa tidak setenang Arjuna. Dalam menyingkapi situasi ketika semua pasang mata menatap dirinya. Sehingga keadaan kelasnya semakin gaduh.

"Eh! Asal kalian tahu saja, ya. Kalau aku juga tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Memang, ini aturan pasti atas ide atau persetujuan dari ayahku sama ayahnya Arjuna. Tapi, sekali lagi aku tegaskan ke kalian semua. Kalau aku tidak tahu apa-apa tentang aturan baru ini. Dan aku juga tidak suka dengan aturan baru ini. Sama seperti kalian!" omel Mahesa dengan nada tinggi sambil berdiri.

Lalu tanpa memedulikan sorakan serta cemohan teman-temannya, Mahesa segera berjalan untuk meninggalkan kelas. Namun, sebelum itu ia sempat berkata, "Aku akan menemui Kepala Yayasan, dan menyelesaikan hal ini. Agar aturan tadi tidak jadi diberlakukan kepada kita." Dengan nada yang jauh lebih lantang dari tadi.

Ucapan Mahesa itu langsung disambut sorak-sorai oleh semua teman-teman sekelasnya. Hingga keadaan semakin ramai melebihi keramaian di p***r. Lalu ketika ia berada tepat di depan pintu kelas. Tiba-tiba Gayatri angkat bicara, "Aku ikut denganmu, Mahesa." Sambil bergegas mendekati pemuda berambut ikal itu.

"Thanks, Gayatri," ucap Mahesa sebelum keduanya benar-benar meninggalkan kelas.

Baru saja mereka berdua berada di luar kelas. Tiba-tiba Bima menyapa sambil berjalan cepat mendekati keduanya. Sedangkan Arjuna hanya membisu dan berjalan lambat. Dengan tatapan dingin serta raut wajah yang datar.

"Kebetulan sekali, Mahesa dan .... "

"Gayatri," sambung Mahesa sambil memperkenalkan perempuan yang ada di sampingnya kepada Bima.

"Tumben kau ikut, Arjuna? Apa mereka mendesakmu atau — "

"Atas kemauanku sendiri," potong Arjuna dengan nada ketus.

"Wah-wah, baru kali ini kau seperti itu. Apa kau ta .... "

"Berisik!" potong Arjuna sekali lagi dan kali ini dengan nada tegas.

"Apa anak bahasa sudah lebih dulu ke sana atau belum?" tanya Bima yang menyela untuk mencairkan keadaan yang mulai memanas.

"Entahlah," jawab Mahesa singkat dan dari nadanya terkesan tidak enak didengar.

"Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita segera ke sana, untuk menyelesaikan ini semua. Sebelum Kepala Yayasan pergi," ajak Bima sambil tersenyum.

Dan baru saja mereka berempat hendak berjalan. Seorang siswa anak bahasa keluar dari kelas. Sosoknya tinggi besar dengan warna kulit sedikit gelap.

"Jadi kalian juga mau ke sana?" tanyanya tanpa basa-basi sambil berjalan mendekat.

"Iya," jawab Bima yang mewakili mereka berempat.

"Baguslah, dengan ini kita semua bisa bersama-sama sepakat untuk menolak aturan baru itu. Bukankah begitu, Mahesa, dan juga kau Arjuna?" tanya siswa itu dengan tatapan yang terkesan menyindir.

"Sudah, sudah. Ayo kita segera ke sana!" ajak Bima sebelum terjadi sesuatu sambil lebih dulu berjalan menuju ke ruang Kepala Yayasan yang berada di lantai tiga.

Dan mereka berempat segera mengekor tanpa banyak bicara lagi. Walau ada kesan ketidaksukaan di antara mereka semua. Namun, demi satu tujuan hal tersebut untuk sementara ditangguhkan. Karena ini menyangkut kepentingan bersama. Atas aturan baru yang memberatkan bagi siswa kelas XII.

Begitu kelimanya sampai di depan ruangan Kepala Yayasan. Mereka tidak segera mengetuk pintu, tapi saling menatap satu sama lainnya. Seakan-akan saling menyuruh siapa di antara mereka yang ingin melakukannya.

Pada akhirnya hanya ia seorang yang berani melakukan hal tersebut. Sampai-sampai tidak ada yang menyangka kalau dirinya akan mengambil tindakan itu. Apalagi ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Benar-benar tidak beretika.

Begitu pintu besar itu di buka oleh Arjuna, tampaklah seorang pria duduk di sebuah kursi kerja. Dengan hamparan meja kayu di depannya. Ia tampak tenang dan seperti sedang menanti kelima siswa itu datang menemui dirinya. Hal tersebut terlihat jelas dari seyumannya yang menyambut kedatangan Arjuna dan kawan-kawannya.

"Silahkan masuk dan duduk anak-anakku. Aku sudah menanti kedatangan kalian."

Ucapan itu terdengar sangat berwibawa dan santun. Namun, ada kesan menakutkan. Apalagi sorot matanya terlihat begitu tajam, yang mampu membuat orang menjadi takut serta gentar. Walau berada dibalik kacamata persegi yang dipakainya.

"Tidak usah sungkan, anak-anakku," ucapnya lagi saat melihat Arjuna dan kawan-kawannya masih berdiri di dekat pintu masuk.

Arjuna dan teman-temannya tidak langsung duduk. Malah lagi-lagi mereka saling memandangi satu sama lainnya. Hingga Arjuna harus kembali menjadi inisiator. Agar semuanya duduk di sofa coklat yang berada tepat di tengah-tengah ruangan.

Begitu mereka berlima telah duduk dan saling berhadapan. Sosok pria yang memiliki garis putih di kedua sisi rambutnya itu segera datang menghampiri. Ia langsung duduk di sofa yang berada di ujung meja kaca. Dengan kaki kanan berpangku pada kaki kiri serta kedua tangan yang di letakkan di masing-masing sandaran tangan.

Sungguh itu suatu posisi duduk yang mengesankan ketenangan, kenyamanan, dan sedikit keterbukaan. Namun, sekaligus ingin memberitahukan "who is the boss right here now". Tentu kesan tersebut sangat dipahami oleh Arjuna dan kawan-kawannya. Sehingga mereka semua tidak berani memandanginya secara langsung.

"Jadi apa alasan kalian keberatan dengan aturan baru itu? Bukankah itu demi kebaikan kalian juga?" tanya sosok itu tanpa basa-basi sambil tersenyum.

"Kebaikan? Itu bukan kebaikan, tapi merampas hak kami. Seakan-akan kami tidak diberi kebebasan lagi di sekolah ini."

Tanpa diduga sama sekali, Gayatri yang lebih dulu menjawab pertanyaan itu. Walau suaranya sedikit bergetar. Tapi terdengar sangat jelas dan tegas. Tanpa ada keraguan sama sekali.

"Gayatri. Namamu Gayatri-kan? Siswi yang baru pindah seminggu yang lalu. Aku dengar akhir-akhir ini kamu sangat mencolok. Padahal di sekolahmu yang dulu, kamu itu terbilang siswi yang pendiam. Kenapa?"

Mendengat pertanyaan itu membuat Arjuna dan kawan-kawannya kaget. Terutama Gayatri. Karena ia tidak menyangka sama sekali, kalau sosok itu akan berkata demikian—menyerangnya secara langsung.

"Sepertinya Bapak banyak tahu tentang diri saya. Sungguh luar biasa," puji Gayatri dengan senyuman kecut.

Lalu keadaan mendadak hening untuk beberapa saat sebelum Bima angkat bicara. Di mana ia mengutarakan beberapa alasan keberatan terhadap peraturan baru tersebut. Bima juga menjelaskan kalau apa yang dikatakannya berdasarkan suara dari teman-teman sekelasnya.

"Tidak aku sangka sama sekali, jika anak-anak IPA akan menolak aturan itu. Sungguh sangat disayangkan sekali. Padahal, aturan itu begitu menguntungkan bagi kalian anak-anak IPA," kometar sosok itu setelah mendengar kritikan tadi dengan tatapan tajam ke arah Bima.

"Maaf, bagi kami itu tidak menguntungkan sama sekali. Hanya membuat kami menjadi jauh lebih capek lagi," bantah Bima dengan tegas malah nyaris berteriak serta tatapan mata ke arah lawan bicaranya.

Bantahan dari Bima itu malah membuat Kepala Yayasan tertawa kecil. Tapi, terdengar sangat menakutkan. Dengan sorot mata yang membalas tatapan tajam dari Bima. Sehingga teman satu kelas Arjuna itu langsung menunduk dan tidak berani lagi menatap lawan bicaranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status