Share

8. Menuju Kotaraja

Dari ciri-ciri yang sering dia dengar, lelaki ini tidak salah lagi adalah Pendekar Pedang Tunggal dengan senjata andalan sebuah pedang yang bernama sama.

Bentuk pedangnya biasa saja seperti pedang pada umumnya. Usia si pendekar juga mungkin seumuran dengan Saka Lasmana.

Hanya pengalamannya mungkin sudah lebih jauh dibanding Saka Lasmana yang sebelumnya hanya berkutat di perguruan Gagak Lumayung saja.

"Kau harus ditangkap. Kau buronan para pendekar. Pembunuh guru sendiri dan pembantai murid-murid lainnya!"

Pendekar Pedang Tunggal menarik senjatanya setelah Saka Lasmana melepaskan jepitan telapak tangannya. Jujur saja kalau tidak dilepas mungkin tak bisa ditarik.

"Hah, itu lagi!" dengkus Saka, "kau adalah pendekar yang cukup ternama. Tentunya memiliki pikiran panjang. Kenapa masih terpengaruh ucapan orang-orang yang pendek pikiran itu?"

"Jadi kau mengelak tuduhan itu?"

"Sekarang, sebaiknya kau jangan ikut campur dulu urusanku. Aku sudah tahu akar permasalahannya, aku akan menyelesaikan sendiri masalah ini!”

"Kenapa kau tidak jelaskan saja sekarang padaku?"

"Memangnya kau mau percaya ucapan buronan?" balik tanya Saka. Dalam hati kenapa pendekar yang sudah terkenal ini bersikap tolol begini.

Saka Lasmana garuk-garuk kepala menahan tawa.

"Aku tidak bisa mengalahkanmu, aku mundur. Seperti saranmu, aku tidak akan ikut campur lagi!"

Pendekar Pedang Tunggal berkelebat pergi. Lalu Saka Lasmana lepaskan tawa yang dari tadi ditahan-tahan.

"Hua ha ha ha ...! Dasar tolol. Tidak dinyana pendekar yang sudah punya nama ternyata tolol. Ah!”

Saka menepuk kening sendiri. "Seperti diriku juga mungkin. Sudah banyak orang menyebutku sinting. Ah! Dasar!”

Kemudian Saka melanjutkan perjalanan.

*

**

***

Kotaraja yang hendak dituju Saka bernama Karang Kamulyan. Sebenarnya bisa dikatakan belum lama menjadi ibukota kerajaan Galuh.

Malah sebelumnya bukan Galuh nama kerajaan tersebut, tetapi Kendan. Raja ketiga Kendan yaitu Sang Kandiawan yang bergelar Rajaresi Dewaraja mewariskan tahta kepada putra bungsunya yaitu Wretikandayun.

Begitu dinobatkan menjadi raja Kendan, Wretikandayun memindahkan ibukota ke Karang Kamulyan yang sudah ia bangun sejak lama. Juga mengganti nama Kendan menjadi Galuh yang artinya permata.

Karang Kamulyan semakin ramai setelah menjadi kotaraja. Namun, pada saat itu Galuh masih menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.

Di sisi lain pamor Tarumanagara sedang menurun. Keberadaan Galuh di wilayah timur apalagi terhalang sungai Citarum seolah menjadi tidak tersentuh oleh penguasa pusat. Sehingga Wretikandayun bisa dengan leluasa membangun kekuatan besar.

Untuk menjaga kedamaian Kotaraja, pihak kerajaan tidak hanya mengandalkan instansi yang berwenang, tapi juga bekerja sama dengan dunia persilatan.

Itulah alasan keberadaan dua perguruan besar di ibukota. Girisoca dan Kalajingga.

Saka hendak memberikan benda titipan orang misterius kepada Arya Kumbara, anak ketua perguruan Girisoca.

Sebelum mencari orang tersebut, Saka ingin mencari tahu dulu tentang kedua perguruan yang berkuasa di kotaraja itu.

Sebelum memasuki gerbang kota, Saka menemukan sebuah kedai kecil yang berada di tempat terpencil jauh dari keramaian.

Saka segera mampir ke kedai tersebut yang mana sudah ada satu orang tengah menyantap hidangan di sana.

“Ki Sanak pasti hendak ke kotaraja!” ujar lelaki tua yang sedang mengisi perutnya kepada Saka.

“Ya,” jawab Saka sambil mengambil sebuah makanan yang tersaji di meja kedai setelah duduk di sebelah lelaki tua itu.

“Banyak orang yang mengadu nasib di kotaraja. Tapi di sana ada dua pengaruh yang sama-sama kuat. Setiap orang yang ke sana harus mengikuti salah satunya,” lanjut si orang tua.

Saka sudah tahu apa dimaksud orang tersebut.

“Bagaimana kalau tidak memilih salah satunya?” tanya Saka kemudian.

“Kau akan dipaksa atau dengan cara halus atau kasar akan diusir!”

“Mungkin itu untuk orang yang hendak buka usaha, tidak untukku yang hanya ingin tinggal beberapa hari saja,” sanggah Saka.

“Tapi kau akan mencari tempat untuk tinggal. Tempat yang akan kau pilih tentunya pengikut salah satu yang berkuasa di sana. Kalau sudah masuk ke sana, maka kau dinyatakan sudah jadi pengikut mereka. Apabila berpindah ke tempat lain yang menjadi pengikut satunya, maka akan dianggap pengkhianat dan harus dihukum!”

Saka diam sejenak. Orang tua ini ternyata tahu banyak situasi di dalam kota. Namun, sejak tadi Saka tidak menemukan bahwa orang itu dari kalangan persilatan.

“Lantas, bagaimana menurut Ki Sanak. Kelompok mana yang harus saya ikuti?” tanya Saka mencari kejelasan. Sedangkan dia sudah tahu harus menemui Arya Kumbara yang pastinya akan menjadi pengikut perguruan Girisoca.

“Perguruan Girisoca terkenal baik, ramah. Mereka memberi modal kepada para pelaku usaha dan mengembalikan kalau sudah mampu membayarnya tanpa imbalan apa pun,” tutur si orang tua.

Para pelaku usaha juga baik di bidang perdagangan atau jasa tidak dipungut pajak kecuali kepada pemerintah, tetapi mereka dengan sukarela memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih kepada perguruan Girisoca.

Keamanan mereka juga dijaga oleh murid-murid perguruan Girisoca yang ditugaskan untuk pengamanan.

“Sedangkan perguruan Kalajingga, “lanjut si orang tua. “Mereka hanya memberikan pengamanan saja. Tidak memberi modal, tapi menarik pajak. Jadi pengikut mereka harus membayar pajak dua kali. Kepada pemerintah dan perguruan!”

Saka angguk-angguk pelan. Sudah terbayangkan suasana di sana. Perguruan Kalajingga terkesan buruk.

Mungkin yang sudah menjadi pengikut perguruan tersebut merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

“Terima kasih atas keterangannya, Ki Sanak!”

Saka berdiri, membayar beberapa kepeng perak kepada pemilik kedai. Kepeng itu dia dapatkan di rumahnya walau sedikit. Mungkin Rinjani atau Boma Sagara tidak memerlukan kepeng tersebut sehingga ditinggalkan begitu saja.

Kemudian Saka melangkah ke arah pintu gerbang yang jaraknya masih puluhan tombak.

Semakin dekat, semakin ramai. Banyak rumah dan tempat lainnya seperti kedai dan penginapan. Mungkin yang di luar gerbang ini tidak kebagian tempat di dalam dan tentunya tidak tunduk pada aturan yang terkesan menakutkan itu.

Namun, semakin dekat pula Saka merasakan ada banyak orang yang diam-diam menguntitnya. Dugaannya tidak jauh pasti ingin menangkapnya. Dia masih seorang buronan.

Sampai akhirnya ketika di tempat yang agak sepi, barulah orang-orang yang menguntit Saka menunjukkan diri dengan mengepungnya.

Semuanya dari kaum pendekar. Saka baru pertama kali dikepung banyak orang. Sebelumnya dia hanya melawan tujuh orang. Saka langsung siaga.

“Buronan hendak kabur ke kotaraja agar tidak ada yang berani menangkapmu! Tak akan aku biarkan!” teriak salah seorang.

“Lebih baik menyerah!” sahut yang laiin.

“Dan serahkan surat yang kau bawa itu!”

Yang terakhir ini membuat Saka tampak terkejut. Bagaimana bisa ada orang tahu dia membawa gulungan surat daun lontar?

“Saya punya hak membela diri!” seru Saka, lantang.

“Kau tidak mengukur diri! Kau pikir dirimu dewa. Daripada mati konyol, lebih baik menyerah!”

“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Saka mulai keluar sifat sintingnya. Sama sekali dia tidak merasa takut melawan banyak orang sekaligus.

“Cari mati!”

“Serang!”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bedog
ko ada buka kunci segala..hadeeh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status