Share

Cuma Dianggap Perawat

Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku.

"Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas."

Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua.

Astaga, apa ini? Aku tak pernah membayangkan pernikahan seperti ini, apalagi dengan mengambil upah karena merawat suami yang lumpuh. Tak terbersit sedikit pun rencana atau keinginan aneh tersebut. Justru aku merasa terpanggil ingin merawatnya sampai sembuh layaknya seorang istri. Meskipun sikapnya sangat dingin terhadapku.

"Adel, bagaimana?"

"Eh, A–adel … nggak tahu, Bu, eh Mama." Aku yang terkejut karena bahuku ditepuk Bu Lasmi, jadi bicara tergagap saat menjawabnya.

Bu Lasmi menatapku lamat-lamat, mungkin memastikan lagi jawabanku. Lalu entah bagaimana caranya tiba-tiba kuanggukkan kepala dengan sendirinya isyarat iya. Aku seakan terhipnotis saat ditatap selekat itu. Seperti ada yang mendorongku untuk mengiakan.

"Tapi Ma, maksudnya bukan iya mau dibayar karena merawat Mas Rayyan, Adel ikhlas kok merawatnya tanpa bayaran apa pun," jawabku menegaskan tak ingin Bu Lasmi salah paham. Bagiku merawat orang sakit itu bisa mendatangkan berkah dan kuharap itu yang kudapat dengan merawat suami yang lumpuh.

"Oh, ya terserah. Baguslah kalau kamu tidak meminta bayaran. Tolong rawat anakku dengan baik dan apa pun yang dikatakannya tolong jangan dimasukkan ke hati. Sejak dia di duduk kursi roda karena kecelakaan itu, sejak saat itu dia sangat sensitif dan gampang marah, jadi kalau dia bersikap buruk padamu, tolong dimaafkan dan dimaklumi. Tolong bertahan sebentar sampai dia sembuh karena sudah sekian orang yang kubayar untuk merawatnya, hm…." Bu Lasmi menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seperti berat untuk melanjutkan.

"Semua berakhir buruk, mereka minta berhenti cepat karena tak sanggup dengan sikap kasar Rayyan," ujarnya melanjutkan.

Aku mencoba meresapi ucapan ibu mertuaku barusan. Entah sekasar apa laki-laki itu. Kuharap tak sampai melampaui batas. Namun siapa pun mungkin akan bersikap demikian karena tiba-tiba harus duduk di kursi roda. Apalagi masih muda, seakan kehilangan masa depannya. Emosinya berubah menjadi wajar karena pasti sulit untuk bisa menerima keadaan dirinya sekarang ini.

"Hm … Adel. Ada lagi yang ingin disampaikan?"

Aku terdiam, berpikir cepat lalu menggelengkan kepala padanya. "Tidak ada, Ma."

Bu Lasmi menganggukkan kepala. "Bisa tinggalkan Mama?" Lirikan Mama ke arah laptopnya. Kode memintaku pergi dan sepertinya beliau lagi sibuk dengan pekerjaannya. Kaca mata masih bertengger manis di hidung mancungnya.

Kuanggukkan kepala dan pamit pergi.

Setelah dari menemui Mama, langkahku refleks kembali ke kamar suamiku itu. Aku sendiri bingung kenapa malah ke sana.

"Masuk!"

Deg!

Mendengar suara tegasnya membuatku gugup seketika. Lagipula pergi kemana lagi karena aku belum paham dan mengenal betul rumah ini. Baik Ibu mertua maupun orang yang tinggal di rumah ini tidak mengatakan apa pun aku harus apa dan tidur dimana.

Perlahan masuk dengan langkah hati-hati. Menatap ke sosok yang sedang fokus ke sebuah buku di tangannya.

Suamiku itu menoleh sebentar ke arahku. Lalu kembali menatap bukunya. Hening mewarnai suasana di kamar ini. Laki-laki itu diam dan aku pun ikutan diam.

"Kenapa kemari lagi?" Setelah sekian menit aku berdiri tanpa pergerakan, akhirnya Mas Rayyan bersuara.

"Aku istrimu, jadi … ini kamarku juga, bukan?" jawabku dengan berani. Masih di tempatku berdiri, di depan pintu yang tertutup.

"Tapi aku tak ingin tidur sekamar denganmu. Jadi, keluar dan jangan masuk sini lagi!"

Aku tersentak. Jadi ini maksud ibu mertuaku akan sikap kasar anaknya? Benar, ini kasar dan menyakitkan.

"Mama memintaku di sini. Bagiku, aku istrimu dan kamu suamiku, aku tidak akan pergi. Kalau kamu cuma menganggapku perawatmu, ya anggap saja begitu, tapi aku tetap di sini."

Tak ada balasan dari laki-laki bergelar suami tersebut. Aku memberanikan diri mendekatinya. Meskipun jujur aku sangat takut.

"Baca apa?" tanyaku mencoba mengajaknya bicara.

Tak ada jawaban.

Kucoba makin dekat.

"Brak!"

Rayyan menutup bukunya dengan keras.

"Keluar!" ucapnya lagi terdengar keras.

"Ehm, aku–"

"Keluar! Aku ingin sendiri!" titahnya lagi dengan berteriak. Buku yang dipegangnya sampai diangkat ke atas seolah ingin melemparkannya ke arahku.

Melihat hal tersebut bergegas aku menuju pintu dan keluar dari kamarnya.

"Non, tidak apa?"

"Astagfirullah!" Aku sampai beristighfar saking kagetnya. Tiba-tiba seorang laki-laki muda, mungkin pekerja di rumah ini menegurku yang berada di depan pintu kamar Rayyan, lagi bersandar di dindingnya. Aku belum pernah melihatnya, tapi kalau dia ada di sini pasti salah satu orang yang kerja di rumah ini. Entah berapa orang yang bekerja di sini, aku belum mengetahuinya. Belum kenalan apalagi dikenalkan. Bahkan aku belum sarapan sampai detik ini. Tak ada yang menawariku makan. Pantas perutku melilit sakit saat melihat makanan yang dibawa laki-laki tersebut di hadapanku.

Aku menggeleng lemah sembari meneguk saliva.

Lelaki itu tersenyum tipis ke arahku.

"Yang sabar ya Non. Ini saya bawakan sarapan pagi untuk Den Rayyan. Hm, kalau bisa Non saja yang antarkan. Boleh?" tanyanya terdengar hati-hati dalam berucap. Nampan berisi piring sarapan pagi itu disodorkannya ke arahku.

Aku sebenarnya ingin menolak, tapi kepalaku tak bisa diajak kerja sama. Dia malah mengangguk mengiakan.

"Terima kasih, Non. Kata Nyonya, nanti kalau Non mau makan, bisa ke ruang makan. Di sana sudah tersaji sarapan pagi ini. Memang agak siangan dikit dari waktunya. Kalau Den Rayyan memang tidak keluar. Dia suka berada di dalam kamarnya. Jadi tolong dimaklumi."

Aku cuma mengangguk dan menerima nampan berisi sarapan suamiku itu. Lalu masuk kembali ke dalam kamar dengan hati nelangsa.

"Mana Deden? Bukankah tadi suaranya? Kenapa kamu lagi yang masuk?" tanyanya amat ketus.

Oh, namanya Deden. Laki-laki itu yang mengetuk pintu dan izin membawakan sarapan pagi untuk suamiku ini. Namun aku yang mengantarkannya ke dalam. Terpaksa.

"Sama saja bukan, yang penting kamu makan," sahutku setelah memangkas jarak darinya.

"Biasanya diletakkan dimana?" tanyaku lagi. Aku tidak tahu dimana suamiku makan dan bagaimana caranya makan saat di kamar tidur. Apa piring ini diletakkan di atas nakas atau di atas tempat tidur.

"Disuapin."

"Hah? Apa?" tanyaku memastikan. Aku takut salah dengar. Takut juga membuatnya marah.

"Biasanya aku makan disuapin," ulangnya lagi membuatku ternganga.

Disuapin? Astaga! Sepertinya aku memang perawat, bukan istrinya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status