LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU

LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU

Oleh:  Syarlina  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
39Bab
10.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Aku juga anakmu kan, Yah? Kenapa cuma aku yang diminta berkorban? Sejak kecil Ayah memperlakukanku berbeda dari Bella. Bukan karena ku iri, tapi ini sudah kelewatan, ini menyangkut masa depanku. Apa aku tak berhak bahagia?" Adelia merasa ayahnya tak adil dalam memberi kasih sayang. Sejak kecil dia selalu mengalah demi Bella, adik kandung yang terlahir dari rahim berbeda. Sekarang demi baktinya, ia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, bahkan katanya calon suaminya itu cacat.

Lihat lebih banyak
LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
39 Bab
Diminta Pulang
"Pulang Nak, ada yang harus Ayah sampaikan," ucap Ayah di ujung telepon. Tiba-tiba Ayah menghubungiku, biasanya aku yang menghubungi beliau lebih dulu. "Bilang penting, biar Adel pulang!" Terdengar sayup suara memerintah di seberang sana dan aku tahu itu suara siapa. Itu Ibu Mayang, istri Ayah. "Penting, Del, pulang ya." Ayah menuruti perintah suara tersebut dan terdengar memelas padaku. Aku tak suka mendengarnya. "Memangnya kenapa, Yah? Ada masalah apa? Bukannya pernikahan Bella seminggu lagi ya? Ada masalah?" tanyaku mencoba menebak dan memancing agar diberitahu. Setahuku memang bakal ada pernikahan di keluarga kami, pernikahan Bella, adikku. Itu pun terkesan mendadak tiba-tiba kudengar dia dilamar, dan baru diberitahu Ayah seminggu sebelumnya. Namun tak begitu jelas akan menikah dengan siapa dan aku tak ingin membahas lebih dalam juga. Jadi kupikir akan pulang sehari sebelum hari itu terjadi. Aku tak enak harus izin cuti lagi dari pekerjaan karena sebulan lalu sudah ambil cuti.
Baca selengkapnya
Keputusan Adelia
Hah? Mulutku terbuka lebar dengan mata membulat sempurna. Tatapanku makin dalam pada Ibu seolah meminta dijelaskan lebih detail apa maksud perkataannya barusan. "Iya, kamu yang harus menggantikan Bella menikah sama Rayyan." Aku refleks menatap Ayah memastikan ucapan istrinya ini benar atau hanya sebuah lelucon. Bisa saja kan mereka lagi mengerjaiku walaupun rasanya itu sangat mustahil. Namun Ayah hanya tertunduk makin dalam seakan takut menatapku dan membenarkan semuanya. "Tunggu, ini apa maksudnya? Kenapa jadi Adel yang menggantikan Bella?" Pertanyaan itu terlontar juga dari mulutku. Aku ingin kejelasan. Kutatap tajam semua orang yang berada di ruangan ini. Tak terkecuali Ayah. "Kak Adel tenang saja. Rayyan itu ganteng kok. Ini fotonya kalau Kakak tidak percaya." Bella sudah merangsek maju ke arahku menunjukkan foto di dalam ponselnya tanpa kuminta. Foto laki-laki yang seharusnya adalah calon suaminya. "Ganteng kan Kak. Dia juga anak orang kaya. Kakak pasti tidak akan menyesal
Baca selengkapnya
Serba Mendadak
"Sebenarnya aku ini anak Ayah atau bukan?" Saat menanyakannya, pandanganku ke arah lain, enggan menatap sosok yang sedang kuberi pertanyaan tersebut. Sakit hati melihat dia yang kuanggap keluarga satu-satunya tak pernah berpihak padaku, bahkan untuk keputusan penting menyangkut masa depanku. Apa benar aku darah dagingnya atau justru ternyata anak pungut hingga kasih sayangnya tak pernah adil kepadaku. Tinggal kami berdua di ruang tamu ini karena Ibu pergi menemui Bu Lasmi untuk memberitahukan kesiapan pernikahan nanti lusa sedang Bella pergi keluar dengan alasan ada janji dengan teman."Ah, adikku itu enak sekali hidupnya, tidak sepertiku." Aku membatin dalam hati meratapi perbedaan kami. "Kamu anakku, Del. Anak kesayanganku." Mataku mendelik tak suka dan refleks menatap orangtua yang garis wajahnya mirip denganku itu. "Anak kesayangan tapi rasa anak tiri. Begitu kan, Yah? Apa Ayah sadar sedari kecil tak pernah menunjukkan rasa itu padaku? Ayah terus saja fokus ke Bella. Seakan
Baca selengkapnya
Menikah
Aku terbatuk mendengar pertanyaan Wina karena kaget. Tenggorokanku terasa tercekat. Ingin minum tapi benda cair tersebut tidak ada di kamarku. "Tunggu aku ambilkan air." Wina seolah paham dengan kondisiku. Namun tanganku menahan langkahnya. Kepalaku menggeleng menolak keinginannya tersebut. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Setelah berdeham beberapa kali rasanya sudah mendingan. Wina urung keluar kamar. Aku tidak ingin merepotkannya. "Maaf ya, cuma nanya. Soalnya aneh saja karena pernikahanmu terkesan mendadak dan ala kadarnya. Pagi buta diminta dadakan ke sini buat menghiasmu. Tak pernah terjadi padaku. Kukira ada insiden tersebut," ujarnya menjelaskan. "Apa yang kalian tahu tentang pernikahanku ini? Maksudku apa kata warga sini? Mereka tahu kalau aku akan …."Wina menggendikan bahunya. "Sama sepertiku. Tidak tahu. Bu Mayang bahkan minta aku merahasiakan pernikahan ini. Kamu pulang saja sepertinya tidak ada yang tahu." Wina memberitahu sedikit berbisik sambil menoleh ke arah pi
Baca selengkapnya
Mencari Jawaban
"Yan, tunggu dulu. Sebentar lagi, ya? Kita ambil foto dulu. Sebagai bukti." Bu Lasmi mencoba menenangkan anaknya, yang tidak lain adalah suamiku saat ini. Namun perkataannya barusan justru memantik rasa penasaranku. Sebagai bukti? Maksudnya?Aku menatap keduanya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Lalu refleks beralih memandang dua orang yang kukenal, Ibu dan Bella. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ibu seolah tak tahu menahu dan langsung melengos, sedang Bella, adikku itu tersenyum miring. "Del, dekatan lagi. Biar fotonya bagus.""Hah?! Oh, iya," jawabku kaget tapi segera menurut. Aku mendekatkan badanku ke Rayyan yang tak bergerak sama sekali dari posisinya duduk. Tak menoleh juga ke arahku. Beberapa buah foto diambil layaknya sebuah foto pernikahan, meskipun ekspresi Rayyan tak menunjukkan rasa suka, apalagi bahagia. Sama sepertiku namun aku masih bisa menyembunyikan rasa itu. Tidak sepertinya yang blak-blakan menunjukkan. Setelah sesi foto berakhir kulihat Rayyan
Baca selengkapnya
Cuma Dianggap Perawat
Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku. "Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas." Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua. As
Baca selengkapnya
Harus Satu Kamar
"Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip. Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara. "Aku kenyang." "Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang. "Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segamp
Baca selengkapnya
Mau Mandi
"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
Baca selengkapnya
Kunjungan Seseorang
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi
Baca selengkapnya
Mulai Terungkap
"Maaf, ya, yang tadi cuma bercanda kok." Dika meminta maaf dan mungkin untuk perkataannya yang ingin merebutku dari Mas Rayyan. Aku hanya tersenyum tetap dalam posisi yang sama berada dua meter dari mereka. Tidak juga mempercayai ucapannya karena aku yakin dia tak serius. Lagipula siapa diriku ingin diperebutkan oleh kedua laki-laki tampan ini? Meskipun yang satu statusnya jelas suami sendiri. Kulihat Dika masih sibuk memeriksa kondisi Mas Rayyan. Beberapa peralatan kedokteran dikeluarkannya dari dalam tas yang dibawanya. Aku mengamati serius apa yang dilakukannya. "Mau coba berjalan?" Mas Rayyan menggeleng tanda menolak."Tidak langsung jalan, mencoba berdiri dulu. Pelan-pelan." Suamiku itu tetap menggelengkan kepalanya.Terdengar helaan napas Dika. "Cobalah terapi berjalan, pasti cepat sembuh. Lumpuhmu ini tidak permanen, Yan. Kamu saja yang malas. Mau sampai kapan duduk di kursi roda? Jangan sampai menyesal nantinya," nasihat Dika. Ucapannya benar. Kalau memang ingin sembuh, ha
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status