Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.][Rumahmu di sebelah mana?][Aku boleh, kan, ke rumahmu?][Kenapa ponselmu mati?]Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.][Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.Aku mengambil celengan
Orang itu membantu Dika menepikan motor, lalu berlari ke arahku. Tubuhnya juga sudah basah, kemeja putih yang ia pakai, mencetak bentuk tubuhnya yang atletis.”Kamu gakpapa, 'kan? Kakimu?””Saya gakpapa.” potongku cepat.”Tapi perban di kakimu basah,” lanjut Dokter Darel. Ya, lelaki yang mengendarai mobil tadi adalah Dokter Darel. Orang yang kemarin merawatku di rumah sakit.”Bagaimana, Vi? Bisa jalan?” ucap Dika saat sudah berada bersamaku dan Dokter Darel. Aku mengangguk.”Kita ke rumah sakit. Biar aku lihat kondisi kaki Vio,” ajak Dokter Darel.”Gak perlu, Dok. Nanti biar perbannya saya ganti di rumah,” tolakku.Dika menghidupkan motornya, aku berusaha naik ke atas motor. Namun, rasa nyeri membuatku meringis kesakitan. Dokter Darel menarik pergelangan tanganku.”Kalau tidak mau ke rumah sakit, biar aku antar kamu pulang. Lukamu tidak boleh bertambah basah. Aku takut bisa mengakibatkan infeksi. Nanti biar kuganti perbannya di rumahmu.”Aku menatap Dika, ia mengangguk. Mungkin Dika j
Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku mengambil dompet Ibu. Hanya dompet Ibu, uangku masih aman di dompetku.”Kembalikan kunci motornya Dika, baru aku kasih uang ini ke Om.” Aku meminta syarat sebelum memberikan uang itu.Om Hengki menyerahkan kunci motor ke Dika, lalu menyambar uang yang aku genggam.”Hanya segini?” tanya Om Hengki sambil membulatkan mata.”Memangnya Om kira kami orang kaya!” timpal Dika. ”Semua itu uang milik Ibu yang harusnya untuk biaya makan kami setiap hari.” Dika memicingkan mata, aku tahu, Dika tengah mati-matian meredam emosinya.”Aku tidak peduli, bahkan kalau kalian kelaparan sekali pun aku tak peduli!” Om Hengki berbalik menuju motornya. Ia pergi setelah itu.Dika mengepalkan tangan, memukul angin sambil mengumpat. Aku menarik lengan bajunya. Aku takut Dika lepas kendali, aku tidak ingin kejadian serupa terulang. Dika harus lulus sekolah. Ia tidak boleh terlibat dengan tindakan kriminal.”Harusnya kamu jangan kasihkan uang itu!” ucap Dika sambil menghid
Dika tidak menjawab, ia menerobos masuk mendahuluiku. Aku berusaha mengejar. Namun, aku kalah cepat. Dika sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.”Dik, kamu kenapa?” Aku mengetuk pintu kamar Dika berulang kali. Namun, tetap tak ada jawaban. ”Diiik!””Ganti bajumu lalu makanlah! nanti aku cerita,” ucap Dika dari dalam kamar.Aku menuruti kemauan Dika tanpa bertanya lagi. Dika tidak suka diintrogasi. Dika akan cerita semua ketika ia mau, bukan dengan paksaan. Aku sangat mengenal watak Dika, ia memang keras, tetapi hatinya sangat baik. Ia bisa dengan mudah memukul, tetapi bisa dengan cepat meminta maaf. Mungkin, sifat kerasnya turun dari Bapak. Namun, hatinya sangat baik. Dan aku tahu, tidak mudah menjadi Dika yang kini juga punya tanggung jawab untuk menjagaku, meski usia kami sama.Usai mengganti baju, aku menggoreng dua telor mata sapi. Aku sudah menanak nasi tadi pagi dan membuat omlet untuk sarapan. Aku tidak punya bahan makanan lain untuk dimasak kecuali telor dan m
Bab 9Usai mengambil kartu ujian di sekolah aku menunggu Dika untuk pergi ke kantor polisi. Aku izin pulang lebih awal, karena tepat jam sepuluh kami harus sudah sampai di sana. Tidak kuduga, mobil silver milik Dokter Darel sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Melihatku keluar dari sekolah, ia pun keluar dari mobilnya sambil melambaikan tangan.Persis adegan dalam drama korea yang pernah kutonton. Dokter Darel terlihat sangat tampan dengan kaos putih dan luaran kemeja bermotif kotak halus yang lengannya dilipat hampir sampai siku. Andai ia seumuranku, dan status sosial kami tidak jauh berbeda, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Cinta monyet mungkin, karena sampai usiaku delapan belas tahun, aku belum penah merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Aku hanya mendengar cerita dari Ghea yang sudah berpacaran sejak di bangku SMP.Pernah sekali waktu aku mendapat kiriman coklat di hari valentine disertai dengan ungkapan cinta dari salah satu teman sewaktu duduk di bangku SMP. Namun,
Sekian detik, Ibu menatap Dokter Darel. Lalu tiba-tiba menutup mulutnya.”Kamu ... Arka, bukan?””Iya, aku Arka, adiknya Mahesa.”Aku kembali dibuat melongo oleh pengakuan Dokter Darel. Ia mengaku sebagai Arka, dan Ibu mengenalnya.”Bagaimana kamu bisa ...?” ucap Ibu tertahan.”Kebetulan, Vio pasienku di rumah sakit. Kejadian hari itu gempar dan viral. Saat kulihat wajah pelaku tersebut aku dibuat kaget karena sangat mirip dengan Mbak Ningsih. Sampai aku mencari sumber berita yang valid untuk memastikan kalau itu Mbak Ningsih. Dan wajah Vio, sangat mirip denganmu, Mbak.”Aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Aku semakin penasaran dengan Dokter Darel. Kalau hanya hubungan biasa, Dokter Darel tidak akan memperlakukanku sampai sebaik ini.”Kamu sudah menjadi Dokter?” tanya Ibu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.”Iya, berkat Mas Mahes. Sayangnya, sekarang Mas Mahes--””Ada apa dengan Mahes?” potong Ibu”Nanti setelah semuanya lebih baik, aku akan mengajak Mas Mahes menemui Mbak
[Selamat pagi, Vio. Ada rencana apa hari minggu ini?] Sebuah chat dari Dokter Darel menghentikan sarapanku.[Pengen jenguk Ibuk, tapi kalau hari Minggu nggak ada jam Besuk. Jadi mau belajar saja, besok ujian hari pertama.] jawabku.[Anak pinter harus rajin belajar, ya. Oya, kamu punya hutang nilai yang bagus. Harus dibayar lunas, ya.] Dokter Darel mengingatkan.[Siap, Dok. Meski nggak pernah rangking satu, saya akan berusaha mendapatkan nilai yang bagus.][Ada kabar untuk kamu dan Dika.][Apa, Dok?][Besok bapak kamu sudah boleh pulang. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap belajar, ya.][Dok ....][Iya, kenapa, Vi?][Memang pulangnya nggak bisa ditunda sampai aku selesai ujian, ya?][Nggak bisa. Dokter yang menangani Pak Beni bukan aku. Aku tidak bisa melakukannya untukmu. Apa yang kamu khawatirkan? Kamu takut apa?][Nggak ada, Dok. Cuma ....][Cuma apa? Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadiran bapakmu, kamu bisa tinggal bersamaku.][Enggak, kok. Cuma malas berisik saja. Pengen f
”Assalamualaikum,” ucapku pelan. Tidak ada yang menjawab. Dua orang dewasa itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.Aku melangkah masuk. Tanpa melihat mereka aku berjalan ke arah kamar. Namun, belum sampai di kamar Mita menghadangku.”Duduk!” perintahnya. Aku menatap matanya.”Kamu tidak ada hak memerintahku,” ketusku.”Vio!” bentak Bapak. ”Mita istriku, berarti dia ibumu juga. Turuti perintahnya. Duduk!” Bapak melotot ke arahku. Ia membuang rokok, lalu memukul meja.”Ibuku ya cuma ibu, bukan dia,” ujarku sambil mengalihkan tubuh wanita itu dari hadapanku.”Sudah berani kurang ajar kamu, ya? Duduk kataku!” Bapak kembali menggebrak meja. Beruntung mejanya terbuat dari kayu. Andai dari kaca, pasti sudah hancur berkeping-keping.Aku tidak mau Bapak benar-benar mengamuk. Aku duduk berseberangan dengan Bapak. Mita duduk di sebelah Bapak, ia menekuk wajah. Seperti ada kemarahan yang ingin ia lepaskan kepadaku.”Apa kamu tidak merasa bersalah? Kamu tidak ingin minta maaf ke Bapakmu