Share

Bab 4

Matahari mengintip dari balik tirai yang tersingkap. Rupanya aku tertidur lagi. Dika sudah tidak ada di kursi. Jatah sarapan dari rumah sakit sudah ada di atas nakas. Jam 07.00 WIB. Aku meregangkan otot. Rasa sakit di tubuhku sudah banyak berkurang, yang masih terasa nyeri hanya telapak kaki kanan. Mungkin luka pecahan piring cukup dalam menembus kulitku.

”Sarapannya dimakan dulu, Mbak.”

Seorang perawat membuka pintu, memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah. ”Mau dibantu, Mbak?” lanjutnya. Aku menggeleng. 

”Apa hari ini aku sudah boleh pulang, Mbak?” tanyaku lirih.

”Sepertinya sudah. Nanti kita tunggu Dokter visit dulu, ya. Untuk suhu tubuh dan tekanan darah Mbak Vio normal, kok. Apa ada keluhan lain?” terang perawat cantik itu. Lagi-lagi aku menggeleng.

Aku duduk di tepi ranjang. Makanan yang disediakan oleh rumah sakit belum kusentuh. Aku mencoba berdiri dan berhasil, tetapi hanya sekian detik. Rasa nyeri menyerang hingga ke ubun-ubun. Aku duduk sebentar, lalu mencoba lagi. Percobaan kedua berhasil lebih lama.

’Aku harus sembuh, aku harus segera berjalan seperti kemarin. aku ingin segera bertemu Ibu.’

Akhirnya aku berhasil melangkahkan kaki kananku yang terbalut perban. Beberapa langkah, lalu kembali berdiri di kasur. Tak lama kemudian Dokter yang menanganiku datang. Ia masih muda, mungkin usianya baru sekitar 35 tahun.

”Bagaimana keadaanmu? Apa kakimu sudah bisa untuk berjalan?”

”Iya, Dok. Jauh lebih baik. Apa hari ini saya sudah boleh pulang, Dok?”

”Iya boleh. Tapi tetap harus rutin minum obat, ya. 3 hari lagi kontrol ke sini, dan ingat, lukamu belum boleh kena air. Kalau mau ke kamar mandi, bungkus kakimu dengan plastik. Mengerti? Ada yang mau ditanyakan lagi?” Dokter itu tersenyum manis. Ada lesung di kedua pipi, dan itu membuatnya terlihat sangat manis.

”Tidak, Dok. Terima kasih.”

”Baiklah, cepat sembuh, ya!”

Aku mengangguk. Dokter itu keluar kamar, sampai di pintu ia berpapasan dengan Dika. Dika tampak mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

”Bagaimana Ibuk?”

”Aku belum ke sana. Kenapa sarapannya belum dimakan? Nggak suka? Kalau kamu mau, aku bisa belikan kamu makan di luar.”

”Nggak usah, biar kumakan setelah ini. Kenapa belum ke tempat Ibuk,” cecarku.

”Masih terlalu pagi. Nanti agak siangan dikit.”

”Tapi Ibuk beneran baik-baik saja kan, Dik?”

”Iya, tak perlu khawatir. Aku akan membereskan barang-barangmu. Nanti setelah dapat obat kita pulang.”

Dika mengemasi barang-barang yang kami bawa. Tidak banyak, karena hanya dua hari aku di rumah sakit. Selang satu jam seorang perawat kembali masuk ke kamar. Membawa obat dan surat kontrol. Jam di dinding baru menunjuk angka sembilan pagi.

Dika mengambil kursi roda yang ada di sudut ruang.

”Naiklah. Kakimu pasti masih sakit. Parkiran motor cukup jauh dari sini.”

Aku menurut, duduk di kursi roda, membiarkan Dika membawaku keluar kamar inap. Belum jauh dari kamar yang aku tempati, aku melihat wanita hamil yang bersama Bapak tempo hari. Apa ia periksa kandungan? Atau ...

Rupanya wanita itu juga melihatku dan Dika. Ia berjalan cepat menuju kami. Sesekali, aku melihatnya hampir menabrak orang yang lalu-lalang.

”Anak sialan, berhenti!” hardiknya. Dika menghentikan kursi rodaku, ia menatap sinis wanita cantik itu.

”Mau apa? Kami sudah tidak ada urusan lagi denganmu,” sahut Dika.

”Enak saja. Bapakmu masih sekarat dan kamu mau lepas tanggung jawab, hah?”

Bapak sekarat? Itu artinya Bapak tidak meninggal, dan Ibu bisa bebas dari hukuman. Aku memicingkan mata. Wanita itu menatapku tajam.

”Mana uang untuk bayar rumah sakit? Bapakmu butuh banyak uang, dan aku tidak punya uang sebanyak itu.”

”Bukan urusan kami. Semua ini terjadi gara-gara kamu. Urus saja suamimu itu!” Dika kembali mendorong kursi rodaku. Namun, wanita itu menahannya.

Wanita itu ... aku bahkan tidak tahu namanya. Tiba-tiba ia datang di kehidupan kami. Melukai hati Ibu, membuat kekacauan di rumah, dan sekarang ia minta uang untuk biaya rumah sakit Bapak.

Dika menepis tangan wanita itu, tetapi wanita itu semakin kuat menahan kursi rodaku. Ia bahkan sempat menarik rambutku. Aku memegang tangannya, menahan rasa sakit akibat perbuatannya. Dika kembali menepis tangan wanita itu, lalu mendorongnya.

Kami menjadi bahan tontonan. Beberapa orang sempat mengabadikan dengan ponselnya. Barangkali, kejadian ini akan kembali menjadi berita viral di media sosial.

”Sekali lagi kamu menyentuh dan menyakiti Vio, aku akan melaporkanmu ke polisi. Aku tidak peduli kamu hamil. Camkan itu!”

Dika kembali mendorong kursi roda. Aku membenahi rambut yang sempat ditarik paksa. Sementara wanita itu meneriaki kami dengan sumpah serapah. Ah, sepertinya ia memang lebih cocok menjadi istri Bapak daripada Ibu. Mereka suka sekali mengeluarkan kata-kata kotor dari mulutnya. Dan lagi, mereka sama-sama bersikap kasar. Kalau benar anak yang dikandungnya adalah anak Bapak, seperti apa anak mereka nanti?

Dika berhenti di lobi. ”Kamu aku tinggal sini gakpapa, kan? Aku ambil motor dulu di parkiran.” Aku mengangguk.

”Sudah mau pulang.” Seseorang menepuk bahuku sepeninggal Dika. Aku menengok. Orang itu tersenyum lalu berjalan ke hadapanku, ia sedikit jongkok agar bisa sejajar denganku yang duduk di kursi roda.

Ia masih tersenyum menatapku, aku menjadi salah tingkah. Ia adalah Dokter yang memeriksaku tadi.

”Iya, Dok. Kok Dokter ada di sini?”

”Ya, kan ini rumah sakit, Vio. Kerjaku di sini, tentu saja aku ada di sini.” Dokter itu melebarkan senyumnya. Aku menepuk jidat, menyadari kebodohanku.

”Atau kamu mau kuantar sekalian? Hari ini aku tidak ada jadwal di poli. Kebetulan rumah kita satu arah.”

”Satu arah? Dari mana Dokter tahu rumahku?” 

”Dari alamat pasien, Vio. Aku yang merawatmu kemarin. Dan aku tahu karna orang-orang membicarakanmu. Eh, maaf, aku tidak bermaksud--”

”Iya gakpapa, Dok. Memang semua orang mengetahuinya.”

Dika sudah ada di depan lobi. Ia menghampiriku dan Dokter yang memakao name tag Bryan itu.

”Terima kasih, Dok. Saya harus pulang.”

”Kamu yakin bisa baik motor?”

”Bisa, Dok. Ini gak terlalu sakit, kok.” Satu tanganku melambai, satunya lagi dipapah Dika.

”Sepertinya Dokter itu naksir kamu, Vi,” ucap Dika yang serta merta kujawab dengan cubitan di lengannya dan ia spontan menjerit sembari tertawa.

***

Akhirnya aku sampai di rumah. Tempat yang dua hari lalu telah mengubah segalanya. Ibu masuk penjara, sementara wanita hamil itu bilang Bapak sekarat di rumah sakit. Apa yang akan Bapak lakukan ketika ia sembuh nanti. Menyadari kesalahannya lantas berubah? Atau justru akan berbuat lebih keji kepada Ibu?

Garis polisi sudah tidak ada. Namun, berpasang mata tetangga yang melihat kedatanganku seolah menjadi hakim sebelum ada sidang di pengadilan. Mereka membenci Bapak yang sering membuat onar di kampung, dan kami yang harus ikut menanggung atas semua keburukan itu. Sejak dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status