Share

Bab 3

Ruangan serba putih, dengan jarum infus di tangan kiri. Rasa sakit menyebar di sekujur tubuh, terutama di telapak kaki kanan yang ternyata sudah terbalut perban. 

Aku memegang kepala, denyutnya sudah reda. Namun, benjolan di dahi akibat terbentur menyisakan rasa sakit yang berbeda. Aku mengedarkan pandang. Dika duduk di sudut ruang memainkan ponselnya.

”Dik ....” panggilku pelan.

”Kamu sudah bangun?” Dika berjalan mendekat, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Lalu, duduk di sebelahku.

”Ini jam berapa, Dik? Ibuk di mana?”

”Jam 12 malam. Kalau masih pusing tidur saja!”

”Ibuk di mana?” Aku mengulang pertanyaan yang diabaikan oleh Dika.

”Di kantor polisi.”

”Bapak?”

”Sudah jangan banyak tanya! Tidur saja biar besok boleh pulang.”

Aku menghela napas. Aku memunggungi Dika yang kembali berkutat dengan ponselnya usai notifikasi pesan berbunyi lirih.

’Bagaimana keadaan Ibu di kantor polisi, dengan siapa Ibu di sana?’ Pikiran itu menari-nari di otakku.

Bagaimana Dika bisa setenang itu menghadapi keadaan yang kacau seperti ini. Dika yang memulai segalanya, andai aku tidak setuju dengan rencana pelarian itu pasti semua ini tidak akan terjadi.

Aku juga ingin tahu keadaan Bapak. Apakah ia meninggal setelah mendapat tusukkan itu? Atau justru ia ada di kantor polisi bersama Ibu. Toh, semua ini terjadi karena ulahnya. Jika Bapak menyayangi kami, jika Bapak tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, jika Bapak tidak menghamili wanita itu. Semua ini tidak akan pernah terjadi.

Aku mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh. Kenangan masa kecil berisik di kepala. Aku sangat ingat bagaimana setiap hari Bapak pulang dalam keadaan mabuk sambil meracau. Bahkan tak jarang Bapak muntah sembarangan, mengeluarkan semua yang ada di perutnya, beraroma alkohol dan menjijikkan. Namun, dengan sabar Ibu membersihkannya, memapah Bapak ke kamar, mengelap tubuh dan mengganti pakaiannya.

Ibu terlalu sabar, Ibu terlalu baik. Bahkan Ibu tak pernah membalas ketika Bapak tiba-tiba memukul tanpa alasan.

Mungkin, kejadian kemarin adalah puncak dari kesabaran Ibu. Apa yang ia pendam selama ini terlampiaskan. Mengerikan, aku bahkan melihat wajah Ibu tak seteduh biasanya. Ada amarah yang benar-benar tak bisa diredam, hingga akhirnya pisau itu menancap di punggung Bapak.

”Aku keluar sebentar,” ucap Dika mematahkan lamunanku.

”Mau ke mana? Ini sudah tengah malam, Dik.”

”Cari makan, aku lapar. Kamu mau?”

Aku menggeleng, aku tidak yakin Dika keluar untuk mencari makan. Sepertinya ada yang ia sembunyikan.

Aku mencoba duduk. Dika menyerahkan ponselku sebelum akhirnya ia keluar kamar.

Banyak sekali notifikasi pesan yang masuk. Aku membukanya satu per satu, hampir semua pesan berisi hal yang sama--menanyakan kabarku. Mungkin kejadian kemarin sudah menyebar ke seluruh kota. Bisa jadi, sudah menjadi berita viral di media sosial.

[Viii, kamu gakpapa, kan? Bagaimana keadaanmu?] Pesan masuk dari Gea--teman sebangku di sekolah, lima jam yang lalu. 

[Aku gakpapa.] Kubalas singkat. Tanpa kujawab panjang lebar mereka sudah pasti mendengar apa yang terjadi.

Tidak ada jawaban dari Gea. Barangkali ia sudah tidur. Sudah tengah malam, dan aku merasa baru bangun dari tidur panjang dengan mimpi yang menyeramkan.

[Apa yang sebenarnya terjadi, Vi? Bagaimana keadaan Bapakmu?] Aku membuka pesan berikutnya, dari Bu Halimah tetangga sebelah rumah yang sering menyindir Ibu. Aku tidak begitu menyukainya, tetapi Andra anaknya yang seumuranku, sering memberiku tumpangan saat pulang sekolah. Meski tidak satu sekolah, tetapi sekolah kami satu arah.

[Apa ibumu sudah gila, hah? Lihat saja nanti.] Pesan singkat itu dari sepupu Bapak, mungkin lebih tepatnya ancaman untuk Ibu. Om Hengki adalah sepupu yang paling dekat dengan Bapak. Tabiat mereka hampir sama, dan mungkin saat ini, ia tengah memendam amarahnya kepada Ibu.

[Semoga lekas sembuh, Vi. Maaf belum bisa menjengukmu. Semoga besok bisa ke rumah sakit.] Pesan dari sebuah nomor baru, tanpa nama pengirim. Aku tak ambil pusing, hanya membaca, tanpa membalasnya.

[Ikut berduka ya, Vi. Semoga kamu kuat.] Pesan dari Sashi, teman satu kelasku. Anak yang super aktif di sekolah. Namun, ia baik dan mau bertemam dengan siapa saja.

Pesan dari Sashi sejenak mengusik pikiranku. Berduka? Apa Bapak meninggal? Jika Bapak meninggal, kenapa Dika diam saja saat kutanya. Apakah Dika sengaja menyembunyikan hal ini dariku?

[Siapa yang meninggal?] Aku mengirim balasan untuk Sashi. Lagi-lagi tak ada jawaban. Mungkin ia juga sudah terlelap.

Dika membuka pintu, ia membawa sebungkus roti dan teh hangat. Menarik kursi, lalu duduk di sebelahku.

”Mau roti atau teh hangat?” Dika mengulurkan keduanya. Aku mengambil teh hangat, menyeruputnya pelan.

”Ibuk gimana? Dengan siapa di kantor polisi?”

”Ibuk baik-baik saja. Besok aku ke sana. Kamu di sini sendiri gakpapa, 'kan?”

”Bapak?”

Dika tidak menjawab, ia berbalik. Berjalan menuju kursi panjang, lalu merebahkan diri memunggungiku. Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Aku kembali membuka ponsel. Ada pesan dari Om Hengki.

[Tunggu pembalasanku, aku akan membuat ibumu membusuk di penjara!] Lagi-lagi sebuah ancaman.

[Ibuk tidak bersalah, Bapak yang mulai.] Akhirnya keluar juga apa yang ada di pikiranku. Meski jujur, aku sedikit takut dengan Om Hengki. Ia bahkan lebih menakutkan dari Bapak. Namun, jika itu sudah menyangkut keamanan Ibu, apa pun resikonya akan aku hadapi.

[Kamu berani? Baik, aku juga akan membuat hidupmu menderita.] Sebuah emoticon wajah berwarna merah Om Hengki tambahkan di akhir pesan.

Aku simpan pesan itu, sengaja tidak kuhapus. Siapa tahu suatu saat nanti aku membutuhkannya untuk barang bukti. Om Hengki orang yang nekat. Bisa jadi, ia serius dengan ancamannya.

Aku menutup aplikasi berwarna hijau dari ponselku. Terdengar suara dengkuran halus dari kursi panjang. Dika terlelap. Aku membuka aplikasi media sosial berlambang T, mencoba mencari berita tentang kejadian hari ini. 

Benar saja, saat aku mengetik pencarian tentang kasus penusukan, yang pertama muncul adalah kasus keluargaku. Dari aplikasi tersebut aku melihat rumahku dikelilingi garis polisi. Rumahku jadi tontonan orang-orang, ada juga wartawan dan polisi.

Belum sempat aku menyimak isi dari berita penusukan itu, sebuah nomor tanpa nama memanggil. Sempat ragu untuk mengangkat. Namun, rasa penasaran membuatku menekan tanda hijau dilayar.

Aku menempelkan ponsel di telinga. ”Halo,” ucapku lirih. Namun, tak ada jawaban dari seberang sana ... sunyi. Hingga beberapa detik, akhirnya kuputuskan untuk menekan tombol merah. 

Aku melihat nomor itu, nomor yang sama dengan nomor pengirim pesan tanpa nama tadi. Tak lama, notifikasi pesan masuk berbunyi, dari nomor itu.

[Syukurlah, aku senang jika kamu baik-baik saja. Aku senang bisa mendengar suaramu. Maaf menelponmu malam-malam, setelah melihat tanda centang biru di pesan yang kukirim untukmu, aku melihat tulisan online di bawah namamu, jadi aku memberanikan diri untuk menelponmu. Aku hanya ingin memastikan kamu sudah membaik. Aku bisa tidur setelah ini. Maaf jika mengganggu.]

Pesan panjang itu kubaca berulang. Jam di dinding kamar sudah tepat menunjuk angka tiga. Sudah hampir pagi, dan orang itu masih terjaga. Siapa ia sebenarnya? Entahlah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status