Share

Bab 5

Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. 

Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.

[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.]

[Rumahmu di sebelah mana?]

[Aku boleh, kan, ke rumahmu?]

[Kenapa ponselmu mati?]

Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.

[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.

[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.]

[Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]

Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.

Aku mengambil celengan ayam di dalam lemari pakaian. Uang receh sisa jajan di sekolah selalu aku masukkan di celengan itu. Sekarang sudah berat, dan mungkin memang saatnya untuk dibuka. Aku butuh uang untuk menyambung hidup. Selama Ibu di penjara, aku perlu uang untuk mencukupi kebutuhanku.

Cukup banyak ternyata, delapan ratus ribu lebih. Belum selesai aku memasukkan uang receh itu ke dalam kantong plastik kecil,  Dika masuk ke kamar. Menyerahkan dompet Ibu.

”Itu dompet Ibu. Sebagian uangnya sudah kupakai selama di rumah sakit kemarin. Sisanya kamu yang pegang.”

”Memangnya kamu punya uang? Kalau kamu butuh pegangan kamu bisa pakai uang Ibu.”

”Aku ada sedikit. Kamu simpan saja. Nanti bisa dipakai untuk membelikan keperluan Ibu selama di kantor polisi. Sepertinya, Ibu tidak akan bebas dengan mudah. Untuk menyewa pengacara, uang kita tidak cukup.”

Aku membuka dompet milik Ibu. Masih ada hampir satu juta. Uang yang biasa Ibu putar untuk berdagang setiap hari.

”Besok aku ikut ke kantor polisi,” ucapku saat Dika hendak keluar kamar. Dika mengangguk, dan aku bernapas lega.

***

Perempuan berumur 43 tahun yang biasa kupanggil Ibu itu keluar dari sel. Mataku rasanya sudah tak tahan ingin menumpahkan air mata. Rasa rindu, sesak, dan rasa sakit yang begitu saja tumpah ketika melihat wajah sayu itu berjalan mendekat. Lalu, memelukku erat.

”Maafkan Ibu, Vi.”

”Maaf untuk apa? Ibu nggak bersalah,” jawabku. Mengusap air mata yang jatuh di pipi Ibu.

”Ibu sudah membuat kamu dan Dika malu. Maafkan Ibu.” Ibu menggenggam erat tanganku. Memelukku sebentar, lalu mengajakku duduk di ruang besuk tahanan.

”Aku nggak malu, aku justru khawatir dengan kondisi Ibu. Ibu baik, kan?” tanyaku kemudian, Ibu mengangguk pelan.

”Bagaimana kakimu? Kata Dika kakimu harus dijahit.”

”Iya, tapi tadi sudah bisa untuk berjalan, Bu. Tidak sesakit yang Ibu bayangkan.”

Ibu melepas cincin yang beliau kenakan di jari tengah. Cincin berwarna putih bermata satu.

”Ini bisa kalian jual kalau kalian butuh uang. Ini emas putih. Ibu nggak punya tabungan lagi selain ini. Gunakan seperlunya.”

”Aku punya uang, Bu. Ibu pakai saja cincinnya.” Aku mengulurkan kembali cincin itu.

”Di penjara nggak ada yang pakai perhiasan. Kalau ada, nanti malah akan jadi masalah.”

”Ibu pasti keluar, Ibu nggak salah.”

Ibu menghela napas panjang, tersenyum kecil, lalu mengusap tanganku.

”Tidak semudah itu, Vi. Ibu dituduh dengan pasal percobaan pembunuhan, tidak semudah itu lepas dari jerat hukum. Apalagi Bapakmu--”

”Vio akan minta Bapak untuk mencabut tuntutannya,” potongku cepat.

”Bapak masih sekarat di rumah sakit, tidak akan semudah itu,” sela Dika. ”Apalagi ada wanita hamil itu.”

Kami semua terdiam. Ibu masih memegang tanganku. Berkali-kali kudengar beliau melepas napas panjang.

”Aku akan ke rumah sakit. Siapa tahu hari ini Bapak sudah membaik. Apa pun akan kulakukan agar Ibu secepatnya bisa bebas.”

”Kamu masih sakit, Vi. Pikirkan dulu kesehatanmu. Ibu nggakpapa ada di sini. Semua baik pada Ibu. Ibu juga makan kenyang dan tidur nyenyak.”

Aku melongok sel tempat Ibu tidur. Selembar tikar pandan, selimut tipis bermotif garis-garis dan sebuah bantal.

”Seperti itu yang Ibu bilang baik?”

”Ini hanya sementara, Vi. Setelah berkas Ibu naik ke kantor kejaksaan, Ibu akan dipindahkan ke rumah tahanan yang lebih layak.”

Mana ada rumah tahanan yang layak. Aku pernah menonton di televisi bagaimana mereka hidup di dalam sel. Makan sayur tanpa bumbu, belum lagi jika ada tahanan yang benar-benar jahat. Ibu bisa saja diperlakukan sebagai budaknya. Semua tampak mengerikan di mataku, tetapi Ibu mengatakan semua akan baik-baik saja.

Aku memandang Ibu. Perempuan yang biasanya lembut itu, kemarin melakukan tindakan yang bahkan tidak pernah kuduga sebelumnya. Masih dengan jelas kuingat bagaimana Ibu berjalan ke arah Bapak lalu menancapkan pisau itu di punggung Bapak. Tak ada rasa takut, tak ada air mata yang keluar dari wajah Ibu. Mungkin, itulah puncak dari diamnya Ibu selama ini, luapan dari rasa sakit yang Ibu pendam selama Ibu menjadi istri Bapak. Dan kini, Ibu harus mendekam di penjara, jelas tidak sebanding dengan perbuatan Bapak selama ini.

”Jam besuk sudah habis, Dek.” Seorang Polisi datang mengingatkanku dan Dika.

Berat rasanya untuk meninggalkan Ibu seorang diri. Mataku berkaca, segera aku memeluk Ibu untuk menyembunyikan air mata yang akan segera jatuh.

”Jaga diri kalian baik-baik, ya. Dika, jangan tinggalkan Vio. Jaga Vio sampai Ibuk pulang nanti!” pesan Ibu yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dika.

Aku dan Dika melihat Ibu kembali masuk sel. Usai itu, kami pergi meninggalkan kantor polisi.

”Kita ke rumah sakit, Dik. Aku pengen melihat Bapak.”

”Gak usah. Buat apa melihat keadaannya?”

”Kalau Bapak sudah membaik, aku bisa minta tolong untuk membebaskan Ibu,” ucapku sembari naik ke atas motor.

”Gak usah jadi pengemis! Kita cari cara lain untuk membebaskan Ibu.” Dika melajukan motor dengan kecepatan sedang. ”Besok berangkat sekolah saja, minggu depan kita ujian.”

Benar, minggu depan sudah ujian kelulusan. Saat aku harus kembali fokus dengan sekolahku. Hanya tinggal selangkah lagi, dan aku harus bisa lulus. Setelahnya, aku baru akan mencari cara untuk membebaskan Ibu. Minimal, meringankan hukumannya.

Gerimis mulai turun, makin lama semakin deras. Dika menambah kecepatan motornya. Sampai di pertigaan, ada sebuah mobil yang hendak berbelok bersamaan dengan motor Dika yang juga akan berbelok--dengan arah berlawanan.

Bunyi rem dan klakson memecah suara hujan. Beruntung, tidak terjadi tabrakan, hanya gesekan kecil, motor yang kami tumpangi ambruk, tetapi tidak ada yang terluka.

Aku berjalan menepi, kakiku yang masih terbalut perban basah. Rasa nyeri kembali menyerang, tetapi aku tetap berjalan mencari tempat berteduh. Sementara Dika mendorong motornya dengan susah payah menembus hujan.

Pemilik mobil itu membuka pintu. Ia melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Aku memicingkan mata. Orang yang tidak asing bagiku, aku sangat mengenal orang itu. 

”Vio ...?”

Dika berhenti mendorong motornya, berbalik memandang ke arah lelaki itu. Aku pun hanya mematung, tak menyangka, ia masih mengenaliku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status