Share

Bab 5

last update Huling Na-update: 2023-12-17 16:24:24

Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. 

Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.

[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.]

[Rumahmu di sebelah mana?]

[Aku boleh, kan, ke rumahmu?]

[Kenapa ponselmu mati?]

Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.

[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.

[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.]

[Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]

Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.

Aku mengambil celengan ayam di dalam lemari pakaian. Uang receh sisa jajan di sekolah selalu aku masukkan di celengan itu. Sekarang sudah berat, dan mungkin memang saatnya untuk dibuka. Aku butuh uang untuk menyambung hidup. Selama Ibu di penjara, aku perlu uang untuk mencukupi kebutuhanku.

Cukup banyak ternyata, delapan ratus ribu lebih. Belum selesai aku memasukkan uang receh itu ke dalam kantong plastik kecil,  Dika masuk ke kamar. Menyerahkan dompet Ibu.

”Itu dompet Ibu. Sebagian uangnya sudah kupakai selama di rumah sakit kemarin. Sisanya kamu yang pegang.”

”Memangnya kamu punya uang? Kalau kamu butuh pegangan kamu bisa pakai uang Ibu.”

”Aku ada sedikit. Kamu simpan saja. Nanti bisa dipakai untuk membelikan keperluan Ibu selama di kantor polisi. Sepertinya, Ibu tidak akan bebas dengan mudah. Untuk menyewa pengacara, uang kita tidak cukup.”

Aku membuka dompet milik Ibu. Masih ada hampir satu juta. Uang yang biasa Ibu putar untuk berdagang setiap hari.

”Besok aku ikut ke kantor polisi,” ucapku saat Dika hendak keluar kamar. Dika mengangguk, dan aku bernapas lega.

***

Perempuan berumur 43 tahun yang biasa kupanggil Ibu itu keluar dari sel. Mataku rasanya sudah tak tahan ingin menumpahkan air mata. Rasa rindu, sesak, dan rasa sakit yang begitu saja tumpah ketika melihat wajah sayu itu berjalan mendekat. Lalu, memelukku erat.

”Maafkan Ibu, Vi.”

”Maaf untuk apa? Ibu nggak bersalah,” jawabku. Mengusap air mata yang jatuh di pipi Ibu.

”Ibu sudah membuat kamu dan Dika malu. Maafkan Ibu.” Ibu menggenggam erat tanganku. Memelukku sebentar, lalu mengajakku duduk di ruang besuk tahanan.

”Aku nggak malu, aku justru khawatir dengan kondisi Ibu. Ibu baik, kan?” tanyaku kemudian, Ibu mengangguk pelan.

”Bagaimana kakimu? Kata Dika kakimu harus dijahit.”

”Iya, tapi tadi sudah bisa untuk berjalan, Bu. Tidak sesakit yang Ibu bayangkan.”

Ibu melepas cincin yang beliau kenakan di jari tengah. Cincin berwarna putih bermata satu.

”Ini bisa kalian jual kalau kalian butuh uang. Ini emas putih. Ibu nggak punya tabungan lagi selain ini. Gunakan seperlunya.”

”Aku punya uang, Bu. Ibu pakai saja cincinnya.” Aku mengulurkan kembali cincin itu.

”Di penjara nggak ada yang pakai perhiasan. Kalau ada, nanti malah akan jadi masalah.”

”Ibu pasti keluar, Ibu nggak salah.”

Ibu menghela napas panjang, tersenyum kecil, lalu mengusap tanganku.

”Tidak semudah itu, Vi. Ibu dituduh dengan pasal percobaan pembunuhan, tidak semudah itu lepas dari jerat hukum. Apalagi Bapakmu--”

”Vio akan minta Bapak untuk mencabut tuntutannya,” potongku cepat.

”Bapak masih sekarat di rumah sakit, tidak akan semudah itu,” sela Dika. ”Apalagi ada wanita hamil itu.”

Kami semua terdiam. Ibu masih memegang tanganku. Berkali-kali kudengar beliau melepas napas panjang.

”Aku akan ke rumah sakit. Siapa tahu hari ini Bapak sudah membaik. Apa pun akan kulakukan agar Ibu secepatnya bisa bebas.”

”Kamu masih sakit, Vi. Pikirkan dulu kesehatanmu. Ibu nggakpapa ada di sini. Semua baik pada Ibu. Ibu juga makan kenyang dan tidur nyenyak.”

Aku melongok sel tempat Ibu tidur. Selembar tikar pandan, selimut tipis bermotif garis-garis dan sebuah bantal.

”Seperti itu yang Ibu bilang baik?”

”Ini hanya sementara, Vi. Setelah berkas Ibu naik ke kantor kejaksaan, Ibu akan dipindahkan ke rumah tahanan yang lebih layak.”

Mana ada rumah tahanan yang layak. Aku pernah menonton di televisi bagaimana mereka hidup di dalam sel. Makan sayur tanpa bumbu, belum lagi jika ada tahanan yang benar-benar jahat. Ibu bisa saja diperlakukan sebagai budaknya. Semua tampak mengerikan di mataku, tetapi Ibu mengatakan semua akan baik-baik saja.

Aku memandang Ibu. Perempuan yang biasanya lembut itu, kemarin melakukan tindakan yang bahkan tidak pernah kuduga sebelumnya. Masih dengan jelas kuingat bagaimana Ibu berjalan ke arah Bapak lalu menancapkan pisau itu di punggung Bapak. Tak ada rasa takut, tak ada air mata yang keluar dari wajah Ibu. Mungkin, itulah puncak dari diamnya Ibu selama ini, luapan dari rasa sakit yang Ibu pendam selama Ibu menjadi istri Bapak. Dan kini, Ibu harus mendekam di penjara, jelas tidak sebanding dengan perbuatan Bapak selama ini.

”Jam besuk sudah habis, Dek.” Seorang Polisi datang mengingatkanku dan Dika.

Berat rasanya untuk meninggalkan Ibu seorang diri. Mataku berkaca, segera aku memeluk Ibu untuk menyembunyikan air mata yang akan segera jatuh.

”Jaga diri kalian baik-baik, ya. Dika, jangan tinggalkan Vio. Jaga Vio sampai Ibuk pulang nanti!” pesan Ibu yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dika.

Aku dan Dika melihat Ibu kembali masuk sel. Usai itu, kami pergi meninggalkan kantor polisi.

”Kita ke rumah sakit, Dik. Aku pengen melihat Bapak.”

”Gak usah. Buat apa melihat keadaannya?”

”Kalau Bapak sudah membaik, aku bisa minta tolong untuk membebaskan Ibu,” ucapku sembari naik ke atas motor.

”Gak usah jadi pengemis! Kita cari cara lain untuk membebaskan Ibu.” Dika melajukan motor dengan kecepatan sedang. ”Besok berangkat sekolah saja, minggu depan kita ujian.”

Benar, minggu depan sudah ujian kelulusan. Saat aku harus kembali fokus dengan sekolahku. Hanya tinggal selangkah lagi, dan aku harus bisa lulus. Setelahnya, aku baru akan mencari cara untuk membebaskan Ibu. Minimal, meringankan hukumannya.

Gerimis mulai turun, makin lama semakin deras. Dika menambah kecepatan motornya. Sampai di pertigaan, ada sebuah mobil yang hendak berbelok bersamaan dengan motor Dika yang juga akan berbelok--dengan arah berlawanan.

Bunyi rem dan klakson memecah suara hujan. Beruntung, tidak terjadi tabrakan, hanya gesekan kecil, motor yang kami tumpangi ambruk, tetapi tidak ada yang terluka.

Aku berjalan menepi, kakiku yang masih terbalut perban basah. Rasa nyeri kembali menyerang, tetapi aku tetap berjalan mencari tempat berteduh. Sementara Dika mendorong motornya dengan susah payah menembus hujan.

Pemilik mobil itu membuka pintu. Ia melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Aku memicingkan mata. Orang yang tidak asing bagiku, aku sangat mengenal orang itu. 

”Vio ...?”

Dika berhenti mendorong motornya, berbalik memandang ke arah lelaki itu. Aku pun hanya mematung, tak menyangka, ia masih mengenaliku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 33

    Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 32

    “Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 31

    Sepekan berlalu. Aku menjalani rutinitas baru menjadi Ibu rumah tangga, memasak, mengantar Kesya ke sekolah dan menemaninya belajar. Hari ini Dokter Darel pulang awal, ia nampak tergesa dan memintaku untuk segera berganti baju. “Memangnya kita mau ke mana, Dok?“ tanyaku penasaran. “Ke rumah sakit.““Kenapa? Ada apa?“ sahutku. “Sudah, pokoknya cepat ganti baju karna kita gak punya banyak waktu.“Aku pun menuruti apa yang diperintahkan Dokter Darel. Aku tahu saat panik begitu orang tidak suka menanggapi banyak pertanyaan. Perjalanan ke rumah sakit yang biasa ditempuh dengan waktu setengah jam, kali ini hanya butuh waktu dua puluh menit. Dokter Darel benar-benar seperti dikejar setan. Wajahnya panik, dan ia tak banyak bicara. Hanya sesekali ketika ia harus menerima telepon dari rumah sakit karena ada pasien darurat. Kalau memang sedang ada pasien darurat, kenapa ia mengajakku? Sampai di lobi, Dokter Darel menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. Di depan pintu ICU, matanya nana

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 30

    “Aku sudah dijemput, duluan, ya Ka!“Aku gegas membuka pintu mobil lalu masuk dengan dada yang berdegub luar biasa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dokter Darel langsung melajukan mobil, bahkan kali ini lebih kencang dari biasanya. “Tadi Raka, temanku. Ada motor yang ngebut dan airnya kena mukaku.“ Aku mencoba menjelaskan meski Dokter Darel tidak menanyakan apa pun. “Romantis, ya,“ sahut Dokter Darel sambil melepas senyum. Senyum yang tidak manis seperti biasanya. “Maaf, itu benar-benar tidak sengaja.““Lain kali jangan diulangi, aku nggak suka! Dan memang tidak pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki meskipun itu teman sekolah!“ Nada bicara Dokter Darel sedikit ketus, aku hanya mengangguk mengiyakan. Apakah Dokter Darel cemburu? Wajahnya lucu sekali. Wajah yang biasa hangat dan lembut itu, sekarang berubah menjadi muram. Hampir tiga puluh menit kita menempuh perjalanan, hingga akhirnya sampai di lapas tempat Ibu ditahan. Sudah sebulan Ibu di sini, dan minggu depan kas

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 29

    Bab 29Aku bangun sebelum subuh. Dokter Darel dan Kesya masih terlelap. Pelan, aku beranjak dari ranjang menuju dapur. Namun, ternyata aku kalah pagi. Bik Yem sudah lebih dulu bangun. “Mbak Vio biar saya saja. Mbak Vio siap-siap saja. Kata Mas Arka, hari ini Mbak Vio masuk sekolah, 'kan?“ ucap Bik Yem saat aku membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran. “Saya sudah terbiasa, Bik. Bik Yem nggak usah sungkan.““Itu kalau di rumah Mbak Vio. Kalau di sini, memasak sudah jadi pekerjaan saya,“ sahut Bik Yem. “Tapi boleh 'kan kalau saya ingin memasak untuk Dokter Darel dan Kesya.“Bik Yem diam sebentar, lalu mengangguk. “Boleh, Mbak. Asal tidak mengganggu sekolahnya Mbak Vio.““Tinggal ngambil ijazah, kok, Bik. Sudah selesai sekolahnya.“Akhirnya Bik Yem membiarkan aku memasak. Bik Yem menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Beruntung dulu aku suka belajar memasak dari Ibu, jadi sekarang aku bisa memasak bermacam-macam makanan. Selesai memasak aku kembali ke kamarku, menyelesaikan s

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 28

    Dokter Darel mengecup keningku, dan itu membuatku melonjak kaget. Dokter Darel tersenyum, lalu mencubit pipiku gemas. “Ayok turun. Kesya pasti sudah menunggu kita.““Dok ....“ Aku masih ragu, dan ciuman di kening tadi masih menyisakan getar aneh di dada. Dokter Darel menangkap perasaan gugup itu. “Jangan bilang itu ciuman pertamamu, ya!“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. Aku menepuk bahunya dengan sedikit keras. Mungkin wajahku saat ini sudah memerah, dan itu memalukan. Aku berjalan mengikuti Dokter Darel. Kesya berlari menyambut kedatangan papanya. Ia memeluk lalu mencium seluruh bagian wajah Dokter Darel, seolah-olah sudah lama sekali sudah tidak bertemu. “Papa perginya lama! Kenapa Kesya nggak diajak.“ Kesya merajuk. Usai bersorak karena rindu, kini ia mengerucutkan bibir. “Yang penting sekarang Papa sudah pulang, 'kan? Oya, Papa bawa temen buat kamu.““Kak Viola, 'kan? Tadi Kesya sudah lihat. Tuh, orangnya!“ Kesya menunjukku. “Mulai sekarang, kamu panggil Kak Vio dengan sebu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status