Share

3

“Itu apa? Apa kamu juga berbohong soal kehamilanmu, seperti kamu membohongiku?” cecar Tarno.

“Tidak. Aku tidak bohong. Aku memang hamil. Aku bahkan baru tahu soal kehamilanku tadi pagi. Jadi aku belum memeriksakannya ke bidan. Apa perlu kutunjukkan buktinya?” Susanti berdiri hendak mengambil hasil test pack yang digunakannya tadi pagi.

“Duduklah. Aku percaya padamu,” tolak Tarno.

Tarno sudah tidak peduli lagi, apakah kehamilan Susanti adalah memang benar terjadi atau hanya kebohongannya saja. Toh, hal itu tidak akan mengubah pikirannya untuk menceraikan istrinya sekarang. Keputusannya semakin mantap sekarang. Percuma mempertahankan hubungan ini sekarang.

Merasa pembicaraan kali ini sudah cukup, Tarno segera menyuruh Joko untuk pergi.

“Sampai kapan kamu akan tetap di sini? Pembicaraan kita sudah selesai. Aku harap kamu benar-benar memenuhi perkataanmu dan bertanggung jawab atas anak yang sekarang dikandung Susanti,” kata Tarno tanpa memandang wajah Joko.

Dia sudah terlalu muak melihat wajah sahabat yang ternyata menusuknya dari belakang. Menghunjamkan belati tepat di jantungnya dan membuat goresan yang tidak akan sembuh dalam waktu yang singkat. Tarno bahkan tidak yakin apakah lukanya akan bisa sembuh dan dia bisa memaafkan Joko pada akhirnya. Biarlah waktu yang menjawabnya.

Joko berdiri dan berjalan keluar tanpa berkata apa pun. Dia hanya menoleh sekilas pada Susanti yang dibalas anggukan oleh wanita itu. Bahkan tidak sekalipun ada ucapan maaf dari mulutnya untuk Tarno setelah semua perbuatan yang dilakukannya. Entah terbuat dari apa hati Joko, sehingga dia tidak merasa bersalah sama sekali.

***

Sesampainya di luar Joko segera menaiki motor ninja yang diberi nama Merah.

'Cih, gagal sudah semua rencanaku. Kenapa juga dia harus pulang mendadak dan memergoki kami saat sedang enak-enak. Bagaimana Susanti bisa tidak tahu kalau Tarno akan pulang' batin Joko sambil meludah ke samping.

Lelaki berjaket hijau itu segera memakai helmnya dan menyalakan motornya. Begitu motor menyala, dia memutar gas kuat-kuat dan pergi dari rumah itu secepatnya. Sepanjang perjalanan otaknya dipenuhi dengan pikiran untuk berkelit dari tanggung jawabnya. Bagaimanapun dia lelaki yang bebas dan tidak suka terikat. Itulah yang membuatnya belum menikah sampai sekarang meskipun usianya hampir mencapai kepala empat.

Padahal bila dibandingkan dengan Tarno dia lebih mapan secara finansial. Joko memiliki sepetak sawah yang cukup luas, warisan dari bapaknya. Dulu sebelum Tarno berangkat ke luar negeri, Joko kerap kali meminta bantuannya untuk membantunya menggarap sawahnya. Tarno yang rajin dan ulet seringkali disukai para pemilik sawah dan sering dimintai bantuan oleh mereka.

Namun karena kedekatannya dengan Joko dan sudah menganggapnya sebagai saudara, Tarno selalu mengutamakan Joko dan membantu Joko menggarap sawahnya dulu sebelum membantu yang lain. Hal inilah yang membuat mereka dekat bahkan melebihi saudara kandung.

Awalnya Joko tulus membantu Tarno untuk menjaga istrinya, Susanti saat ditinggal ke luar negeri. Namun entah bagaimana awalnya hubungan keduanya menjadi semakin dekat lebih dari yang seharusnya. Joko merasa, Susanti mencoba mencuri perhatiannya tiga tahun belakangan ini. Joko kerap kali dipanggil ke rumah hanya untuk perkara sepele yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh Susanti. Dan Susanti memanggilnya saat anak-anak sedang sekolah. Otomatis di rumah itu hanya ada mereka berdua, Joko dan Susanti.

Awalnya Joko bersikap cuek dan masih menghormati Tarno sebagai sahabatnya. Jadi dia mengabaikan segala godaan-godaan yang Susanti lancarkan padanya. Namun siapa yang bisa tahan bila setiap waktu disodori hal yang menggoda iman. Seumpama kucing disodori ikan asin pasti akan dilahapnya juga. Begitulah yang terjadi pada Joko akhirnya.

Joko merasa sangat bersalah saat melakukannya pertama kali. Namun, Susanti dengan lihai merayunya kembali dengan kata-kata semanis madu yang membuat Joko terbuai sehingga lupalah dia dengan persahabatan yang sudah dibangunnya bertahun-tahun dengan Tarno. Lama-lama Joko menikmati permainan ini dan menjadi ketagihan. Namun mereka berdua lihai menyembunyikan perselingkuhan mereka dari mata orang-orang. Tidak ada seorang pun yang mencurigai kedua orang itu meskipun Joko kerap kali menyambangi rumah Susanti.

Lalu suatu hari Joko gagal panen. Dia kebingungan mencari yang untuk modal menggarap sawah berikutnya. Saat bercerita pada Susanti, dengan entengnya wanita itu menawarkan bantuan padanya untuk meminjamkan uangnya. Lebih tepatnya memberi karena selama ini Joko tidak pernah membayar utang itu kembali sepeser pun. Akhirnya karena merasa keenakan tidak perlu mengembalikan uang yang dipinjamnya, Joko kerap kali meminta uang kepada Susanti yang dengan entengnya langsung diberi tanpa berpikir panjang.

Begitu pula saat Joko menyatakan ingin membeli motor ninja yang sedang dinaikinya sekarang. Dengan mudahnya Susanti memberikan uang tabungannya sebagai uang muka motor. Lalu untuk angsurannya Susanti akan memberikan pada Joko setelah Tarno mentransfer gajinya. Joko lupa daratan. Dia lupa bahwa Susanti adalah istri dari sahabatnya yang harus dijaga, namun dia malah merusak semua kepercayaan yang Tarno berikan padanya. Entah apa julukan yang pantas diberikan kepada lelaki seperti Joko.

***

Tak lama setelah Joko pergi terdengar sebuah motor berhenti di depan rumah. Seorang anak kecil turun dari motor dan melambaikan tangannya pada anak kecil dan seorang wanita yang masih duduk di atas motor.

“Dadah Selly. Makasih ya Tante Rita sudah diantar pulang,” ucap Dinda dengan ceria.

Setelah motor berlalu Dinda langsung masuk ke rumah dengan mengucapkan salam.

“Assalamualaikum. Dinda pulang, Bu.”

“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang putriku yang paling cantik,” jawab Susanti dengan tersenyum.

Dinda melihat ayahnya yang duduk di kursi. Gadis itu terdiam sejenak, melihat lelaki yang kini duduk di ruang tamu dengan ibunya. Saat mengenali lelaki itu adalah ayahnya, Dinda segera memekik kegirangan. “Wah, Ayah pulang. Kenapa nggak bilang-bilang dulu.” Dinda segera berlari menuju Tarno dan memeluknya dengan erat. Meluapkan rasa rindu yang disimpannya selama ini.

“Iya, sayang. Kejutan,” jawab Tarno dengan memeluk putrinya erat.

Tarno merasa terharu dan lega. Meskipun sudah lima tahun tidak pernah bertemu secara langsung dan hanya bersapa lewat panggilan video saja, Dinda masih mengenalinya dan bersikap hangat padanya. Padahal Tarno sempat takut kalau Dinda akan merasa segan padanya karena tidak pernah bertemu secara langsung.

Tarno memang rutin melakukan panggilan video call seminggu sekali atau paling tidak sebulan sekali saat dia benar-benar sibuk dan kesibukannya tidak bisa ditinggal. Hal itu dilakukannya agar dia tetap dekat dengan keluarganya.

Terutama Susanti. Tarno berharap dan selalu mengingatkan istrinya agar menjaga diri dengan baik selama lelaki itu tidak ada di sampingnya. Menjaga kehormatan dan kesetiaan sebagai istri yang menunggu suaminya berjuang mencari nafkah di negeri orang.

Tarno pikir semua berjalan dengan lancar dan hubungannya dengan istrinya baik-baik saja sampai kejadian beberapa jam lalu yang menunjukkan semuanya. Susanti dan Joko sangat pandai menyembunyikan semuanya sampai sekarang. Sampai tadi pagi tepatnya, saat kepergok oleh Tarno berduaan di kamarnya.

“Ayah, mana oleh-olehnya? Katanya kalau Ayah pulang, mau bawa mainan yang banyak buat Dinda,” tagih Dinda pada ayahnya.

“Oh iya, Ayah lupa. Sebentar ya,” jawab Tarno.

Tarno sampai lupa dengan mobil sewaan yang diparkir di rumah tetangganya. Lelaki berkulit sawo matang itu segera keluar rumah dan memanggil pak sopir yang tengah duduk di teras tetangganya. Tarno melambaikan tangannya sebagai isyarat untuk membawa mobil itu ke depan rumahnya. Tanpa menunggu waktu lama mobil itu sudah terparkir rapi di halaman rumah Tarno sekarang.

Tarno segera membongkar tas dan barang bawaannya untuk mencari oleh-oleh yang sudah disiapkan dalam satu tas tersendiri. Setelah ketemu dijinjingnya tas itu ke dalam rumah.

Tarno segera membuka tas itu dengan Dinda yang menunggu di sampingnya yang tampak tak sabar melihat oleh-oleh apa yang dibawakan ayahnya dari luar negeri.

Begitu tas dibuka Tarno segera mengeluarkan mainan dan pakaian yang disiapkan untuk kedua putrinya lalu meninggalkan barang-barang yang rencananya akan diberikan pada Susanti. Namun setelah kejadian tadi, Tarno batal memberikannya dan berencana akan memberikan barang itu pada Ratih, adik perempuannya.

Susanti melihat dari kejauhan saat Tarno membuka tas itu. Dilihatnya beberapa barang yang dipesannya pada suaminya, saat dia pulang nanti. Melihat Tarno menutup tas kembali dan tidak memberikan barang-barang itu padanya membuatnya tak tahan untuk bertanya.

“Mana oleh-oleh buatku?” tanya Susanti dengan ketus. Kesal karena Tarno tidak memberikan barang yang dimintanya padahal sudah di depan mata.

Hati Tarno teriris mendengar pertanyaan Susanti barusan. Tangannya menyentuh kotak kecil yang ada di sakunya celananya. Seandainya Susanti tidak mengkhianatinya, kalung ini pasti sudah bertengger manis di lehernya sekarang.

“Oleh-olehmu akan datang nanti pada saat yang tepat sesuai permintaanmu tadi. Tunggu saja dengan sabar, surat perceraian kita akan segera datang,” ucap Tarno dengan suara bergetar.

Dinda terlihat heran melihat tingkah kedua orang tuanya. Dipandanginya wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya.

“Perceraian itu apa, Yah?” tanya Dinda polos.

Tarno semakin trenyuh mendengar pertanyaan dari putri kecilnya. Gadis kecil berumur enam tahun ini harus menyaksikan kedua orang tuanya berpisah bahkan di saat dia belum mengerti apa itu arti dari kata perceraian.

Tarno bingung bagaimana menjelaskan tentang perceraian pada Dinda. Karena tak tahan akhirnya Susanti menyahut.

“Cerai itu artinya ayah dan ibu tidak tinggal bersama lagi,” kata Susanti.

“Berarti seperti saat ayah di luar negeri. Kan dia tidak tinggal bersama kita. Apa ayah akan pergi ke luar negeri lagi?” tanya Dinda lagi.

“Bukan seperti itu. Ayah dan Ibu tidak akan bersama lagi dan akan berpisah. Kami akan tinggal sendiri-sendiri tidak bersama dalam satu rumah lagi.” Kali ini Susanti menjelaskan arti perceraian secara gamblang pada Dinda.

Tarno melihat ekspresi kebingungan di wajah putrinya. Sepertinya dia masih kesulitan untuk mencerna penjelasan yang disampaikan oleh ibunya barusan.

“Dinda ayo, kita makan dulu. Kamu sudah lapar belum? Ayo, putri ayah ingin makan apa? Ayah belikan.” Tarno mengalihkan pembicaraan untuk mengakhiri pembahasan tentang perceraian.

“Iya. Aku sudah lapar, Yah.” Dinda mengangguk dan terlihat bersemangat saat ditawari akan dibelikan makanan oleh ayahnya.

“Ayo, kita makan sekarang. Ganti baju dulu lalu kita berangkat,” kata Tarno dengan lembut.

Dinda segera berlari menuju kamarnya untuk berganti baju dengan bersemangat. Dalam benaknya mulai menimbang-nimbang makanan apa yang ingin dibelinya sekarang. Setelah berganti baju gadis kecil itu segera berlari mencari ayahnya.

“Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang. Ibu nggak ikut makan?” tanya Dinda saat melihat Ibunya masih mengenakan daster.

“Ibu dirumah saja, nunggu Kakak sebentar lagi pulang. Bungkusin buat Ibu dan Kak Dila ya,” pesan Susanti pada Dinda.

“Oke, Bu.” Dinda tersenyum dan berlari menyusul ayahnya yang mulai berjalan ke luar rumah.

“Sudah pulang nggak dibawain oleh-oleh. Mau makan nggak ajak-ajak. Dasar lelaki pelit,” sindir Susanti dengan cukup keras agar Tarno mendengarnya.

Darah Tarno mendidih mendengar perkataan wanita yang masih menjadi istrinya tersebut. Tangannya mengepal dengan kuat dan rahangnya mengeras. Tubuhnya berbalik dan berjalan masuk kembali ke rumah.

“Apa katamu tadi? Ayo ulangi lagi. Katakan langsung di depan mataku sekarang!” bentak Tarno.

Amarahnya sudah tak bisa ditahan lagi. Bagai gunung berapi yang siap meletus dan melemparkan magma yang sedang menggelegak di dasarnya. Selama ini dia serahkan semua gajinya pada Susanti. Tarno bahkan tidak punya simpanan uang lagi kecuali dari gaji terakhirnya yang sudah berkurang untuk ongkos perjalanan pulang dan membeli beberapa oleh-oleh yang dibawanya pulang. Namun apa yang dia katakan tadi. Wanita itu menyebutnya pelit. Tarno tidak bisa bersabar lagi. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh wanita yang telah melahirkan kedua anaknya.

“Apa? Aku tadi ngomong sendiri. Kalau kamu merasa ya baguslah. Berarti perkataanku tadi memang benar. Sesuai dengan kenyataan dan tidak mengada-ada.” Susanti mengangkat dagunya dan menatap Tarno dengan nyalang. Membuat amarah Tarno semakin memuncak.

Tangan Tarno terangkat ke udara. Nafasnya berubah cepat dan telinganya memerah. Wajahnya terasa panas sekarang.

“Apa? Kamu mau memukulku sekarang?” Susanti menyodorkan wajahnya kepada Tarno.

Telinga Tarno semakin panas mendengar perkataan Susanti. Tangannya mulai bergerak mendekati wajah Susanti.

Dug.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status