Share

4

Dug.

Terdengar suara benda terjatuh. Tarno dan Susanti segera menoleh ke tempat suara berasal. Melupakan pertengkaran yang sedang berlangsung. Rupanya Dinda tersandung saat menyusul Tarno masuk ke rumah.

Gadis kecil itu meringis dan mengelus lututnya yang menatap lantai rumahnya. Tarno segera mendekatinya dan melihat kondisi putri kecilnya. “Dinda, apa yang terjadi?”

“Tadi kesandung tali sepatu ini, Yah.” Dinda menunjukkan tali sepatunya yang terlepas.

Tarno segera membenarkan ikatan tali sepatu Dinda yang terlepas. Lelaki berkulit sawo matang itu merasa bersyukur, Dinda datang pada saat yang tepat.

Tarno tidak bisa membayangkan jika Dinda tidak datang tadi. Tangannya pasti sudah melayang ke wajah Susanti.

Tarno membantu Dinda berdiri dan menggandeng tangannya. Mengajaknya berjalan menuju mobil.

“Ayah kenapa masuk lagi tadi?” tanya Dinda penasaran.

“Ayah pikir dompetnya ketinggalan di kursi. Ternyata ada di dalam mobil.”

Dinda hanya mangut-mangut mendengar jawaban ayahnya. Berjalan mengikuti ayahnya dengan bergandengan tangan.

“Dinda mau makan apa?” tanya Tarno saat keduanya sudah masuk dalam mobil.

Tarno sudah berdiskusi dengan pak sopir dan bersedia untuk membayar biaya sewa tambahan karena menurut perjanjian sewa mobil berakhir pada pukul 13.00 siang ini. Sedangkan Tarno masih membutuhkannya untuk mengantarkannya pulang ke rumah emaknya. Tempat dimana dia akan tidur malam ini dan mungkin malam-malam selanjutnya. Sampai dia bisa menenangkan hati dan menyelesaikan permasalahannya dengan Susanti.

“Ehmmm apa ya? Aku mau makan bakso, Yah, boleh?” tanya Dinda.

“Boleh. Tapi apa nanti kenyang kalau cuma makan bakso?”

“Kan pakai lontong, Yah.”

“Oke. Mau beli bakso dimana? Dinda tahu tempatnya?” tanya Tarno. Sudah lima tahun Tarno tidak pulang, jadi lingkungan ini pasti sudah berubah banyak.

“Bakso Mahameru, Yah, yang dekat pasar Wage itu loh. Baksonya enak dan banyak. Dinda pernah diajak kesana sama ibu dan pak Joko.”

Deg. Hati Tarno perih mendengar perkataan putri kecilnya. Kedua orang itu bahkan terang-terangan pergi bersama dengan anak bungsunya. Apakah mereka tidak berpikir apa yang akan Dinda pikirkan saat dia sudah dewasa dan mengerti nanti.

“Sama pak Joko?” tanya Tarno untuk meyakinkan pendengarannya tidak salah.

“Iya, sama pak Joko dan ibu. Setelah pak Joko mengantar ibu ke bank untuk mengambil uang yang dikasih ke pak Joko, ibu ngajak mampir buat makan bakso dulu sebelum pulang.”

“Dinda ingat kapan itu?” tanya Tarno hati-hati.

“Ehmm, kapan ya? Lupa, Yah hehehe.” Dinda cengengesan saat mengatakannya.

Tarno tersenyum kecut memandang wajah polos putri kecilnya. Membayangkan sebentar lagi anak kecil yang bahkan belum mengerti arti kata perceraian harus menyaksikan perceraian ayah dan ibunya. Tarno merasa gagal, rumah tangga yang telah dijalani selama sepuluh tahun akhirnya harus kandas.

Dinda makan baksonya dengan lahap. Saat Tarno menawarinya untuk tambah lagi, gadis kecil itu hanya menggelengkan kepalanya dan mengelus-elus perutnya sebagai isyarat bahwa dia sudah kenyang. Dinda lalu mengingatkan ayahnya dengan pesanan ibunya untuk membungkuskan bakso untuk Ibunya dan kakaknya Dila yang saat ini mungkin sudah pulang sekolah.

Dalam perjalanan pulang, Dinda terus mengoceh dan bercerita kepada ayahnya. Mulai dari teman-temannya di sekolah, tugas sekolah yang kadang dibantu kakaknya bahkan guru-guru sekolahnya. Mulutnya sesekali tersenyum saat menceritakan kejadian lucu. Tarno merasa sangat terharu sekaligus bersyukur bisa memangku dan memandang putrinya secara langsung. Selama ini dia hanya memandang lewat layar ponsel atau memandang foto dan video yang dikirimkan Susanti kepadanya.

Tanpa sadar Tarno memeluk putrinya dengan erat dan menciuminya kepalanya berkali-kali. Tentu saja hal ini membuat Dinda heran dan merasa geli. Dia meminta ayahnya untuk melepaskan pelukannya. Tarno langsung tersadar dan meminta maaf pada putrinya.

Mobil Avanza hitam sudah tiba di halaman rumah Tarno. Lelaki itu segera membuka pintu dan membantu putrinya untuk turun dari mobil. Tarno berjalan masuk ke rumah dengan menggandeng tangan Dinda. Dinikmatinya momen-momen kebersamaannya bersama putri kecilnya yang tidak pernah dirasakannya selama ini.

Saat masuk, dilihatnya Dila sedang membuka bungkus pakaian yang Tarno bawakan sebagai oleh-oleh. Begitu melihat Tarno, putri pertamanya langsung berdiri dan menyambut ayahnya. Menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan ayahnya. Saat Tarno menyodorkan tangannya, Dila segera menyalaminya dan mencium tangannya dengan takzim.

Tarno terharu, meskipun sudah lama berpisah kedua putrinya masih mengingatnya dan menghormatinya sebagai ayahnya. Netranya mengembun, segera disekanya sudut matanya agar butiran air bening itu tidak sampai jatuh ke pipinya. Susanti melihatnya dari kejauhan dengan tangan dilipat di perutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dasar cengeng,” kata Susanti lirih, lebih tepatnya berbisik karena hanya dia yang bisa mendengarnya.

Meskipun lirih, Tarno masih mendengarkan kata-kata Susanti. Hatinya terasa panas, namun dia berusaha mengabaikan perkataannya tadi. Tidak ingin kejadian tadi terulang lagi.

“Ayah kapan pulang? Kenapa tidak mengabari sebelumnya?” tanya Dila setelah keduanya duduk di sofa.

“Ayah sampai tadi jam 10.00, sengaja tidak mengabari untuk kejutan,” jawab Tarno.

Nyatanya, kejutan yang direncanakan Tarno gagal. Justru dia yang dikejutkan oleh Susanti dan Joko tadi pagi.

“Ayah di rumah berapa lama?” tanya Dila. Dinda sudah duduk di samping kakaknya saat ini, menyimak pembicaraan kakak perempuan dan ayahnya.

“Ayah tidak akan keluar negeri lagi. Ayah akan di sini terus,” ucap Tarno dengan ragu.

“Hore, Ayah tidak akan pergi lagi kan. Malam nanti Dinda mau tidur sama Ayah, ya?” tanya Dinda dengan penuh harap.

Tarno bingung untuk menjawab pertanyaan putri kecilnya. Rencananya setelah bertemu dengan Dila, dia akan berpamitan setelah itu pulang ke rumah emaknya. Namun dia takut akan menyakiti hati Dinda jika dia menolak permintaannya.

“Dinda mau ikut, Ayah?” tanya Tarno.

“Ke mana, Yah?” tanya Dinda.

“Ke rumah nenek. Hari ini Ayah mau ke rumah nenek.”

“Mau. Ketemu sama Dio ya, Yah?” tanya Dinda.

Dio adalah anaknya Ratih, adik perempuan Tarno.

“Iya. Dila mau ikut nggak?” tanya Tarno kepada putri pertamanya.

“Aku mau ikut. Mau ketemu sama Dio,” jawab Dinda kegirangan.

Sedangkan Dila hanya menggeleng dan mengatakan kalau besok masih ada ujian di sekolahnya.

Tarno ngobrol cukup lama dengan kedua putrinya. Dila dan Dinda tampak antusias bercerita dan sekali-kali bertanya pada ayahnya. Tanpa terasa sudah dua jam lebih mereka mengobrol. Jam di dinding menunjukkan pukul 16.00. Tarno segera mengakhiri obrolan yang sedang berlangsung seru itu.

“Sudah jam empat sore. Ayo, Dinda mandi dulu lalu siap-siap ke rumah Nenek,” kata Tarno.

Dinda segera berlari menuju kamar mandi dan menutup pintunya. Dari luar terdengar gebyuran air disiramkan. Beberapa saat kemudian Dinda sudah keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Beberapa bagian tubuhnya tampak basah. Gadis kecil itu segera berlari ke kamarnya dan memilih baju yang akan dikenakannya.

Setelah siap, Dinda berpamitan pada Ibunya dan kakaknya Dila. Awalnya Susanti keberatan karena sekolah masih masuk. Namun Tarno bersikeras untuk mengajak putri kecilnya. Akhirnya Susanti mengalah dan mengijinkan Dinda untuk pergi.

***

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam, mobil avanza hitam itu sampai di rumah bercat hijau dengan pohon mangga di halamannya. Rumah kecil itu tampak asri dengan beberapa bunga yang tampak mekar di sudut-sudut halaman.

Tarno segera turun dan berjalan masuk, diikuti Dinda di belakangnya. Melihat pintu terbuka Tarno langsung masuk sambil mengucapkan salam.

“Assalamualaikum,” kata Tarno. Lelaki itu melihat sekeliling rumah. Rumah itu sudah banyak berubah. Cat dindingnya sudah berganti warna menjadi hijau. Lantainya juga sudah dikeramik. Terakhir kali kemari lantainya masih semen berplester.

“Wa’alaikum salam,” terdengar sahutan suara wanita dari dalam kamar.

Rupanya Ratih, adik perempuannya. Begitu melihat Tarno, wanita itu berteriak histeris.

“Mak, Mas Tarno, Mak!” jerit Ratih. Dio yang ada di belakangnya bengong melihat kelakuan ibunya.

Ratih segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kakak laki-lakinya. Lalu disuruhnya Dio untuk bersalaman dengan pakdhenya. Dio yang belum pernah bertemu dengan Tarno hanya diam keheranan.

“Dio, salim. Itu pakdhe Tarno yang biasanya ngirim mainan buat kamu,” kata Ratih.

“Ada apa to Tih, kok teriak-teriak. Emak lagi salat,” sungut emaknya Tarno dengan melepas mukenanya. Begitu melihat Tarno yang sedang duduk emak langsung kaget.

“Astagfirullah. Emak nggak mimpi kan Tih. Emak ngelihat Tarno duduk di depanmu. Itu benaran Tarno, kan?” tanya Emak.

“Iya, Mak. Aku tadi manggil Emak kan mau ngasih tahu kalau Mas Tarno datang.” Ratih senyum-senyum melihat perilaku emaknya. Emak langsung menangis dan memeluk Tarno yang berdiri mendekatinya.

“Oalah. Tarno, bagaimana kabarmu? Pergi kok lama sekali, lima tahun nggak pulang-pulang. Kupikir sudah lupa sama Emakmu.” Emak menangis sambil menepuk bahu Tarno.

“Maafin Tarno, Mak.” Tarno ikut menangis. Bahkan lelaki itu kini menangis meraung-raung di pelukan emaknya. Tangisan yang ditahannya sejak tadi pagi akhirnya tumpah juga. Dia meluapkan segala emosinya dan menangis cukup lama.

 Emak mengelus punggung Tarno dengan lembut yang membuat Tarno semakin terharu dan tangisnya menjadi semakin keras. Air matanya bercucuran membasahi bahu emaknya.

Emak sampai kebingungan melihat Tarno menangis meraung-raung seperti anak kecil kini sibuk menenangkan putranya agar berhenti menangis.

“Sudah, No. Cukup menangisnya. Dilihat Dinda sama Dio itu loh. Apa kamu nggak malu?”

“Mak, huhuhuhu.” Tangisan Tarno semakin menjadi-jadi. Emak semakin kebingungan dibuatnya.

“Ayahmu kenapa to Din, kok nangis kayak gini?” tanya emak ke Dinda.

Dinda hanya menggelengkan wajahnya dan tersenyum. “Nggak tahu, Nek. Wong tadi habis makan bakso loh,” jawab Dinda lugu.

Emak ganti memandang Ratih mencoba bertanya lewat tatapan matanya. Ratih hanya mengendikan bahunya ke atas pertanda dia juga tidak tahu kenapa kakak laki-lakinya tiba-tiba menangis. Padahal dia bersikap biasa saja saat datang tadi.

“Maafkan Tarno ya Mak, huhuhu.” Lagi-lagi menangis dan minta maaf kepada emak. Emak semakin bingung melihat tingkah laku Tarno yang mirip anak kecil saat melakukan kesalahan.

“Kamu itu kenapa dari tadi kok minta maaf terus? Emak nggak ngerti, kamu minta maaf buat apa?” tanya Emak.

“Mak, Tarno sudah gagal. Gagal sebagai lelaki dan ayah yang baik,” jawab Tarno di sela isak tangisnya.

“Gagal apa? Emak nggak ngerti maksudmu.”

“Mak, pernikahan Tarno tidak bisa dipertahankan lagi. Tarno dan Susanti akan bercerai.”

Tangan emak berhenti mengelus-elus punggung Tarno saat mendengarkan perkataan putranya barusan. Emak sangat kaget dan langsung melepaskan pelukannya pada Tarno lalu memandang lekat-lekat wajahnya.

“Apa maksudmu? Kenapa bercerai. Jelaskan pada emak alasannya,” tanya Emak dengan keras.

Nafas emak mulai terengah-engah. Tangan kanan emak memegang dadanya. Wajahnya terlihat kesakitan. Hidungnya kembang kempis saat menarik nafas seakan ada sesuatu yang menghalangi jalannya lubang masuknya udara. Setitik keringat mulai muncul di pelipis emak.

Emak mulai limbung. Tubuh kurus yang ringkih itu pasti sudah terjatuh jika tidak segera ditangkap oleh Tarno.

“Mak!” jerit Tarno saat menangkap tubuh emaknya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Grobak Pedati
Tarno layak dikhianati, merasa lebay jd korban, jijik. Isap saja mmek istri sehabis dijolok kntol pacarnya. Pria cemen............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status