Share

2

 Tarno berjalan dengan pelan menuju ruang tamu. Tangannya tak henti mengusap kasar wajahnya yang tidak gatal. Bentuk rasa frustrasi yang tidak bisa terlampiaskan. Tubuhnya dia hempaskan begitu saja di sofa ruang tamu.

Kini dia tidak bisa lagi merasa bangga karena telah berhasil merenovasi rumahnya setelah berjuang di negeri orang selama lima tahun. Yang tersisa adalah penyesalan. Hal yang sangat dia takutkan sejak pertama dia meninggalkan rumah akhirnya terjadi juga.

Tarno tidak menyangka, orang yang sangat dia percaya untuk menjaga istrinya justru berbalik menghianatinya. Joko, sahabat karibnya. Yang diyakininya akan menjaga istrinya dengan baik selama dia disini. Tarno berpikir, Joko akan menjaga Susanti selayaknya saudara sendiri.

Pintu kamar terdengar membuka diiringi langkah kaki yang mendekat. Joko dan Susanti berjalan beriringan dengan kepala menunduk. Keduanya sudah duduk di depan Tarno sekarang. Masih dengan kepala tertunduk.

Tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya diam sehingga tercipta suasana yang hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar sekarang. Sesekali terdengar deru motor yang lewat di jalanan.

Tarno memandangi kedua orang di depannya dengan seksama. Susanti kini tampak lebih cantik dibanding sebelumnya. Tubuhnya menjadi lebih berisi yang membuatnya tampak lebih seksi. Bahkan daster yang dikenakannya tidak mampu menyembunyikan keseksiannya. Rambut ikal panjangnya yang biasanya hanya dikuncir asal kini tampak lurus dan terawat. Bahkan wajahnya yang sebelumnya tampak kusam kini tampak bercahaya meskipun tanpa sentuhan make up. Susanti memang aslinya sudah cantik. Dengan hidung mancung dan mata yang bulat. Meskipun sering melihatnya saat video call, namun Tarno masih terlihat takjub melihat kecantikan istrinya secara langsung.

Sementara Joko, tidak banyak yang berubah darinya. Dia hanya tampak bertambah tua sedikit karena rambutnya mulai botak di sisi kirinya. Beberapa uban juga mulai muncul di sela-sela rambutnya. Seperti rambut Tarno yang juga mulai beruban. Umur Tarno dan Joko memang tidak terpaut jauh. Tarno bahkan melihat perut Joko yang mulai membuncit.

Tarno menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi disini?” tanya Tarno dengan suara bergetar. Dia mencoba menahan tangis sekuat tenaga sehingga hanya mampu mengucapkan kalimat pendek tersebut. Dadanya bertalu-talu menahan amarah dan emosinya masih terus diredamnya sebisa mungkin. Tarno bukan tipe orang yang menyukai kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Hatinya yang lembut bahkan sudah rapuh sekarang setelah dikhianati oleh kedua orang yang sangat dipercayai.

“Mas, aku bisa menjelaskan semuanya. Apa yang kamu lihat tadi bukan yang terjadi sebenarnya. Kamu sudah salah paham. Kami hanya....” Susanti tidak mampu menyelesaikan perkataannya. Dia melirik Joko yang ada di sampingnya untuk meminta bantuan menjelaskan pada Tarno. Kakinya bahkan menyenggol kaki Joko sekarang.

“Hanya apa? Jelaskan dengan benar agar aku yang bodoh ini bisa mengerti perkataan kalian yang pintar.” Tarno tak mampu menahan tangisnya lagi sekarang. Setetes air bening meluncur membasahi pipinya yang segera diusap dengan tangan kasarnya.

Joko dan Susanti hanya menunduk diam tidak mampu menjawab pertanyaan Tarno. Tangan keduanya bertaut di atas paha masing-masing, persis seperti seorang terdakwa yang sedang diadili dalam sebuah pengadilan.

“Sejak kapan? Katakan padaku dengan jujur sejak kapan hubungan ini?” tanya Tarno lagi setelah mampu mengendalikan emosinya agar tidak menangis lagi.

Keduanya hanya diam tidak ada yang bersuara atau sekedar mengangkat kepala. Masih menunduk dengan posisi yang sama.

“Apakah kalian tuli, kenapa hanya diam saja dari tadi. JAWAB PERTANYAANKU!” Tarno akhirnya tidak tahan lagi. Dia mulai mengeluarkan emosi yang ditahannya sejak tadi.

“Apakah pertanyaanku sangat sulit dijawab?!! Bahkan Dinda yang masih TK akan menjawabnya dengan mudah,” ucap Tarno lagi. Tarno bahkan membandingkan keduanya dengan Dinda, anak bungsu Tarno yang sekarang sudah duduk di bangku TK besar.

“Susanti, jawab pertanyaanku. Apakah kamu bisu atau tidak mengerti. Perlu kuulangi lagi pertanyaanku!!” bentak Tarno pada istrinya. Tarno benar-benar marah sekarang. Dia bahkan memanggil nama istrinya langsung, hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.

Susanti sangat kaget saat mendengar suara keras Tarno saat membentaknya. Selama menikah dengan Tarno baru kali ini dia dibentak olehnya. Tarno selalu memperlakukannya dengan lembut dan tidak pernah marah. Kalau pun marah dia memilih untuk mendiamkan Susanti, baru setelah kemarahannya habis dia akan berbicara lagi.

“Aku lupa kapan tepatnya, Mas. Tapi semua berjalan begitu saja tanpa kami sadari.” Susanti menarik nafas panjang sebelum berkata lagi, “Aku yang merasa bosan dan jenuh kadang merasa sangat kesepian. Aku wanita normal yang butuh menyalurkan kebutuhan biologisku sementara kamu tidak ada di sisiku. Jadi aku melampiaskannya pada Mas Joko yang saat itu ada di sampingku,” jawab Susanti dengan mantap.

Tarno merasa kaget mendengar perkataan Susanti barusan. Bumi seakan terbelah menjadi dua dan menghisap segala sesuatu yang ada di atasnya termasuk Tarno. Dia merasa terisap ke dalam lubang yang tidak berujung saat mendengar ungkapan jujur istrinya.

“Lalu apa maumu sekarang?” tanya Tarno dengan memandang tajam Susanti.

Susanti hanya diam dan menoleh ke arah Joko. Sedangkan Joko masih menunduk tidak berani melihat Tarno ataupun Susanti.

“Jawab pertanyaanku. Apa maumu sekarang?” tanya Tarno sekali lagi.

“Aku ... Aku ingin kita bercerai, Mas,” kata Susanti dengan pelan.

“Susanti....” Joko menoleh ke arah Susanti. Dia akhirnya bersuara setelah mendengar jawaban Susanti tadi. “Apa maksudmu bercerai, Sayang?” tanya Joko lagi.

Cih, bisa-bisanya dia memanggil istrinya dengan sebutan sayang di depan suaminya sendiri. Benar-benar tidak tahu malu, pikir Tarno.

“Aku hamil, Mas. Aku sedang mengandung anakmu sekarang,” kata Susanti dengan memandang wajah Joko.

“Apa?” wajah Joko terlihat sangat kaget.

Tarno mengamati keduanya dengan perasaan muak. Bahkan dia sudah tidak kaget lagi saat mendengar perkataan Susanti barusan. Baguslah, pikirnya. Dia tidak perlu mencari-cari lagi alasan untuk mempertahankan Susanti agar tetap menjadi istrinya. Kabar kehamilan Susanti barusan membuatnya semakin yakin untuk menceraikan istrinya.

“Baiklah. Aku akan menceraikanmu sesuai keinginanmu. Dan kamu Joko, kamu harus bertanggung jawab atas anak yang sedang dikandung Susanti sekarang. Dia adalah anakmu, darah dagingmu,” kata Tarno dengan tegas tanpa berpikir lama.

Tadinya dia sempat berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Susanti tapi setelah mendengar keinginan Susanti yang ingin bercerai darinya ditambah dia sekarang sedang hamil anaknya Joko sepertinya dia tidak perlu berpikir dua kali untuk menceraikannya.

“Tapi, No. Kenapa aku harus bertanggung jawab atas kehamilan Susanti. Aku bahkan tidak yakin kalau anak yang sedang dikandungnya sekarang adalah anakku. Bisa saja dia tidur dengan lelaki lain selain aku,” protes Joko tidak terima jika harus bertanggung jawab menikahi Susanti.

“Mas, tega sekali kamu menuduhku seperti itu. Anak yang ada di dalam perutku adalah anakmu. Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain selain kamu. Selama ini aku hanya tidur denganmu sumpah demi Allah. Mana mungkin aku mengajak lelaki lain ke rumah ini selain kamu. Aku tidak mungkin mengkhianatimu,” protes Susanti saat mendengar perkataan Joko.

Hati Tarno teriris mendengar perkataan Suanti yang bahkan berani bersumpah atas nama tuhan. Dia bahkan sudah berani terang-terangan sekarang. Rasa malu sepertinya sudah menghilang darinya. Atau bahkan dia tidak menganggap Tarno ada sekarang.

“Aku tidak percaya kalau kamu tidak berkhianat dan tidur denganku saja. La wong Tarno yang suamimu sahmu saja kamu khianati. Apalagi aku yang Cuma selingkuhanmu, lelaki yang kamu anggap sebagai pemuas nafsumu saja. Bukankah mudah bagimu mencari lelaki lain saat aku tidak bisa memuaskanmu,” elak Joko.

Tarno merasa muak melihat pertengkaran kedua orang di depannya. Benar-benar tidak tahu malu. Mereka bahkan sudah bicara blak-blakan di depan matanya. Lupakah mereka bahwa Tarno lah orang yang paling tersakiti atas kejadian ini. Kenapa mereka malah bertengkar dan mempertahankan egonya masing-masing.

“CUKUP! DIAM SEMUA!” Tarno menggebrak meja dengan kedua tangannya.

Joko dan Susanti langsung terdiam dan memandang Tarno sekilas. Melihat wajah Tarno yang memerah menahan amarah membuat keduanya menundukkan wajahnya lagi dengan posisi seperti seorang pesakitan.

“Sekarang aku akan bertanya. Kalian jawab dengan jujur.” Tarno akhirnya memutuskan.

“Susanti kamu mau kita bercerai kan?” tanya Tarno dengan tegas.

“Iya, Mas,” jawab Susanti dengan pelan. Dia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya dan memandang Tarno secara langsung.

“Lalu kamu Joko. Bukankah Susanti sudah bilang dia sedang mengandung anakmu. Sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab bukankah seharusnya kamu menikahi Susanti setelah kuceraikan. Agar anakmu memiliki sosok ayah,” kata Tarno dengan memandang Joko tajam.

Joko hanya menunduk dan tidak menjawab pernyataan yang dilontarkan Tarno padanya.

“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaanku tadi begitu sulit untuk dijawab. Bukankah jika berbuat harus berani bertanggung jawab. Dimana tanggung jawabmu sebagai lelaki sekarang?”

Joko masih diam saja. Tidak mengiyakan atau menolak.

“Apakah aku perlu melaporkan kasus perzinaan ini ke kantor polisi saja?” Tarno mengancam kali ini.

Joko langsung mendongak memandang wajah Tarno. Saat kedua mata itu bertatapan, Joko menggelengkan kepalanya.

“Jangan, No. Baiklah, aku akan bertanggung jawab dan menikahi Susanti,” jawab Joko dengan pelan.

“Baguslah. Kenapa tidak dari tadi kamu bilang seperti itu. Bukankah kamu masih single, kenapa harus berpikir lama untuk memutuskan kamu akan menikahi Susanti.”

Tarno terdiam cukup lama. Saat ini dia tidak mungkin tinggal disini lagi. Melihat wajah Susanti hanya akan mengingatkannya dengan kejadian yang dilihatnya di kamar yang akan menyakiti hatinya lagi. Dia harus pergi dari rumah ini untuk menenangkan hatinya. Namun lelaki dengan dua putri ini ingin menemui kedua putrinya sebelum meninggalkan rumah.

“Kapan anak-anak pulang?” tanya Tarno pada Susanti.

Susanti menoleh untuk melihat jam di dinding yang berada si sebelah kanannya. Jarum jam menunjuk pada angka 10.25. Lima menit lagi, Dinda putrinya berusia enam tahun akan pulang diantar tetangganya. Susanti memang sudah berpesan pada tetangganya agar membawa Dinda pulang bersama saat menyusul anaknya nanti.

“Sebentar lagi Dinda tiba. Dila pulang sekolah jam 12.00 nanti,” jawab Susanti.

Akhirnya Tarno memutuskan untuk berpamitan kepada anak-anaknya sebelum pergi dari rumah ini. Tarno sangat merindukan kedua putrinya yang sudah lima tahun tidak ditemuinya. Mereka pasti sudah sangat besar sekarang. Selama ini dia berbincang dengan kedua putrinya lewat video call atau panggilan telepon saja. Sekaranglah saatnya dia bisa bertemu dan bisa menyentuh atau memeluk mereka secara langsung.

“Jadi, sudah berapa bulan kehamilanmu?” tanya Tarno.

Susanti tampak kaget saat mendengar pertanyaan Tarno. Tangannya tampak menggaruk pahanya yang tak gatal.

“Itu ... Itu...,” lirih Susanti.

Tarno dan Joko memandang Susanti tanpa berkedip menunggu jawaban Suanti.  Membuat satu-satunya wanita di ruang tamu itu semakin gugup. Tangannya berkali-kali membenarkan anak rambut untuk diselipkan di belakang telinganya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status