Danish's POV.
Bayangan tentang pernikahan menari-nari di kepalaku, berserta banyak kesebelasan anak berlari di segala sudut ruangan.
Dengan langkah yang mantap, aku masuk ke dalam rumah, selangkah lagi aku akan membawa Anna dalam dekapan hangat, dan tidak akan pernah bisa dilepaskan lagi.
Sambil bersiul, aku memainkan kunci mobil. Berpikiran untuk resign dari G00gle, dan bekerja di cabang G00gle demi Anna, dan anak-anakku.
"Danish, kamu sudah punya anak?" Langkahku terhenti, karena pertanyaan Ayah. Aku tersenyum, dan merasa bangga sebagai seorang ayah. Merasa sebagai seorang pahlawan, walau terlambat.
"Ya. Ayah sudah tahu? Padahal aku rencananya mau buat kejutan." Aku mencoba memperjelas, di saat wajah Ayah mengeras.
Bugh!
Dalam sekali pukulan, kepalaku langsung berputar, aku mencoba meludah sebentar, dan berdarah. Pukulan itu tidak main-main.
"Kamu benar-benar bajingan! Kamu mau
Kalian pernah berpikir seandainya kata penyesalan itu tidak pernah terciptakan? Seandainya, perasaan menyesal itu tak ada mungkin aku tidak akan sekalut ini.Aku benar-benar merenungi nasibku, memandang ke jalanan, ditambah suasana yang seperti terus menghukum diriku, sekarang hujan turun tak begitu deras, tapi tidak juga gerimis, dan intens. Seperti perasaanku yang teriris, dan menangis, karena penyesalan.Aku melihat jam yanga melingkar pergelangan tangan, sedang menunggu Raja. Hanya ingin berbagi, walau mungkin dia akan menertawakan kebodohanku. Sungguh, aku sanggup menyebut kata 'menyesal' hingga jutaan kali, demi Anna memaafkan diriku.Aku menatap bangku kosong di depanku, dan membayangkan Anna tersenyum manis ke arahku. Ah, wanita itu. Sekarang dia sangat membenci diriku. Entah apalah arti diriku tanpa Anna. Wanita itu adalah orang hebat di belakangku, hingga aku sampai pada tahap ini, dan menyakiti dirinya semakin dalam.Ann
Aku tak tahu sejak kapan Mommy menjadi keras kepala seperti ini, tapi Mommy mengikuti diriku menuju rumah Anna. Aku sudah berkali-kali melarang, dan menolak, tapi wanita yang selalu memanjakan aku begitu ngotot ingin ikut. Aku tahu, Mommy menaruh harapan besar, dan juga senang, karena punya dua cucu, karena Mommy dari dulu ingin punya anak lagi, tapi tak lagi diizinkan. Akhirnya, Mommy hanya menaruh harapan padaku, dan Mommy sangat menyayangi Anna, Mommy selalu berpesan hanya Anna yang boleh jadi menantunya. Aku hanya menggeleng, dengan permintaan aneh orang tua ini. "Anna masih menaruh dendam pada kita." Aku mencoba memperingatkan, di saat Mommy hanya menggeleng. "Mommy akan melakukan apa saja agar kalian bersatu." Sekarang gantian aku menggeleng, punya dua wanita tersayang yang sama-sama keras kepala. Aku memutar musik slow, mengisi. Mommy hanya tersenyum, dia saat aku sedikit khawatir Anna tidak akan menyukai kehadiran kami
Aku hanya mengamati pemandangan di depanku, dengan perasaan dongkol luar biasa. Rasanya, ingin melempar pasir ke wajah mereka satu-persatu.Suara ombak bergulung-gulung, saling bersahutan. Menghela napas, aku memalingkan wajahku ke arah lain. Mau bagaimana lagi, alam seolah selalu membuatku berakhir di sini.Walau tak ada perasaan tak ikhlas di sini.Anak-anakku tertawa dengan puas sambil berenang, dengan memakai masing-masing pakaian renang, dan pelampung bebek dengan mulut jelek. Huh, aku masih kesal, begitu kesal.Danish sialan itu begitu membujuk anak-anakku, aku sudah menolak mati-matian, tapi anak kecil selalu meminta sesuatu dengan tangisan, akhirnya aku menghela demi anak-anakku. Dasar Danish sialan, perayu ulung!Laki-laki sial itu sedang berenang bersama anak-anakku, ditambah ibu dan ayahnya ikut dalam trip kali ini. Aku tahu, mereka semua mau mencoba menarik perhatian anak-anakku, sebenarnya aku tak ikhlas sam
"Anna, kami tahu ini memang tak mudah. Ya, pernah ada kesalahan di antara kita. Tapi, sebagai keluarga besar, kita pernah saling mengenal sebelumnya. Tentu, tidak bijak jika kita saling bermusuhan, karena ini. Kami meminta maaf, dan akan menebus semuanya."Aku mengembuskan napas panjang, sambil menatap pada Ayah Danish. Aku tak tahu kenapa, orang tua Danish selalu saja merendahkan harga diri mereka, demi anak sebiji mereka yang brengsek!Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah Danish. Dia selalu berpijak pada orang tuanya, dia sudah berbulu, bukan lagi anak kecil. Aku benci laki-laki ini. Dia bersikap seenaknya, dan sekarang orang tuanya harus mengemis-ngemis seperti ini? Binatang seperti apa Danish itu?"Bahkan, Danish bisa melakukan semuanya sendiri. Kenapa di sini terkesan Danish cuci tangan, dan menyuruh orang tuanya? Di saat dia bisa melakukan sendiri!""Kami tahu. Dari keluarga besar Danish, kami meminta maaf pada apa yang pernah
"Cucu aku yang cantik-cantik."Senyum terpaksa akhirnya kuulas, dan terlihat bahagia, walau mungkin beneran bahagia."Aku nggak bawa apa-apa, Mommy." Aku berkata dengan jujur. Saat masih di kantor, Ibunda Zyan, Mommy Danish meminta aku membawa anak-anakku, sebenarnya aku tak enak hati menolak, tapi tidak akan mengizinkan mereka dekat dengan anak-anakku, jika aku tak bisa mengawasi langsung. Setelah pulang kantor, aku langsung membawa ke dua anakku ke sini. Dan untuk pertama kalinya, Celine dan Celena datang ke sini.Anak-anakku selalu bersemangat melakukan apa saja, mereka mengelilingi rumah, dan bertingkah pernah ke rumah ini sebelumnya. Aku hanya berdiri, memperhatikan rumah yang sudah lima tahun tidak ke sini."Aku kira tadi nggak ingat lagi jalannya." Aku berkata untuk mencarikan suasana, keadaan masih sama, belum banyak yang berubah, kecuali mungkin TV yang makin lebar, warna sofa yang diganti, aku bisa menebak sofa ini digant
Hanya keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama. Nyatanya, aku lebih bodoh dari itu.Aku menyibukkan diri di balik meja kerja, walau pikiran berjalan ke mana-mana. Menghela napas berkali-kali, hanya meng-klik mouse berkali-kali tak tentu arah.Aku mengangkat wajahku, saat merasakan kepala Nora menyembul ke dalam kubikel, aku hanya menatapnya sekilas kembali menatap M!crosoft Word yang kosong, hanya menampilkan layar putih, aku tak punya kata-kata, belum ada deadline berarti, dan hari ini hanya tugas ringan."Rindu Abang? Kan tinggal nelpon aja. Aku punya nomor wasap Danish. Kamu pasti nggak punya." Aku tak menghiraukan kicauan Nora, dan kembali mengklik asal.Tak lama, notif pesan masuk ke dalam layar laptop, Nora beneran mengirim nomor Danish sialan. Sebenarnya, aku memang tak punya nomor laki-laki itu, dan tak peduli jika dia mau punya atau tidak.Tanganku tak sengaja meng-klik pesan dari Nora, dan membuka kontak
Aku tersenyum di depan cermin. Mengingat semua kebodohan demi kebodohan yang aku lakukan.Hanya tersenyum, dan sebentar lagi jadi gila.Aku merasakan kaki telanjang menginjak kaki yang dingin. Sudah berganti pakaian rumah lebih santai. Anak-anakku sedang berlarian di luar, tiada hari tanpa lari, kejar-kejaran, tertawa, dan menangis. Hanya itu masalah anak kecil.Danish sialan itu sedang bermain bersama anak-anaknya. Walau bagaimanapun dia terlihat bertanggung jawab, dan menyayangi anak-anaknya, walau memang wajib dia melakukan hal itu."Mama." Aku hanya mendelik tajam ke arahnya. Memilih duduk di sofa, dan menghidupkan TV."Ayah, mau menggambar aja." Celena meloncat dari punggung lebar Danish. Dan mulai mewarnai, Celine masih tertawa, dan ingin terus bermain kuda. Bahkan, mereka rela menunggu aku di kantor, dan akhirnya semua orang tahu Anna punya anak, kembar pula, bahkan sudah besar. Aku tak peduli orang-orang mau be
Sudah saatnya bangun, mengangkat pantat yang malas ini untuk bekerja, dan melakukan aktivitas. Hawa pagi identik dengan semangat baru. Walau aku tak bersemangat.Aku menarik tanganku yang terasa keram, dan mengelus-elus wajahnya, sambil mendengar suara halus dengkurannya.Aku menusuk-nusuk pipi Danish. Sebenarnya sangat kesal padanya, tapi aku senang saat dia berada di sekelilingku."Kau tahu, sialan! Saat dulu kamu pergi, pagi-pagi gini aku bangun dan nangis. Kamu tuh jahat, Danish." Aku mengelus-elus rambutnya, sambil mencium pipinya. Mulai menganggunya, membuka matanya, membuka bibirnya, dan menghitung giginya. Menarik-narik hidung mancung tersebut, tapi laki-laki ini seperti sangat kelelahan.Saat tanganku menyusuri wajahnya, tanpa sadar tanganku sudah digigit. Aku terpekik, dan memukul dada Danish. Dia tersenyum, masih dengan menutupi matanya, aku menarik rambutnya. Akhirnya dia membuka matanya.Aku mengintip ke a