Share

2. Malam kelabu

"Kau takkan suka dengan apa yang akan kau lihat, Kakak ipar." Ucap gadis yang berpakaian begitu minim. Menatap Arum yang memegang kuat-kuat kemudi mobil yang sudah berhenti di depan gedung apartemen.

"Tapi, terserah padamu, Kakak ipar. Aku hanya akan mengantarmu sampai depan pintu saja karena aku ada janji dengan teman-temanku malam ini." Ucap gadis yang lalu turun, tak perduli dengan suasana hati Arum pada fakta yang baru saja diketahuinya hari ini. Suaminya yang jarang pulang itu memiliki apartemen lain bahkan--

Duk..duk..!

Suara kaca mobil yang digedor tak sabar membuat Arum menarik nafasnya begitu dalam. Ia keluar lalu berjalan berdua dengan gadis tinggi semampai disampingnya dalam diam. Gadis yang bahkan lebih perduli dengan warna kuteks yang menyala dijemari lentiknya itu dibandingkan dengan perasaan Arum, sang kakak ipar.

"Kau jadi masuk atau mundur saja dan jalani hidup seperti biasa?" ucap Zizi begitu tak bersimpati lalu membuang muka mendapati tatapan Arum yang ujung matanya seperti pisau.

"Jangan menatapku begitu, Kakak ipar. Kau saja yang terlalu bodoh. Tak tau apa yang suamimu lakukan dibelakangmu." Ucap Zizi begitu biasa. Seolah apa yang Arum ketahui beberapa saat lalu adalah hal yang begitu remeh. Begitu ringan. Hal biasa. Tidak penting. Bahkan tak lebih penting dari kuteknya yang hari ini berwarna merah terang.

"Dengar, aku tak ingin terlibat dalam hal ini jadi aku akan pergi begitu kita sampai."

"Ya." ucap Arum begitu singkat meski ia meremas tangannya kuat-kuat, lalu berjalan mengikuti zizi tanpa kata masuk kedalam lift yang sepi. Sampai ponsel zizi berbunyi dan langsung diangkatnya tanpa permisi seolah Arum tak ada disampingnya.

"Hai, Baby, maaf aku akan terlambat datang tapi jangan coba-coba memulai tanpa aku.... yeah aku hanya sedang mengurus masalah kecil," ucap Zizi yang melirik Arum. Sang kakak ipar yang hanya diam mendengar suara musik dan suara pria samar dari ponsel Zizi namun, tak perduli karena Arum bahkan tak yakin dengan apa yang sedang ia rasakan sekarang.

"Bukan hal penting kok, Makanya jangan mulai bersenang-senang tanpa aku. I`ll be there soon--- bye, Seth. love you baby, muach!" ucap Zizi mengahiri telponnya sambil memberi ciuman panjang yang tampak percuma lalu menatap Arum yang masih saja diam. 

Tapi, apa perdulinya pada apa yang kini sedang dirasakan si kakak ipar disampingnya ini? ada pesta yang sudah menunggunya dan ia harus hadir telat berkat Arum. so terimakasih KAKAK IPAR!

Di dalam lift yang sepi mereka terus diam sampai lift terbuka dilantai 12 dan Zizi berjalan keluar terlebih dahulu meninggalkan Arum yang makin mengeratkan pegangan tangannya sendiri lalu berjalan menyusuri lorong yang terasa dingin.

"Kau sering datang kemari?" tanya Arum tiba-tiba membuat Zizi yang sesekali menatapi jam dipergelangan tangannya jadi bisu beberapa saat lalu menjawab singkat.

"Beberapa kali," jawab Zizi pada ahirnya membuat Arum menarik garis bibir tanpa ia sadari. Dan itu tak mungkin bisa disebut senyum.

"Kau tau, Maya teman baikku, Arum. No hard feeling ok? semua hanya terjadi."


Ucapan Zizi seakan menusukkan jarum pada wanita yang hanya beda satu tahun dengannya ini. Tak ada lagi panggilan kakak ipar bernada manis yang sering Zizi keluarkan apalagi jika gadis disampingnya ini menginginkan sesuatu. 

Bukan salah Zizi, jika menganggp Arum seperti ATM pribadinya. Arum hanya sudah terbiasa begitupun Zizi. Lagipula mereka keluarga, bukan? Atau hanya Arum yang menganggap seperti itu? 

MEREKA KELUARGA, BUKAN! tapi keluarga macam apa mereka ini?

"Ya, aku tahu. Maya teman baikmu, dan aku hanya istri dari kakakmu." Ucap Arum membuat Zizi terdiam mendengar nada ejekan dari bibir iparnya itu dan terus melangkahkan kakinya dalam diam tak mampu membalas. Dan baru berhenti melangkah di depan pintu yang suara dari dalamnya lamat-lamat terdengar.

Zizi tak mau menutup mulutnya, ia menoleh pada Arum yang genggaman tangannya sendiri bahkan membuat buku-buku jarinya memutih saat mendengar seramai apa suara dibalik pintu tertutup yang membuat jantungnya bertalu-talu. "Kukatakan saja padamu. Aku kashian padamu Arum tapi apa yang bisa kulakukan? semua sudah terjadi."

"Ya, tentu saja, Zizi. Kau juga Ibu hanya menutup mata kalian, tak lebih dari itu."

Arum yang bisa merasakan sedalam apa kuku jarinya menancap pada telapak tangannya sendiri ini menyadari hidupnya tak seperti yang dia pikirkan selama ini. Lalu kembali diam menatapi pintu dengan keramain dan tawa yang membuat jantungnya berdetak makin cepat. Apa lagi saat Zizi menjulurkan tangan lentiknya memencet bel yang tak lama dijawab.


"Siapa?" Suara manja bocah kecil terdengar. 

"Ini tante Zizi, Sayang. Buka pintunya, please," ucap zizi begitu ramah, begitu hangat, begitu akrab pada suara anak kecil yang langsung membuka pintu dan memeluk Zizi cepat tak perduli pada wanita yang berdiri memandangnya dengan mata kaget. Memandangi gadis kecil dengan senyum begitu lebar lalu mendongak menatap Arum yang tubuhnya jadi kaku, membisu dengan suara tercekat tak percaya.

Memperhatikan gadis kecil yang sering dilihatnya setiap kali mengantar dan menjemput Arimbi di preschool yang sama.

"Siapa, Sayang?"

"Tante Zizi, Pi" jawab gadis kecil yang menolehkan kepalanya, menatap pria yang wajahnya berubah begitu melihat Arum yang juga menatap pria yang sudah memakai baju santai itu. 

"Kenapa cuma diam, Pi? suruh masuk dong," ucap wanita yang memeluk pria yang berdiri kaku itu.

Meski tampak terkejut melihat Arum tangan Maya terus melingkar pada pinggang Bagas. Lalu menunjukan senyum begitu manis pada wanita yang wajahnya begitu kaget. Terkejut. Berusaha mencerna.

"Sayang, kamu jalan sama tante Zizi dulu ya?" ucap Maya pada gadis kecil berpita pink yang masih memeluk kaki Zizi.

"Tidak bisa, May. Gue ada janji sama Seth." Tolak Zizi cepat begitupun gadis kecil yang melepas pelukannya.

"Tidak mau, Mi. Aku mau nonton dan beli mainan sama Papi!" tolak gadis kecil yang memang keras kepala itu dengan seluruh rasanya.

"Carmen sayang, Papi ada sedikit urusan. Kamu sama tante Zizi dulu ya? besok baru kita beli mainan yang banyak."


"!!' Ucapan Bagas membuat Arum tiba-tiba mengingat gadis kecilnya dirumah dan bertanya pada dirinya sendiri pernahkan suaminya berlaku begitu lembut pada anak mereka? TIDAK. Tak sekalipun!

"Tapi, aku maunya main sama papi, Pi. bukan sama tanye Zizi."

"Gue jug-"

"Kakak mohon, Zi. Kali ini saja." Ucap Bagas pada adik perempuannya yang meski menolak ahirnya mengangguk, mengalah.

"Ganti bajumu, Tuan putri. Kau pergi denganku."

"Kemana, Tante?"

"Pesta." Ucap Zizi membuat Carmen tersenyum senang lalu berlari ke kamarnya diikuti Zizi yang masuk ke dalam tanpa menoleh pada Arum. Gadis egois itu hanya ingin cepat-cepat pergi untuk bertemu dengan lelaki yang tadi menelponnya. Rasanya ia bahkan tak menyimpan rasa bersalah untuk Arum. Bersalah? Ia bahkan tak bersimpati sedikitpun!

"Jangan harap gue akan ngebatalin acara gue, May." Ucap Zizi saat melihat pandangan Maya padanya.

*

Ruangan yang tampak nyaman itu begitu sepi tanpa suara. Tiga orang yang duduk di atas sofa lembut dan empuk itu tampak tidak ingin memulai percakapan. tidak Arum, tidak juga Bagas suaminya. Suaminya? lucu sekali, bukan?

Tapi, terdengar dan terlihat selucu apapun Arum Wijaya sama sekali tak ingin tertawa.

"Kau ingin minum sesuatu, Arum?" tanya wanita yang duduk disamping Bagas, menatap wanita yang mengatupkan mulutnya begitu rapat.  

Tak ada rasa bersalah atau menyesal sedikitpun baik dalam sikap atau sorot mata Maya, wanita itu bahkan bersikap begitu santai seolah sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Sungguh jauh berbeda dengan wanita yang lebih memilih tak menjawab tanya Maya dan menatap Bagas yang juga diam membisu.

"Sejak kapan?" ucap Arum tak perduli pada pertanyaan basa-basi Maya.

"Arum aku min-"

"Aku bertanya padamu sejak kapan, Mas?" sela Arum memotong ucapan suaminya atau suaminya berdua Maya. Hal yang baru ia ketahui beberapa saat lalu dari mulut sang adik ipar. Zizi yang keluar bersama keponakannya.

'Keponakannya?' batin arum yang rasanya ingin tertawa sendiri.

"Kami tak pernah berpisah, Arum. Tidak sekalipun." Ucap Maya menggantikan Bagas yang hanya terdiam. Membuat Arum menatap wanita yang duduknya begitu nyaman itu.

"Aku bertanya pada mas Bagas, Maya. Bukan padamu." Ucap Arum membuat Maya menatapnya tajam tapi Arum tak perduli.

"Sejak kapan, mas Bagas? apa kau mendadak jadi bisu kini?" ucap Arum yang tak perduli pada tatapan menghujam wanita yang duduk disamping Bagas yang terus membisu.

"Arum maafkan aku." Ucap Bagas membuat Arum menarik nafasnya dalam. Berharap rasa sesak yang ia rasakan berkurang. Tapi percuma dadanya seperti ditindih benda berat tak kasat mata yang terasa begitu nyata.

"Kau jadi tuli rupanya. Aku bertanya padamu sejak kapan Mas Bagas dan aku tak butuh maafmu."


Ucapan Arum membuat Bagas menatap wanita yang duduk di hadapannnya. Wanita yang tatapannya saja cukup menyiutkan diri pria yang mulutnya jadi terasa begitu kering seketika.

"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."

"!"

PS. sudahkah merasa sesak? belum? than keep reading it.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status