Share

3. Bak binatang kelaparan

"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."

Manik mata Arum membesar meski ia sudah bisa mendengar kalimat Bagas berputar-putar dalam kepalanya berulang kali. Apalagi saat ia melihat gadis kecil yang membuka pintu. "Tapi kau menikahiku, Mas Bagas, tidakkah itu artinya kau memilihku dan melupakan masa lalumu?" ucap Arum berusaha agar suaranya tak melemah meski hatinya sakit. Sangat sakit. 

"Kau hanya datang disaat yang tepat, Arum." Ucap Maya membuat Arum seolah kehilangan kata-kata.

"Saat yang tepat?" ucap Arum mengulang dengan lemah. Tapi dua orang didepannya tak mengerti itu dan melanjutkan ucapan mereka.

"Maya kembali tapi pernikahan kita tinggal dua hari lagi dan tak mungkin dibatalkan," ucap Bagas membuat Arum menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Bukankah aku bertanya padamu sebelum kita benar-benar sah menjadi suami istri. Apa kau sungguh ingin menikah denganku, Mas Bagas? Dan apa jawabanmu hari itu? Tidakkah ayahku juga menanyakan hal yang sama sebelum penghulu datang apa kau benar-benar ingin menjadikan aku istrimu? dan apa jawabanmu? kau bersedia. Tak ada paksaan bahkan kau tampak... ya Tuhan... Apa kau bersandiwara padaku selama ini?" ucap arum menutup wajahnya. 

Rasanya ia merasa jadi manusia paling bodoh di dunia dan sekelebat senyum Arimbi yang begitu polos membuatnya ingin menangis tapi ditahannya sekuat hati. Arum tak sudi meneteskan airmatanya dihadapan pria yang... yang menikahinya juga wanita yang masih begitu tenang bahkan menujukan senyum.

"Kita... Kita bahkan punya anak, Mas Bagas"

"Ayolah, Arum. Bahkan pria bisa bergonta-ganti wanita panggilan tiap malam." Ucap Maya membuat Arum menatapnya tajam.

"Aku bukan wanita murah sepertimu, Maya. Yang biasa saja disentuh pria yang mau memberikan macam-macam." Ucap Arum membuat Maya berdiri seketika tak terima dikatai seperti itu. 

"Arum, kumohon jangan menghina Maya." Ucapan Bagas membuat Arum tertawa meski matanya terasa panas dan perih. Ia menatapi pria yang tangannya mengepal kuat.

"Kau marah karena aku mengatakan kebenaran? Kurasa cinta benar-benar membuat orang jadi buta, bukan?" ucap Arum membuat Bagas jadi diam begitupun dirinya, dan menatap potret keluarga yang tampak bahagia seakan mengejek dirinya begitu menohok. 

Senyum Maya, tawa Carmen, pelukan Bagas pada keduanya. Potret itu terasa begitu mengolok-olok Arum yang teringat pada gadis kecilnya yang pasti sudah tidur. Gadis kecil yang tertawa begitu bahagia hanya karena ia mengatakan Arimbi mirip sekali dengan Bagas karena sama-sama menyukai hal manis tapi bukan kue.


Tawa bahagia dan polos sang putri yang rasanya begitu ingin membuat Arum menangis sejadi-jadinya. TAPI IA TAK AKAN MENUNJUKAN ITU PADA BAGAS MAUPUN MAYA. TIDAK AKAN!!

"Seandainya kau tak mengandung kita pasti sudah berpisah."


Namun, ucapan Bagas membuat Arum seakan tertampar begitu keras. Membuat matanya basah tanpa bisa ia cegah. "Jangan pernah menyalahkan anakku atas apa yang kau lakukan."

Arum menahan amarahnya meski tatapan matanya begitu tajam. Tepat tertuju pada lelaki yang yang duduknya jadi tak tenang itu.

"Yang mengatakan ingin menikah denganku, kamu"

"Yang menyentuhku, kamu"

"Jadi jangan sekalipun menyalahkan anakku atas keegoisan dan kepengecutanmu, Mas Bagas."

"Semua adalah pilihanmu juga kebodohan diriku yang tidak bisa melihat. Jadi jangan berani-berani menyalahkan anakku." Ucap Arum setegas-tegas dirinya. Lalu menghapus air matanya dan berdiri. 

Rasanya ia sudah cukup mendengar apa yang ingin diketahuinya. Arum sudah cukup mendengar apa yang ingin ia pahami. CUKUP!!

Arum berdiri dari tempatnya duduk, matanya yang masih menyisakan airmata menatap Bagas. "Ayo bertemu lagi dipengadilan untuk bercerai."

Arum yang sudah melangkah menatap tangan pria yang menahan tangannya, "aku tak pernah mengatakan ingin bercerai, Arum."


Arum menatap tangan besar yang menggenggam lengannya erat, "sekalipun kau tidak. Kau sudah mendengarku yang menginginkan perceraian kita. Aku tak mau melanjutkan hidup seperti ini lagi, Mas Bagas. Dan keputusanku sudah bulat kini setelah mendengarmu- ini... ini sudah cukup bagiku," ucap Arum yang sorot matanya begitu yakin. Ia ak akan goyah dan Bagas tau itu. Sangat tau.

"Berpikirlah tentang anak kita, Arum," ucap Bagas membuat Arum menatapnya tajam dan mengangkat tangan secepat tangan itu bergerak.

PLAKK...!

Arum menampar pipi pria didepannya dengan tangannya yang bebas. Sensasi panas yang menjalar dipermukaan tangannyapun tak Arum perdulikan sebagaimana ia tak perduli pada pria yang kaget baru saja menerima tamparan begitu sepenuh hati dari Arum. Wanita yang baru kali ini menamparnya sejak mereka saling mengenal.

"SUDAH KUKATAKAN PADAMU JANGAN BAWA-BAWA ANAKKU!"!" seru arum yang tak lagi bisa menahan amarahnya lagi. Emosinya sudah tak tertahan kini.

"Pernahkah kau mengusap kepalanya begitu sayang seperti perlakuanmu tadi pada Carmen? Pernahkah kau meluangkan waktumu sesaat untuk sekedar memujinya yang mendapat nilai bagus? Atau pernahkah kau memeluknya begitu lembut seperti caramu memeluk anakmu dari wanita MURAH itu!" ucap Arum yang tak bisa menahan rasa sakit dalam hatinya juga derai airmata yang mengalir bagai anak sungai.

Seluruh dirinya menjeritkan kata perih, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk gadis kecil yang wajahnya semakin membuat batin arum menjerit dan sakit. 

Arimbi yang sudah terbiasa hidup hanya dengan dirinya tak perlu merasakan kesakitan yang kini sedang ia rasakan. Arum akan menghindarkan perasaan buruk mengganggu tumbuh kembang anak pecinta permen stroberi yang kehadirannya begitu ia syukuri. Dan Arum tak akan pernah memaafkan siapapun yang menyalahkan kehadiran Arimbi, tak seorangpun termasuk pria yang masih menatapinya tak percaya pipinya memerah berkat tangan arum.

"Kau dan keluargamu bersikaplah seperti biasa. Toh, aku dan putriku sudah biasa tanpa kehadiran kalian." Ucap Arum menyentak tangannya kasar dari cengkraman tangan pria yang jadi diam menatapnya pergi. Lalu menutup pintu begitu kasar.

BRAKK!!

Arum yang berlari keluar apartemen langsung menghampiri mobilnya dan menangis tak memperdulikan ponselnya terus berbunyi tak kenal menyerah. Ia terus menangis sesuka hati mengakui pada diri ia sedang terluka, kecewa juga marah. Arum Wijaya terus menangis berharap seluruh rasa buruk luruh bersama airmatanya yang menganak sungai dengan dering ponsel yang terus mengiringi.


Bahkan sampai Arum menghapus mata sembab nan merahnya itu berhenti menangis meski meninggalkan isak yang sesekali terdengar juga perih dimata. Ponsel Arum terus berdering.

Dering yang sama sekali tak diperdulikan wanita yang ujung matanya menatapi kantong berisi permen lolipop rasa stroberi.

Permen yang sudah dibelinya sejak awal, karena Arum sadar perasaanya akan sangat buruk dan tak mungkin mampu masuk ke dalam toko setelah mendengar kebenaran dari apa yang ingin ia ketahui.

Tangan Arum yang terulur mengambil kantong berisi permen untuk Arimbi mendekap erat kantong dari kertas warna-warni yang sudah berpindah dari jok belakang keatas pangkuannya. Ia mengingat putrinya yang pasti sudah tidur dan tawa gadis kecil yang fotonya terpampang dilayar ponsel yang terus berdering tanpa henti itu membuat matanya berair lagi.

"Kamu bukan kesalahan sayang, tapi kamu kesayangan mama," ucap Arum yang menyentuh garis tawa Arimbi.

Setelah menarik nafas dalam-dalam Arum melajukan mobilnya tapi bukan rumah dimana gadis kecil kesayangannya tertidur lelap yang ia tuju.

*

"Kamu mau kemana, Mas?" tanya Maya pada Bagas yang mengambil kunci mobil.

"Pulang?"

"Pulang?! Disini rumahmu, mas Bagas. Kau mau pulang kemana lagi?" tanya Maya tampak tak bisa menahan emosinya menatap pria yang sudah memegang gagang pintu.

"Aku tau, Maya. Tapi aku tetap harus pergi," ucap Bagas menghampiri pemilik mata memikat yang memeluknya erat.

"Jangan pergi, wanita itu sudah menyerah padamu. Itu yang kita inginkan, bukan?" ucap Maya tapi tak mendapat respon apapun dari Bagas.

"Itu yang kita inginkan 'kan, Mas Bagas?" ulang Maya menyentuh pipi pria yang ahirnya mengangguk membuat Maya tersenyum dan melumat bibir Bagas begitu lapar lalu turun menyusuri leher Bagas dan mulai melepas baju pria yang tampak ingin menolak.

"Jangan pulang, kumohon," ucap Maya yang tangannya menjelajah kedalam celana bagas. Begitu lihai memainkan jarinya yang penuh perhitungan didalam celana Bagas yang tak lagi bisa menahan baranya yang sengaja Maya sulut.

Pada ahirnya pria yang mendesah itu meletakkan kunci mobilnya lagi dan mengangkat Maya ke dalam kamar yang ditutup rapat. 

Tak butuh waktu lama, suara lenguhan yang tinggi dan nafas yang seakan memburu terdengar dari dua manusia yang mirip binatang kelaparan memecah malam yang seharusnya kelabu.

Dua manusia yang saling menyentuh tak meninggalkan ruang sedikitpun untuk dingin menyusup diantara peluh yang membasahi badan.

Erangan bak candu yang memekakan telinga memenuhi ruangan kedap suara yang rasanya tak mampu meredam suara dua orang manusia yang berlaku seperti binatang kelaparan dan sangat membutuhkan kehangatan sekedar untuk membuat mereka sadar kehadiran satu dengan yang lain.

Pagutan, pelukan, hujaman, goresan, dan teriakan penuh candu seakan tak pernah cukup. lalu berulang berkali-kali. lagi dan lagi dan lagi.

Sungguh DUA binatang kepanasan, bukan?

*

PS. Ahirnya tamparan pertama. tapi kok rasanya kurang ya, iya gak sih? atau itu saja cukup? kasih pendapat kamu dong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status