Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir.
"Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi.
"Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur.
"Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya.
"Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk.
"Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya.
"Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.
(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)
"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya nada sambung yang tak diangkat.
"Aduh, aku jadi ikut panik ini" ucap Ali tak urung membuat Marko tersenyum dan memeluk Ali, "apa kita samperin aja ya sekalian nginep dirumahnya," ucap Ali menunduk, menatap Marko dan tersenyum lalu sama-sama bangun menghampiri lemari dan mengeluarkan tas yang sudah berisi baju ganti.
"Pemotretan kita siang kan?"
"Iya, Li"
"Mungkin kita tak usah mengantar Arimbi kesekolah."
"Terus, kemana?"
"Jalan, cuci mata, refreshing, ngosongin dompet," ucap Marko membuat Ali yang sedang menutup resleting tas berisi baju mereka, menoleh.
"Tanpa mamanya? Duh honey, kamu tau akan sesusah apa misahin anak lengket itu dari mamanya, bukan?" ucap Ali lalu terdiam, "kecuali dipancing pake permen-"
"Stroberi!" ucap keduanya bersamaan dan tertawa lalu keluar sambil menggendong tas ransel menghampiri mobil yang terparkir di garasi khusus penghuni apartemen.
Mobil yang ahirnya melaju membelah dini hari diantara dua pria yang tatapan cintanya begitu nyata.
"Kamu bawa kuncinyakan?" tanya Marko pada Ali yang menunjukkan beberapa kunci yang jadi satu. Tentu yang ditanyakan Marko bukan kunci apartemen mereka yang dibuka menggunakan sandi.
"Gak kebayang ya kita jadi kayak gini," ucap Marko membuat Ali menatap pria yang duduk dibelakang kemudi itu.
"Maksudnya? Kamu gak nyeselkan?"
"Gaklah, Li. Kamu adalah yang terbaik dalam hidupku setelah Arum" ucap Marko membuat Ali tersenyum.
"Yeah, jadi yang kedua gak buruk. Tapi jangan coba-coba mendua." Ucap Ali meski tenang dan itu membuat Marko menatapnya.
"Aku belum ingin bertemu yang diatas." Canda Marko membuat Ali tertawa.
"Kamu pikir aku se-savage apa sih, Honey?" ucap Ali menatap foto tiga orang dalam balutan seragam sma yang tergantung di window rear. juga gadis kecil yang tawanya begitu lebar dengan pose menggemaskan dalam potret terpisah.
"Aku cuma mau bilang, kalau suatu hari nanti hati kamu berubah, bilang aja sejujurnya dari pada kita saling menyakiti nanti," ucap Ali menarik nafasnya dalam menatapi senyum Arum.
"Kuharap, saat itu takkan pernah datang, Li." Ucap Marko mengusap kepala Ali yang menoleh padanya.
"Kuharap, juga begitu, Ko." Balas Ali membuat Marko mengangguk saat mata mereka bertemu. dan Marko melajukan mobilnya menembus jalanan lengang lalu masuk dalam perumahan sepi dengan pagar-pagar tinggi menjulang.
"Apa enaknya tinggal diperumahan yang sepi kayak gini?" ucap Marko setelah melewati pos satpam.
"Karena sepi, dan kita tak perlu tau apa yang ada di dalam rumah-rumah milyaran itu," ucap Ali melepas seatbeltnya.
"Yeah, juga takkan ada tetangga julid yang suka bergosip atau perduli dengan apa yang terjadi dirumah sebelah," kata Marko memelankan laju mobilnya lalu berhenti.
"Oh, Honey. Kamu itu iri belum bisa beli rumah disini atau ingin punya tetangga julid si?" canda Ali membuat Marko tertawa pelan.
"Oh ayolah, Cinta. Kamu yang ingin tinggal di apartemen bukan? satu atau dua rumah bisa kubelikan untukmu jika kamu mau. Malam ini juga," ucap Marko dengan tatapan serius meski nadanya bercanda.
"Aku tau, tapi lain kali saja ya. Aku belum ingin punya tetangga sok tau." Ali turun lalu membuka gerbang dengan kunci yang ia bawa dan menutupnya lagi setelah mobil Marko masuk pekarangan yang sepi.
"Sudah tidur semua kayaknya."
"Ini sudah lewat jam 3, Hon," ucap Ali menyusul marko dan membuka kunci pintu dari kayu jati kecoklatan, dihiasi ukiran daun dan kembang waru yang baunya khas.
"Kalau kesini aku selalu ingat hutan."
"Mungkin kita harus mendaki gunung minggu depan," ucap Ali yang berjalan masuk dibelakang Marko.
"Ide bagus, mau kemana?"
"Kemana, ya? yang dekat sajalah yang penting gunung, tapi- aduh!" ucap Ali yang menabrak punggung Marko. Kekasihnya yang berhenti begitu saja. Tapi, belum sempat bertanya kenapa Marco mendadak berhenti, pria didepannya ini berlari cepat.
Sedetik kemudian langkah Ali pun sama cepatnya saat ujung matanya menatap dua tubuh yang berbaring di atas lantai.
"Telpon ambulans!" seru Marko melihat darah kering yang ada dibawah kepala arum.
Ali langsung mengambil ponselnya dan memencet nomer emergensi yang memang sudah tersimpan dalam benda kecil itu.
"Arum... ya Tuhan apa yang terjadi?"
"Arum...," ucap Marco tak bisa menahan airmata yang langsung dihapusnya cepat saat tubuh kecil dalam pelukan Arum bergerak lalu menatapnya dengan wajah kantuk.
"Om mako?" ucap Arimbi, menggigil merasakan dingin lalu memegang hidungnya yang terasa mampet.
"Dingin ya, Sayang?" ucap Ali melepas jaketnya cepat dan langsung memakaikan pada Arimbi yang langsung merasa hangat dan ingin membaginya segera dengan sang mama.
"Mama dingin gak?" ucap gadis kecil yang membangunkan Arum, tapi tetap tak ada respon. "Ma, ayo pindah aja, mama..." ucap Arimbi membuat Marko menganggkat tubuh kecilnya cepat setelah melihat gadis kecil yang duduk itu tampak tak kenapa-kenapa.
"Kemari, Sayang, sama Om Mako."
"Tapi mama..."
"Tidak apa mam-" Suara Marko serasa tercekat seketika saat melihat mata gadis kecil digendongannya menatapi Arum.
"Mama mau tidur di lantai, Sayang," ucap Ali menyentuh pundak Marko dengan tangan bergetar.
Achih...achih...!
Suara bersin Arimbi yang kedinginan itu membuat Marko meniupi tangan kecil bocah yang didekapnya erat.
"Dingin, ya?" tanya Ali ikut duduk di atas lantai.
"Iya, habis mama tidak mau bangun jadi aku tidur dan minta dipeluk Mama."
Ucapan Arimbi membuat mata Marko berkaca-kaca sementara Ali menatap tubuh Arum, tak menggerakkannya seperti instruksi dari petugas medis yang dihubunginya dan berdoa mereka cepat datang.
"Om Ali-," suara Ali terdengar tak yakin, "Om Ali akan buat susu hangat sekalian mbangunin bibi, ya?" ucap Ali mengusapi tangan kecil yang begitu dingin dipangkuan Marko yang menggigit bibirnya kuat.
"Dua ya, Om. Sama buat mama," pinta Arimbi membuat Ali hanya bisa mengangguk tak mampu bersuara lalu berjalan kedapur dengan cepat dan tangisnya yang tertahan tumpah bersama bunyi air yang dituangnya diatas ketel.
Ali menangis dengan merapatkan mulutnya agar tak ada isak yang lolos lalu di dengar Arimbi juga Marko yang matanya sudah basah.
"Den Ali, kenapa?" tanya wanita yang keluar dari kamarnya sambil mengenakan mukena. Bi Lisa heran saat melihat Ali menangis dalam diam meski suara teko sudah berdesis beberapa lama dan itu membuatnya keluar kamar.
"Arum, Bi... Arum jatuh dari tangga... darahnya... darahnya sudah mengering...dan Arimbi tidur di samping tubuh Arum yang sudah dingin," ucap Ali diantara tangis. Memembuat Bi Lisa berlari kedepan secepat yang ia bisa. Lalu diam memperhatikan bocah kecil yang dipangku Marko, pria tampan yang wajahnya begitu suram, meski memaksakan tersenyum tiap kali mata jernih Arimbi menatapnya.
Marko yang sudah pindah duduk di atas sofa itu hanya bisa diam ditempatnya, saat menyadari kehadiran wanita yang perlahan mendekat pada tubuh Arum yang tergolek tanpa pergerakan.
Tangan wanita yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu menyentuh lengan arum lalu mengambil sendok dari meja makan didepannya yang diletakkan di depan hidung arum.
"Masih- yonya masih bernafas den MASIH BERNAFAS!" Seru Bi Lisa membuat Marko berdiri cepat begitupun ali yang berlari meletakkan teko ditangannya begitu saja lalu berlari ke depan.
"Masih bernafas den, nyonya masi- lihat- lihat!" ucap wanita yang sekali lagi meletakkan sendok di depan hidung Arum yang menunjukan perubahan pada permukaan sendok yang terkena nafas Arum, meski terlihat begitu lemah dan tak berapa lama suara sirine terdengar membuat Ali langsung berlari keluar secepatnya membuka pagar dan mengatakan arum masih bernafas.
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu