Share

6. Masih bernafas

Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir.

"Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi.

"Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur.

"Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya.

"Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk.

"Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya.

"Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.

(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)

"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya nada sambung yang tak diangkat.

"Aduh, aku jadi ikut panik ini" ucap Ali tak urung membuat Marko tersenyum dan memeluk Ali, "apa kita samperin aja ya sekalian nginep dirumahnya," ucap Ali menunduk, menatap Marko dan tersenyum lalu sama-sama bangun menghampiri lemari dan mengeluarkan tas yang sudah berisi baju ganti.

"Pemotretan kita siang kan?"

"Iya, Li"

"Mungkin kita tak usah mengantar Arimbi kesekolah."

"Terus, kemana?"

"Jalan, cuci mata, refreshing, ngosongin dompet," ucap Marko membuat Ali yang sedang menutup resleting tas berisi baju mereka, menoleh.

"Tanpa mamanya? Duh honey, kamu tau akan sesusah apa misahin anak lengket itu dari mamanya, bukan?" ucap Ali lalu terdiam, "kecuali dipancing pake permen-"

"Stroberi!" ucap keduanya bersamaan dan tertawa lalu keluar sambil menggendong tas ransel menghampiri mobil yang terparkir di garasi khusus penghuni apartemen.

Mobil yang ahirnya melaju membelah dini hari diantara dua pria yang tatapan cintanya begitu nyata.

"Kamu bawa kuncinyakan?" tanya Marko pada Ali yang menunjukkan beberapa kunci yang jadi satu. Tentu yang ditanyakan Marko bukan kunci apartemen mereka yang dibuka menggunakan sandi.

"Gak kebayang ya kita jadi kayak gini," ucap Marko membuat Ali menatap pria yang duduk dibelakang kemudi itu.

"Maksudnya? Kamu gak nyeselkan?"

"Gaklah, Li. Kamu adalah yang terbaik dalam hidupku setelah Arum" ucap Marko membuat Ali tersenyum.

"Yeah, jadi yang kedua gak buruk. Tapi jangan coba-coba mendua." Ucap Ali meski tenang dan itu membuat Marko menatapnya.

"Aku belum ingin bertemu yang diatas." Canda Marko membuat Ali tertawa.

"Kamu pikir aku se-savage apa sih, Honey?" ucap Ali menatap foto tiga orang dalam balutan seragam sma yang tergantung di window rear. juga gadis kecil yang tawanya begitu lebar dengan pose menggemaskan dalam potret terpisah.

"Aku cuma mau bilang, kalau suatu hari nanti hati kamu berubah, bilang aja sejujurnya dari pada kita saling menyakiti nanti," ucap Ali menarik nafasnya dalam menatapi senyum Arum.

"Kuharap, saat itu takkan pernah datang, Li." Ucap Marko mengusap kepala Ali yang menoleh padanya.

"Kuharap, juga begitu, Ko." Balas Ali membuat Marko mengangguk saat mata mereka bertemu. dan Marko melajukan mobilnya menembus jalanan lengang lalu masuk dalam perumahan sepi dengan pagar-pagar tinggi menjulang.

"Apa enaknya tinggal diperumahan yang sepi kayak gini?" ucap Marko setelah melewati pos satpam.

"Karena sepi, dan kita tak perlu tau apa yang ada di dalam rumah-rumah milyaran itu," ucap Ali melepas seatbeltnya.

"Yeah, juga takkan ada tetangga julid yang suka bergosip atau perduli dengan apa yang terjadi dirumah sebelah," kata Marko memelankan laju mobilnya lalu berhenti.

"Oh, Honey. Kamu itu iri belum bisa beli rumah disini atau ingin punya tetangga julid si?" canda Ali membuat Marko tertawa pelan.

"Oh ayolah, Cinta. Kamu yang ingin tinggal di apartemen bukan? satu atau dua rumah bisa kubelikan untukmu jika kamu mau. Malam ini juga," ucap Marko dengan tatapan serius meski nadanya bercanda.

"Aku tau, tapi lain kali saja ya. Aku belum ingin punya tetangga sok tau." Ali turun lalu membuka gerbang dengan kunci yang ia bawa dan menutupnya lagi setelah mobil Marko masuk pekarangan yang sepi.

"Sudah tidur semua kayaknya."

"Ini sudah lewat jam 3, Hon," ucap Ali menyusul marko dan membuka kunci pintu dari kayu jati kecoklatan, dihiasi ukiran daun dan kembang waru yang baunya khas.

"Kalau kesini aku selalu ingat hutan."

"Mungkin kita harus mendaki gunung minggu depan," ucap Ali yang berjalan masuk dibelakang Marko.

"Ide bagus, mau kemana?"

"Kemana, ya? yang dekat sajalah yang penting gunung, tapi- aduh!" ucap Ali yang menabrak punggung Marko. Kekasihnya yang berhenti begitu saja. Tapi, belum sempat bertanya kenapa Marco mendadak berhenti, pria didepannya ini berlari cepat.

Sedetik kemudian langkah Ali pun sama cepatnya saat ujung matanya menatap dua tubuh yang berbaring di atas lantai.

"Telpon ambulans!" seru Marko melihat darah kering yang ada dibawah kepala arum.

Ali langsung mengambil ponselnya dan memencet nomer emergensi yang memang sudah tersimpan dalam benda kecil itu.

"Arum... ya Tuhan apa yang terjadi?"

"Arum...," ucap Marco tak bisa menahan airmata yang langsung dihapusnya cepat saat tubuh kecil dalam pelukan Arum bergerak lalu menatapnya dengan wajah kantuk.

"Om mako?" ucap Arimbi, menggigil merasakan dingin lalu memegang hidungnya yang terasa mampet.

"Dingin ya, Sayang?" ucap Ali melepas jaketnya cepat dan langsung memakaikan pada Arimbi yang langsung merasa hangat dan ingin membaginya segera dengan sang mama.

"Mama dingin gak?" ucap gadis kecil yang membangunkan Arum, tapi tetap tak ada respon. "Ma, ayo pindah aja, mama..." ucap Arimbi membuat Marko menganggkat tubuh kecilnya cepat setelah melihat gadis kecil yang duduk itu tampak tak kenapa-kenapa.

"Kemari, Sayang, sama Om Mako."

"Tapi mama..."

"Tidak apa mam-" Suara Marko serasa tercekat seketika saat melihat mata gadis kecil digendongannya menatapi Arum.

"Mama mau tidur di lantai, Sayang," ucap Ali menyentuh pundak Marko dengan tangan bergetar.

Achih...achih...!

Suara bersin Arimbi yang kedinginan itu membuat Marko meniupi tangan kecil bocah yang didekapnya erat. 

"Dingin, ya?" tanya Ali ikut duduk di atas lantai.

"Iya, habis mama tidak mau bangun jadi aku tidur dan minta dipeluk Mama."

Ucapan Arimbi membuat mata Marko berkaca-kaca sementara Ali menatap tubuh Arum, tak menggerakkannya seperti instruksi dari petugas medis yang dihubunginya dan berdoa mereka cepat datang.

"Om Ali-," suara Ali terdengar tak yakin, "Om Ali akan buat susu hangat sekalian mbangunin bibi, ya?" ucap Ali mengusapi tangan kecil yang begitu dingin dipangkuan Marko yang menggigit bibirnya kuat.

"Dua ya, Om. Sama buat mama," pinta Arimbi membuat Ali hanya bisa mengangguk tak mampu bersuara lalu berjalan kedapur dengan cepat dan tangisnya yang tertahan tumpah bersama bunyi air yang dituangnya diatas ketel.

Ali menangis dengan merapatkan mulutnya agar tak ada isak yang lolos lalu di dengar Arimbi juga Marko yang matanya sudah basah.

"Den Ali, kenapa?" tanya wanita yang keluar dari kamarnya sambil mengenakan mukena. Bi Lisa heran saat melihat Ali menangis dalam diam meski suara teko sudah berdesis beberapa lama dan itu membuatnya keluar kamar.

"Arum, Bi... Arum jatuh dari tangga... darahnya... darahnya sudah mengering...dan Arimbi tidur di samping tubuh Arum yang sudah dingin," ucap Ali diantara tangis. Memembuat Bi Lisa berlari kedepan secepat yang ia bisa. Lalu diam memperhatikan bocah kecil yang dipangku Marko, pria tampan yang wajahnya begitu suram, meski memaksakan tersenyum tiap kali mata jernih Arimbi menatapnya. 

Marko yang sudah pindah duduk di atas sofa itu hanya bisa diam ditempatnya, saat menyadari kehadiran wanita yang perlahan mendekat pada tubuh Arum yang tergolek tanpa pergerakan.

Tangan wanita yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu menyentuh lengan arum lalu mengambil sendok dari meja makan didepannya yang diletakkan di depan hidung arum.

"Masih- yonya masih bernafas den MASIH BERNAFAS!" Seru Bi Lisa membuat Marko berdiri cepat begitupun ali yang berlari meletakkan teko ditangannya begitu saja lalu berlari ke depan.

"Masih bernafas den, nyonya masi- lihat- lihat!" ucap wanita yang sekali lagi meletakkan sendok di depan hidung Arum yang menunjukan perubahan pada permukaan sendok yang terkena nafas Arum, meski terlihat begitu lemah dan tak berapa lama suara sirine terdengar membuat Ali langsung berlari keluar secepatnya membuka pagar dan mengatakan arum masih bernafas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status