Acasha mendesahkan napas dan refleks tersenyum miring.
"Masa depanku?" gumamnya sembari menutup tirai.Tanpa keraguan, Acasha melangkah mendekati pintu, membuka kunci dan melebarkannya. Udara dingin berembus tatkala pintu terbuka, menerbangkan setiap helaian rambut putih Acasha yang panjang terurai. Saat itulah sosok pria bermata biru terlihat sangat jelas di hadapannya.Iris birunya secerah langit di musim panas, wajahnya oval dengan rahang yang kuat, kulitnya seputih gading, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna cokelat karamel. Tubuhnya dibalut mantel musim dingin warna hitam yang cukup hangat.Sang pria menatap ramah gadis yang mengenakan dress piyama bermotif bunga mawar."Senang bisa bertemu lagi dengan Nona," sapanya menyunggingkan senyum manis.Selang sedetik, Acasha membalas dengan senyum datar dan tatapan garang."Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Anda seorang penguntit, ya?" tanya sang gadis penuh selidik."Maaf jika kedatangan saya membuat Nona merasa tidak nyaman, tapi saya bukan penguntit. Saya hanya ingin menolong Nona," ungkap sang pria tulus."Apakah ini menyangkut dengan masa depan saya? Seperti yang Anda bilang tadi?""Benar."Acasha menelan saliva dan menatap lensa biru langit yang teduh itu. Tidak terlihat sedikit pun kebohongan yang terpancar dari sana.Dalam benak Acasha, terbersit keingintahuan dan secercah harapan yang mulai membujuknya untuk memperjuangkan mimpi dan cita-citanya yang belum sempat terwujud."Bagaimana caranya Anda menolong masa depan saya? Oh, iya. Kita belum berkenalan. Saya Acasha. Siapa nama Anda?"Sang pria mengulaskan senyum. "Saya Demian. Sebelum itu, bisakah Nona memercayai saya?"Acasha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Ya."Bersamaan dengan harapan yang perlahan mengembang, Acasha bertekad untuk mendengarkan ucapan Demian—pria yang baru saja dikenalnya—terlebih dahulu untuk mempertimbangkan langkah yang akan diambilnya nanti."Berkemas dan bawalah barang-barang penting milik Nona. Kita akan pergi dari sini setelah Nona selesai," tukas Demian disambut bulatan sempurna manik violet sang gadis."Apa? Tunggu, tunggu. Berkemas katamu? Sekarang? Kita akan pergi?""Ya," sahut Demian singkat.Acasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Bagaimana bisa? Apa Anda tahu, besok pagi saya harus menikah? Apa yang akan terjadi jika Mom mencari saya dan saya tidak ada di kamar? Bagaimana dengan pernikahan saya? Bagaimana dengan calon suami saya? Bagaimana kalau pernikahan itu dibatal ... kan?"Mendadak sang calon mempelai wanita termenung, meresapi celotehannya yang merupakan kunci jawaban dari pertanyaannya sendiri. Ia pun menegakkan kembali pandangannya pada Demian yang tersenyum dengan alis terangkat, seolah mengiyakan apa yang ada di pikiran Acasha."Benarkah begitu?" tanya Acasha meminta konfirmasi."Jika Nona bersedia," singkat Demian semakin membulatkan tekad Acasha.Dengan kepalan di tangan kanan dan seulas senyuman, Acasha mulai berlari dan meraih koper di atas lemari."Apa saja yang harus kubawa?" gumamnya sembari menggeledah seluruh isi lemari miliknya."Nona, saya sarankan untuk membawa dokumen-dokumen penting, beberapa pakaian, dan barang pribadi Nona saja," celetuk Demian mengamati gadis piyama yang terlihat hanya menyentuh isi lemari tanpa berniat mengemasi."Oh, dokumen. Oke."Secepat kilat Acasha berpindah pada lemari yang berukuran lebih kecil daripada lemari yang sebelumnya. Di dalam lemari kecil itu berisi dokumen-dokumen penting berupa akta kelahiran, ijazah kelulusan, sertifikat keahlian, piagam penghargaan, tanda pengenal, dan paspor. Semuanya sudah tersimpan rapi dalam satu map utuh."Apa Nona tidak punya tas ransel?" celetuk Demian lagi, ketika Acasha hendak memasukkan map tersebut ke dalam koper.Acasha memiringkan kepala."Punya. Tapi, bukankah lebih baik membawa koper? Masih banyak yang belum—. Hei, apa yang Anda lakukan? Saya bisa berkemas sendiri," protesnya melihat pria yang semula bersandar di kusen pintu sudah meraih tas ransel di gantungan."Tolong, bawa yang saya sebutkan saja. Kita harus segera pergi sebelum fajar," pinta Demian sudah mengambil alih kesibukan sang gadis. Acasha pun melirik jam dinding yang hampir menunjuk pukul empat."Ini musim dingin. Matahari akan terbit lebih lambat. Kita masih punya cukup waktu," balas Acasha berargumen."Memang benar, tapi tidak untuk sekarang. Kita harus benar-benar bergegas. Jadi, tolong, Nona berganti dengan pakaian yang lebih hangat. Semua keperluan Nona sudah siap. Saya akan menunggu Nona di balkon," pinta Demian yang sudah beranjak dan menggantungkan ransel gembung Acasha di punggungnya.“Sejak kapan ranselku penuh?” lirih Acasha keheranan sembari memilah beberapa mantel musim dinginnya di lemari gantung. Ia mengambil satu set pakaian lengkap dengan mantel grey dan syal hangat.“Nona, mau ke mana?” tanya sang pria yang diam-diam terus mengawasi, seketika menghentikan langkah Acasha yang hendak membuka pintu kamar.“Ke toilet. Bukankah Anda meminta saya berganti pakaian?” sahut Acasha memperlihatkan tentengannya.Demian terpejam sesaat dan mendesahkan napas.“Di sini saja. Saya akan menutup pintu,” ujarnya menerbitkan semburat merah muda di pipi gadis albino.Acasha menggeleng cepat dan beringsut pergi ke sudut kamar yang menjadi titik buta jika Demian mencoba mengintipnya.“Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu dengan mudah,” gumamnya lirih sambil terus mengawasi pintu balkon, kalau-kalau sang pria mendadak berbuat tidak sopan padanya.“Jangan lupa sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu boots, Nona,” suara Demian mengingatkan di balik pintu yang masih tertutup.“Ah, iya,” sahut Acasha yang hampir saja berlari ke arah pintu balkon dan segera mengenakan barang-barang yang disebutkan Demian.Acasha memang tidak terbiasa terburu-buru. Biasanya, ia membutuhkan waktu lebih lama untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dipakainya esok hari. Bahkan, bisa menghabiskan waktu seharian penuh.Bukankah mayoritas wanita sulit untuk memilih dan memutuskan sesuatu? Sama halnya seperti Acasha. Jika ia terpaksa dan harus terburu-buru, maka minimal akan ada satu hal yang terlupakan.“Demian, saya sudah selesai,” panggil Acasha untuk pertama kalinya menyebut nama pria bermata biru.Begitu pintu terbuka, Demian meneliti penampilan sang gadis piyama yang sudah berganti mengenakan mantel musim dingin yang hangat.“Oke. Kita berangkat.”Demian beranjak melompat ke atas pembatas balkon seraya mengulurkan tangan pada Acasha.Spontan, alis Acasha berkerut. “Kita akan melompat?”“Percayakan saja pada saya, Nona,” sahut Demian meyakinkan.Ragu-ragu Acasha meraih tangan Demian yang terulur dan dengan cepat, Demian mengalungkan lengan sang gadis di pundaknya. Sontak Acasha tertegun dengan pelupuk mata melebar.“Tolong, tutup mata Nona,” pinta Demian tanpa menatap sang gadis yang kini berpindah dalam gendongannya.Namun, bukannya memejamkan mata, Acasha justru memandang wajah pria yang berjarak lebih dekat dengannya. Demian pun berpaling, membalas iris violet yang terpaku di dekapannya.“Nona?”“Ya?” sahut Acasha yang kini berkedip.“Tolong, tutup mata,” ulang Demian bernada lebih rendah.“Ah, iya.”Acasha pun terpejam tanpa tahu bahwa sang pria melompat ke dahan pohon meranggas yang paling dekat dengan balkon. Mereka pun berpijak di atas tanah bersalju setelah dua kali lompatan tenang tanpa meleset sedikit pun.“Ayo, Nona!” ajak Demian begitu Acasha membuka pelupuk matanya.“Kita sudah di bawah? Bagaimana-”Belum sempat Acasha mengutarakan rasa penasarannya, Demian sudah meninggalkan Acasha beberapa meter di depan.“Hei!”Acasha berkedik menyadari pekikannya yang lantang.“Demian, tunggu!” lanjutnya dengan intonasi yang lebih terdengar seperti bisikan.***Tok tok tok.“Acasha, kamu sudah bangun, kan? Sebentar lagi perias pengantin datang. Apa kamu mau sarapan lebih dulu? Mom sudah membuat omelet dan roti panggang untukmu.”Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Namun, tetap tidak ada jawaban. Tanpa ragu, Varra menarik kenop pintu yang tidak dikunci.“Acasha?”Seketika, pandangan Varra tertuju pada pintu balkon yang menganga lebar, kemudian beralih pada pintu lemari yang tidak ditutup sempurna, beberapa potong pakaian di atas ranjang yang diletakkan sembarangan, dan selimut yang merosot di tepian ranjang.“Acasha … Acasha!” panggil Varra memindai seluruh sudut ruangan hingga ke luar balkon.“Acasha! Acasha! Di mana kamu?” pekiknya menggaung hingga ke lorong lantai dua.“Mom, ada apa teriak pagi-pagi begini?” cetus Gretta yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Gretta, kamu tahu di mana Acasha?” tanya Varra, berbalik menghampiri putrinya tengah menggulung rambut dengan handuk.“Di kamarnya-lah, Mom,” sahut Gretta sekenanya.“Tidak. Dia tidak ada di kamar. Kamu yakin, dia belum keluar dari kamarnya pagi ini?” selidik Varra dengan kerutan kecemasan."Tidak," sahut Gretta dibarengi gelengan kepala."Atau jangan-jangan ... semalam??" Kerutan kecemasan semakin bertambah di kening Varra.“Hmm, kurasa tidak. Aku tidak mendengar suara apa pun tadi malam,” ujar Gretta melirik sudut matanya sambil menggosok dagu dengan punggung tangan.“Duh, bagaimana ini? Dia tidak mungkin kabur, kan?” panik Varra menggenggam kepalan tangan di depan dada."Oh, atau mungkin dia sudah di bawah? Ya, ya. Mungkin saja," cetus Varra beranjak melewati Gretta yang membenarkan posisi handuk di kepala. Belum sempat menginjakkan langkah di anak tangga pertama, Varra memutar tubuh. "Gretta, ikut Mom. Bantu Mom cari anak tidak tahu diri itu!" titahnya kemudian. "Mom, aku belum mengeringkan rambut. Kenapa harus repot-repot mencarinya, sih? Dia tidak mungkin berani kabur dari rumah, Mom. Mungkin dia sedang jalan-jalan di luar," sahut Gretta meruncingkan bibir. "Oh, jalan-jalan di luar, ya? Kalau begitu, sekarang cari dia di luar!" perintah Varra beringsut menuruni anak tangga. "Apa, Mom? Mom tidak salah bicara, kan? Di luar sedang turun salju. Masa iya aku ke luar sekarang? Tidak, aku tidak mau," tolak Gretta menyusul langkah ibunya menyusuri lorong. "Cari sekarang atau tidak ada sarapan!" ancam sang ibu terus melangkah cepat. "Mom ...," rengek Gretta mencebik bibir. Ia pun mengentakkan kaki s
Acasha menggigit bibir dan terus menatap boarding pass di tangan. Sebentar lagi dia akan meninggalkan Ispanika, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga Ignatius karena dia memilih untuk pergi bersama seorang pria yang baru dua kali ditemuinya bernama Demian, demi menghindari pernikahan yang tidak diinginkan. Ya. Acasha memang pengecut. Dia lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi masa depan yang sudah ditentukan sepihak oleh ibunya. Tapi, bukankah hal itu wajar dilakukan untuk seseorang yang ingin memperjuangkan impian dan cita-cita yang belum tercapai, sementara pendapatnya tidak didengar? Tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini sepadan dengan kekecewaan yang harus diterima oleh keluarga dan calon suami yang sudah berharap penuh padanya? Bagaimana jika ibu dan saudarinya semakin membenci Acasha? Tapi, bukankah itu semua adalah konsekuensi yang sudah dipertimbangkan sebelumnya oleh Acasha? Lalu, mengapa baru sekarang ia khawatir? Mengapa sek
Tanpa membuang waktu, Demian meninggalkan toilet wanita dan menyusuri lorong, berharap menemukan jejak aroma Acasha yang tertinggal."Fokus, Demian. Fokus!" gumam Demian sembari terpejam beberapa sesaat.Tepat di ujung lorong, samar-samar perpaduan harum bunga Mawar dan Gardenia menyapa indra penciuman Demian. Secepat mungkin ia meninggalkan terminal dan menuju area parkir, kemudian mengikuti aroma tersebut sebelum benar-benar menguap dan diterbangkan angin."Ternyata kau berguna untuk hal semacam ini," gumamnya sembari terus memacu kecepatan mobil sport berwarna navy miliknya yang semakin menderu, membelah jalanan yang lengang.Hingga di suatu titik, tercium aroma khas bunga Anyelir Putih dari vampir Loyal Blood yang masih kental di udara. Terlebih, saat samar-samar harum bunga Mawar dan Gardenia juga bercampur di sana, otomatis berhasil membangkitkan kecurigaan dalam benak sekaligus mempermudah Demian untuk menelusuri dan menemukan keberadaan Acasha.
Sensasi dingin hingga menusuk tulang menggugah alam bawah sadar Acasha untuk segera kembali ke dunia nyata. Lambat-lambat kelopak mata si gadis albino terbuka. Acasha sontak terkesiap mendapati dirinya mengapung dan terbawa arus sungai yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat ke segala arah seolah ingin menggapai sesuatu. Pada saat itulah, genggaman kuat seorang pria memutar tubuh Acasha. Tampaklah wajah pria berambut cokelat karamel yang basah menatap lekat dengan iris biru jernihnya. "Syukurlah, Nona sudah sadar," ungkap Demian penuh rasa syukur. Belum habis keterkejutan Acasha, pelupuknya kembali terbuka lebar. "D-Demian?? Kenapa kita ada di tengah-tengah sungai?? Apa yang sudah terjadi??" panik Acasha balik mencengkeram kuat lengan Demian. Namun, bukannya menjawab, Demian justru memangkas jarak dengan Acasha. "Demian!" "Sstttt .... Tolong, jangan berteriak," bisik Demian merapatkan tubuh dan m
Aroma lezat daging yang baru saja di panggang membelai lembut indra penciuman Acasha, membangkitkan rasa lapar dan menggetarkan indra pengecapnya yang belum mendapatkan asupan sama sekali sejak kabur dari rumah. Melihat kerutan di pelupuk Acasha, Demian menyentuh kening sang gadis yang tak lagi demam. "Nona ...." Acasha mengerjap beberapa saat sebelum pandangannya tertuju pada selimut tebal yang membalut tubuhnya, kemudian piring berisi potongan daging dengan kepulan asap di atasnya. Ia pun menelan saliva. Demian tersenyum seraya mendekatkan piring dengan daging yang masih hangat itu pada gadis di sampingnya. "Nona mau saya suapi?" tanya Demian menawarkan. "Eum ...." Acasha menggeleng pelan. "Saya bisa sendiri," tolaknya lembut, seraya menyambut piring dari tangan Demian. "Pelan-pelan saja," ujar Demian mengambil piring lain di meja. Sambil meniup-niup daging yang mengepulkan asap, Acasha meneliti setiap sudut ruangan.
Brak! "Siapa kalian?!" Sontak sepasang lawan jenis yang semula terlelap kini terbangun dari tidurnya, menatap sesosok pria paruh baya bermantel tebal berdiri di ambang pintu yang baru saja dibanting dengan sangat keras. Cuaca yang begitu dingin melemahkan kewaspadaan mereka sampai tidak menyadari deruan snowmobile berhenti di depan pondok tua yang mereka singgahi. Demian beranjak dari sofa, sedangkan Acasha masih duduk sambil berkedip-kedip di atas ranjang, mengumpulkan seluruh kesadarannya. "Maafkan kami. Kami sudah lancang masuk ke pondok Anda tanpa izin. Kami hanya mencari tempat untuk beristirahat sejenak sampai besok pagi," jelas Demian tanpa diminta. Sang pria paruh baya bermantel menurunkan tudungnya. Putih ubannya sudah tampak di berbagai sisi. Pelupuk keriputnya menyipit ke arah Demian, lalu Acasha bergantian. "Sayangnya, hari ini sudah 'besok pagi'," sahutnya terdengar garang. Demian melirik cahaya di balik pu
Lagi-lagi, Acasha dibuat keheranan tentang fakta yang mengejutkan dari seorang Demian. Terlebih, fakta tersebut ia peroleh dari orang lain yang sama-sama tidak saling kenal. Tanda tanya besar semakin memenuhi pikiran Acasha. Yang ia tahu, Demian adalah utusan dari seseorang yang memiliki wewenang. Tapi, seberapa berkuasa pemilik wewenang tersebut sampai-sampai Demian saja mampu memberikan seribu dolar secara cuma-cuma pada orang asing? Belum lagi dengan biaya yang selama ini digunakan Demian untuk hidup dan membayar tiket pesawat mereka berdua? Mendadak, Acasha merasa bodoh dan hilang muka. Berani-beraninya ia kabur dan menghanguskan dua tiket pesawat kelas satu seharga tiga ribu empat ratus dolar tanpa merasa berdosa. Apalagi, hari ini, mereka akan melakukan penerbangan yang sempat tertunda. Bagaimana Acasha akan mengganti rugi uang yang terbuang percuma untuknya itu, sedangkan lima puluh dolar pun ia tak punya? "Aku harus membujuk Demian untuk membeli tiket
Manik merah pekat sang vampir tampak berkilat-kilat saat gadis yang menjadi tawanannya mengangguk patuh tanpa ekspresi. "Bagus. Sekarang, ambil pisau di sana dan isi gelas itu. Aku sangat haus," titah sang vampir menunjuk dengan lirikan mata. Tanpa membantah, Gretta melangkah mendekati meja. Ia mencabut pisau tajam yang tertancap di apel merah. Manik cokelat sang gadis menatap hampa mata pisau tajam mengilap yang terpantul cahaya temaram sesaat sebelum satu gerakan cepat. Clashh .... Deras cairan merah pekat membanjiri telapak tangan sang gadis dari goresan memanjang yang tercipta. Tanpa merasa perih, ditampungnya cairan merah itu ke dalam stem glass. Tetes demi tetes sangat menggiurkan dan menggugah hasrat sang vampir. Bukan hanya vampir Pure Blood di kamar itu saja yang tergoda, bahkan vampir Loyal Blood di sekitar hotel terbengkalai itu pun gelisah merasakan manisnya udara yang terkontaminasi dengan harum Sweet Pea dari kamar tuannya.