Share

7. Percayakan Pada Saya

Acasha mendesahkan napas dan refleks tersenyum miring.

"Masa depanku?" gumamnya sembari menutup tirai.

Tanpa keraguan, Acasha melangkah mendekati pintu, membuka kunci dan melebarkannya. Udara dingin berembus tatkala pintu terbuka, menerbangkan setiap helaian rambut putih Acasha yang panjang terurai. Saat itulah sosok pria bermata biru terlihat sangat jelas di hadapannya.

Iris birunya secerah langit di musim panas, wajahnya oval dengan rahang yang kuat, kulitnya seputih gading, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna cokelat karamel. Tubuhnya dibalut mantel musim dingin warna hitam yang cukup hangat.

Sang pria menatap ramah gadis yang mengenakan dress piyama bermotif bunga mawar.

"Senang bisa bertemu lagi dengan Nona," sapanya menyunggingkan senyum manis.

Selang sedetik, Acasha membalas dengan senyum datar dan tatapan garang.

"Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Anda seorang penguntit, ya?" tanya sang gadis penuh selidik.

"Maaf jika kedatangan saya membuat Nona merasa tidak nyaman, tapi saya bukan penguntit. Saya hanya ingin menolong Nona," ungkap sang pria tulus.

"Apakah ini menyangkut dengan masa depan saya? Seperti yang Anda bilang tadi?"

"Benar."

Acasha menelan saliva dan menatap lensa biru langit yang teduh itu. Tidak terlihat sedikit pun kebohongan yang terpancar dari sana.

Dalam benak Acasha, terbersit keingintahuan dan secercah harapan yang mulai membujuknya untuk memperjuangkan mimpi dan cita-citanya yang belum sempat terwujud.

"Bagaimana caranya Anda menolong masa depan saya? Oh, iya. Kita belum berkenalan. Saya Acasha. Siapa nama Anda?"

Sang pria mengulaskan senyum. "Saya Demian. Sebelum itu, bisakah Nona memercayai saya?"

Acasha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Ya."

Bersamaan dengan harapan yang perlahan mengembang, Acasha bertekad untuk mendengarkan ucapan Demian—pria yang baru saja dikenalnya—terlebih dahulu untuk mempertimbangkan langkah yang akan diambilnya nanti.

"Berkemas dan bawalah barang-barang penting milik Nona. Kita akan pergi dari sini setelah Nona selesai," tukas Demian disambut bulatan sempurna manik violet sang gadis.

"Apa? Tunggu, tunggu. Berkemas katamu? Sekarang? Kita akan pergi?"

"Ya," sahut Demian singkat.

Acasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Bagaimana bisa? Apa Anda tahu, besok pagi saya harus menikah? Apa yang akan terjadi jika Mom mencari saya dan saya tidak ada di kamar? Bagaimana dengan pernikahan saya? Bagaimana dengan calon suami saya? Bagaimana kalau pernikahan itu dibatal ... kan?"

Mendadak sang calon mempelai wanita termenung, meresapi celotehannya yang merupakan kunci jawaban dari pertanyaannya sendiri. Ia pun menegakkan kembali pandangannya pada Demian yang tersenyum dengan alis terangkat, seolah mengiyakan apa yang ada di pikiran Acasha.

"Benarkah begitu?" tanya Acasha meminta konfirmasi.

"Jika Nona bersedia," singkat Demian semakin membulatkan tekad Acasha.

Dengan kepalan di tangan kanan dan seulas senyuman, Acasha mulai berlari dan meraih koper di atas lemari.

"Apa saja yang harus kubawa?" gumamnya sembari menggeledah seluruh isi lemari miliknya.

"Nona, saya sarankan untuk membawa dokumen-dokumen penting, beberapa pakaian, dan barang pribadi Nona saja," celetuk Demian mengamati gadis piyama yang terlihat hanya menyentuh isi lemari tanpa berniat mengemasi.

"Oh, dokumen. Oke."

Secepat kilat Acasha berpindah pada lemari yang berukuran lebih kecil daripada lemari yang sebelumnya. Di dalam lemari kecil itu berisi dokumen-dokumen penting berupa akta kelahiran, ijazah kelulusan, sertifikat keahlian, piagam penghargaan, tanda pengenal, dan paspor. Semuanya sudah tersimpan rapi dalam satu map utuh.

"Apa Nona tidak punya tas ransel?" celetuk Demian lagi, ketika Acasha hendak memasukkan map tersebut ke dalam koper.

Acasha memiringkan kepala.

"Punya. Tapi, bukankah lebih baik membawa koper? Masih banyak yang belum—. Hei, apa yang Anda lakukan? Saya bisa berkemas sendiri," protesnya melihat pria yang semula bersandar di kusen pintu sudah meraih tas ransel di gantungan.

"Tolong, bawa yang saya sebutkan saja. Kita harus segera pergi sebelum fajar," pinta Demian sudah mengambil alih kesibukan sang gadis. Acasha pun melirik jam dinding yang hampir menunjuk pukul empat.

"Ini musim dingin. Matahari akan terbit lebih lambat. Kita masih punya cukup waktu," balas Acasha berargumen.

"Memang benar, tapi tidak untuk sekarang. Kita harus benar-benar bergegas. Jadi, tolong, Nona berganti dengan pakaian yang lebih hangat. Semua keperluan Nona sudah siap. Saya akan menunggu Nona di balkon," pinta Demian yang sudah beranjak dan menggantungkan ransel gembung Acasha di punggungnya.

“Sejak kapan ranselku penuh?” lirih Acasha keheranan sembari memilah beberapa mantel musim dinginnya di lemari gantung. Ia mengambil satu set pakaian lengkap dengan mantel grey dan syal hangat.

“Nona, mau ke mana?” tanya sang pria yang diam-diam terus mengawasi, seketika menghentikan langkah Acasha yang hendak membuka pintu kamar.

“Ke toilet. Bukankah Anda meminta saya berganti pakaian?” sahut Acasha memperlihatkan tentengannya.

Demian terpejam sesaat dan mendesahkan napas.

“Di sini saja. Saya akan menutup pintu,” ujarnya menerbitkan semburat merah muda di pipi gadis albino.

Acasha menggeleng cepat dan beringsut pergi ke sudut kamar yang menjadi titik buta jika Demian mencoba mengintipnya.

“Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu dengan mudah,” gumamnya lirih sambil terus mengawasi pintu balkon, kalau-kalau sang pria mendadak berbuat tidak sopan padanya.

“Jangan lupa sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu boots, Nona,” suara Demian mengingatkan di balik pintu yang masih tertutup.

“Ah, iya,” sahut Acasha yang hampir saja berlari ke arah pintu balkon dan segera mengenakan barang-barang yang disebutkan Demian.

Acasha memang tidak terbiasa terburu-buru. Biasanya, ia membutuhkan waktu lebih lama untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dipakainya esok hari. Bahkan, bisa menghabiskan waktu seharian penuh.

Bukankah mayoritas wanita sulit untuk memilih dan memutuskan sesuatu? Sama halnya seperti Acasha. Jika ia terpaksa dan harus terburu-buru, maka minimal akan ada satu hal yang terlupakan.

“Demian, saya sudah selesai,” panggil Acasha untuk pertama kalinya menyebut nama pria bermata biru.

Begitu pintu terbuka, Demian meneliti penampilan sang gadis piyama yang sudah berganti mengenakan mantel musim dingin yang hangat.

“Oke. Kita berangkat.”

Demian beranjak melompat ke atas pembatas balkon seraya mengulurkan tangan pada Acasha.

Spontan, alis Acasha berkerut. “Kita akan melompat?”

“Percayakan saja pada saya, Nona,” sahut Demian meyakinkan.

Ragu-ragu Acasha meraih tangan Demian yang terulur dan dengan cepat, Demian mengalungkan lengan sang gadis di pundaknya. Sontak Acasha tertegun dengan pelupuk mata melebar.

“Tolong, tutup mata Nona,” pinta Demian tanpa menatap sang gadis yang kini berpindah dalam gendongannya.

Namun, bukannya memejamkan mata, Acasha justru memandang wajah pria yang berjarak lebih dekat dengannya. Demian pun berpaling, membalas iris violet yang terpaku di dekapannya.

“Nona?”

“Ya?” sahut Acasha yang kini berkedip.

“Tolong, tutup mata,” ulang Demian bernada lebih rendah.

“Ah, iya.”

Acasha pun terpejam tanpa tahu bahwa sang pria melompat ke dahan pohon meranggas yang paling dekat dengan balkon. Mereka pun berpijak di atas tanah bersalju setelah dua kali lompatan tenang tanpa meleset sedikit pun.

“Ayo, Nona!” ajak Demian begitu Acasha membuka pelupuk matanya.

“Kita sudah di bawah? Bagaimana-”

Belum sempat Acasha mengutarakan rasa penasarannya, Demian sudah meninggalkan Acasha beberapa meter di depan.

“Hei!”

Acasha berkedik menyadari pekikannya yang lantang.

“Demian, tunggu!” lanjutnya dengan intonasi yang lebih terdengar seperti bisikan.

***

Tok tok tok.

“Acasha, kamu sudah bangun, kan? Sebentar lagi perias pengantin datang. Apa kamu mau sarapan lebih dulu? Mom sudah membuat omelet dan roti panggang untukmu.”

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Namun, tetap tidak ada jawaban. Tanpa ragu, Varra menarik kenop pintu yang tidak dikunci.

“Acasha?”

Seketika, pandangan Varra tertuju pada pintu balkon yang menganga lebar, kemudian beralih pada pintu lemari yang tidak ditutup sempurna, beberapa potong pakaian di atas ranjang yang diletakkan sembarangan, dan selimut yang merosot di tepian ranjang.

“Acasha … Acasha!” panggil Varra memindai seluruh sudut ruangan hingga ke luar balkon.

“Acasha! Acasha! Di mana kamu?” pekiknya menggaung hingga ke lorong lantai dua.

“Mom, ada apa teriak pagi-pagi begini?” cetus Gretta yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Gretta, kamu tahu di mana Acasha?” tanya Varra, berbalik menghampiri putrinya tengah menggulung rambut dengan handuk.

“Di kamarnya-lah, Mom,” sahut Gretta sekenanya.

“Tidak. Dia tidak ada di kamar. Kamu yakin, dia belum keluar dari kamarnya pagi ini?” selidik Varra dengan kerutan kecemasan.

"Tidak," sahut Gretta dibarengi gelengan kepala.

"Atau jangan-jangan ... semalam??" Kerutan kecemasan semakin bertambah di kening Varra.

“Hmm, kurasa tidak. Aku tidak mendengar suara apa pun tadi malam,” ujar Gretta melirik sudut matanya sambil menggosok dagu dengan punggung tangan.

“Duh, bagaimana ini? Dia tidak mungkin kabur, kan?” panik Varra menggenggam kepalan tangan di depan dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status