***
Pukul 07.00 WIB
Seorang wanita berusia awal dua puluh tahunan terlihat sedang memasak di dapur. Rambut depannya sedikit terurai dengan berantakan, sedangkan rambut belakangnya ia gulung dengan rapi.
"Pagi, Bina," sapa seorang pria dari belakangnya.
"Pagi, Paman Jo," balas wanita itu dengan ramah.
Tak lama kemudian, dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih sudah tersaji di atas meja makan. Wanita itu melepas celemek yang sejak tadi melekat ditubuhnya dan duduk dikursi makan, sedangkan pria yang dipanggilnya 'paman' tadi duduk di seberang meja.
"Kamu kelihatan semangat sekali hari ini."
"Hari ini temanku menikah, paman," jawab Bina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel miliknya. Sesuap nasi goreng masuk ke dalam mulutnya.
Paman Jo terlihat menganggukkan kepalanya,"Ah! temanmu yang namanya Rini itu, ya? Bukannya dia sudah menikah dua kali?" tanya Paman Jo penuh selidik.
Wanita itu seketika meletakkan ponsel dan sendoknya. Menatap jengah pamannya yang justru mulai asik menyuapi mulutnya dengan nasi goreng buatannya.
"Lebih hebat Rini yang sudah pernah menikah dua kali diusianya yang baru 26 tahun daripada paman yang belum menikah sama sekali padahal sudah memasuki kepala empat."
UHUK!
Ucapan keponakannya membuat pria itu tersedak. Buru-buru ia mengambil segelas air putih di depannya dan meminumnya. Wajahnya merah padam ketika mendengar sindiran dari keponakan yang sudah ia rawat dan jaga sedari kecil.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentang tujuan hidup pamanmu ini, Bina." Sesendok nasi goreng buatan Bina kembali memenuhi mulut Paman Jo.
"Aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu apapun tentang paman," timpal Bina sambi menunjukkan senyum tiga jarinya pada Paman Jo.
Suasana meja makan kembali hening. Dua manusia itu kembali larut dalam urusan masing-masing.
***
Pukul 08.00 WIB
Bina keluar dari dalam kamarnya dengan buru-buru. Merapikan kembali Chiffon Dress berwarna putih dengan motif floral yang melekat cantik ditubuhnya. Lalu mengikat rambutnya menjad kuncir kuda. Tak lupa ia menyampirkan long coat coklatnya dilengan kirinya.
"Paman, aku berangkat dulu!" teriaknya sambil berjalan kearah pintu utama. Namun tidak ada jawaban dari dalam kamar pamannya.
"AAKKKHHH!"
Tepat saat membuka pintu, Bina berteriak dengan keras. Wanita itu bahkan sampai terjungkal ke belakang dan terduduk lemas. Paman Jo yang mendengar teriakan Bina tentu saja bergegas menghampirinya. Laki-laki itu bisa melihat keponakannya masih terdiam ditempatnya dengan kedua tangan menutup mulut, matanya melotot dan masih terpaku pada satu objek di depannya. Paman Jo mengikuti pandangan Bina dan ikut terbelalak kaget.
"Bina, ambilkan mobil! Kita bawa orang ini ke rumah sakit!" perintah paman Jo.
Bina seolah tersadar dari rasa terkejutnya dan berlari menuju garasi. Mengeluarkan volvo coklat milik pamannya dan membantu pamannya memasukkan tubuh yang baru saja mereka temukan. Bina kembali duduk di belakang kemudi, sedangkan pamannya tetap berjaga di kursi belakang. Kaki Bina segera menginjak pedal gas dan volvo coklat itu berjalan meninggalkan pelataran rumah menuju rumah sakit terdekat.
*Bersambung*
*** Pukul 09.00 Waktu Sydney, Australia Leo Park tampak ikut bertepuk tangan bersama para penonton lainnya. Pria itu kini tengah duduk di kursi penonton di Sydney Opera House dan menyaksikan penampilan seorang pianis wanita yang berbakat. "Ya, itulah penampilan dari pianis berbakat kita hari ini. Beri tepuk tangan kepada Nona Sapphire," ujar sang pembawa acara. Wanita yang disebutkan namanya barusan langsung berdiri menghadap penonton dan menundukkan tubuhnya sebagai rasa terima kasih kepada penonton. Setelah menegakkan kembali tubuhnya, ia menebarkan pandangan dan senyumnya ke arah kursi penonton. Namun sayang, senyuman manisnya itu tidak bertahan lama begitu kedua matanya menangkap sosok pria yang begitu ia kenal. Tanpa basa-basi lagi, ia segera turun begitu pembawa acara mulai menyebutkan acara selanjutnya. Wajahnya terlihat cukup panik dengan kedua rahangnya yang mulai mengeras. Tepat ketika ia baru saja masuk ke dalam ruang istirahatnya, bahkan belum sempat ia berbalik unt
*** Matahari pagi terlihat masuk menembus kaca jendela pesawat dan menimpa wajah seorang wanita. Membuat dahi wanita tersebut sedikit berkerut karena merasa risih dengan cahaya itu. Perlahan tapi pasti, kedua matanya mulai mengintip meski masih sedikit terasa mengantuk. "Pagi, putri tidur!" Sapa seorang pria yang duduk di seberangnya dengan senyuman jahil. "Sial! Mood-ku langsung hancur begitu disapa oleh orang sepertimu!" Omel wanita itu dengan tatapan yang sinis. "Ini sarapanmu, Bina." Tiba-tiba Jonathan memberikan sepiring nasi goreng hangat buatannya sendiri. "Terima kasih, paman." Balas Bina sambil menyunggingkan senyum manis. "Tch! Lihatlah keharmonisan antara paman dan keponakan di depanku ini." Leo Park berdecih sambil memasang ekspresi seolah-olah merasa jijik pada sikap Bina yang sok manis kepada pamannya, Jonathan. "Apa kau bilang?!" Bina kini mengeluarkan nada tingginya.
*** Bina kini masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigiti kuku jari tangannya dengan cemas. Sedangkan anggota tim yang lain nampak sedang memandangi ukiran Budha asli yang berhasil mereka ambil dari tempat penyimpanan rahasia keluarga Rothschild dengan takjub. "Bina, kenapa kau terlihat cemas begitu?" Tanya Awan yang akhirnya menyadari kegelisahan rekannya. Bina menghentikan langkahnya. "Bagaimana tidak, meskipun misi pertama kita sukses dengan lancar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hubunganku dengan si anak konglomerat, Nathaniel Rothschild. Ditambah lagi, aku tidak memiliki pengalaman dalam sebuah hubungan sama sekali! Bagaimana bisa aku bertemu dengan ibunya? Sedangkan kita mendekati anaknya hanya untuk kelancaran misi saja! Apa yang harus aku katakan nanti?!
***Dua hari setelah makan malam Bina dengan Nathaniel Rothschild, wanita itu kembali diajak bertemu oleh si anak konglomerat. Bukan tanpa alasan pria kaya raya itu mengajaknya bertemu kembali. Ternyata, Nathaniel Rothschild menyanggupi syarat yang diberikan oleh Bina untuk membuktikan keseriusannya atas hubungan mereka.Maka dari itu, seluruh anggota tim terlihat sangat sibuk mempersiapkan segalanya. Bahkan Awan saja ikut sibuk membantu Jonathan untuk membuat sebuah alat yang akan dipakai oleh Bina nanti."Ini," ucap Awan sambil menyerahkan koin perak yang sama persis dengan koin perak tempo hari Bina dapatkan sebelum makan malam dengan Nathaniel.Bina mengerutkan keningnya. "Apa ini? Aku kan sudah mendapatkan alat pelacak yang sama beberapa hari yang lalu." Bina menunjukkan koin perak yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu."Koin yang baru saja kuberikan berbeda. Koin perak baru itu bisa melacak keberadaanmu sekaligus memetaka
***Bina sedang berdiri di balkon seorang diri. Setelah celotehan Leo Park tadi, wanita itu tiba-tiba saja teringat pada tragedi yang menimpa orang tuanya dan berhasil merenggut nyawa mereka. Bina mengembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Bayangan kejadian itu selalu membuatnya merasa frustasi setiap kali ia mengingatnya."Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lama-mu itu." Tiba-tiba saja Leo Park muncul di belakangnya."Tak apa. Lagipula kau juga tidak tahu akan kejadian itu," jawab Bina dengan nada suara yang dingin.Leo Park kini mulai melangkah maju dan menyejajarkan tubuhnya di samping Bina. "Aku memang tidak tahu akan kejadian itu. Tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang sangat disayangi."Ucapan Leo Park membuat Bina langsung mengalihkan pandangannya kepada pria itu. Kedua alisnya kini saling bertaut saking penasarannya pada ucapan pria itu barusan. Raut wajah Bina yang berubah penasaran sukses membuat Leo Park menarik sudut bibir kanannya ke atas."
***Bina terbangun di pagi harinya dengan keadaan yang cukup kacau. Rambutnya berantakan dan wajahnya masih dipenuhi dengan make up yang tidak sempat ia hapus sebelum jatuh tertidur di atas tempat tidurnya. Ditambah lagi dengan kepalanya yang berdenyut sakit, pusing dan perutnya yang mual dengan hebat. Bina buru-buru pergi ke toilet dan memuntahkan isi perutnya ke westafel.Wanita itu lalu menyalakan keran air dan membersihkan mulutnya. Bina keluar dari toilet sambil memegangi perutnya yang masih terasa mual. Kakinya perlahan melangkah menuju ke dapur. Indera penciumannya tanpa sengaja menangkap bau masakan dari arah dapur. Ia mendapati ada Evelyn di sana yang sedang sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci di atas kompor."Kukira kau hanya pandai memimpin tim saja," ucap Bina sebagai sapaan kepada atasannya. Ia berjalan menuju ke kulkas, membukanya dan mengambil sebotol air mineral dari dalam sana."Ah, ya aku juga cukup pandai memasak. Aku buatkan